Mengenai Saya

Foto saya
tangerang, tangerang, Indonesia
ان اكون احسنهم خلقا ان اكون اوسعهم علم ان اكون اجملهم صورا ان اكون اكثرهم مالا
Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Jika Dokter dan Farmasi “Berselingkuh”

Melalui medical representative (medrep), perusahaan farmasi membujuk habis para dokter. Iming-iming hadiah, insentif, hingga bonus wisata bersama keluarga menjadi senjatanya. Targetnya, sang dokter mau meresepkan obat produknya kepada para pasiennya. Sore itu, sebuah surat elektronik eksekutif terima dari seorang sumber yang berada di Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Pengirim e-mail itu adalah seorang dokter yang memang ekskutif minta untuk menceritakan pengalamannya seputar praktik kongkalikong antara medical representative (medrep) sebuah perusahaan farmasi dengan sebagain dokter di rumah sakit tempat ia bekerja.
Dalam surat elektronik tersebut, sang dokter yang menolak disebutkan identitasnya ini menceritakan banyak hal. Namun, di awal suratnya itu, ia menegaskan bahwa dirinya bukan bagian dari dokter yang mudah “dirayu” oleh para medrep yang acap mendatanginya untuk mempromosikan obat yang mereka tawarkan. “Saya berusaha untuk profesional. Saya khawatir ini jadi tidak berkah,” tulis sumber tersebut.

Sumber ini menceritakan, beberapa waktu yang lalu ia menerima telepon dari seorang teman sejawat (sesama dokter) yang juga bekerja di rumah sakit tempat ia praktik. Temannya itu mengabarkan sedang berada di Jakarta, menginap di salah satu hotel berbintang lima, karena sedang mengikuti kongres yang disponsori oleh salah satu perusahaan farmasi besar yang berkantor pusat di Jakarta.
“Dengan bangga dia cerita ke saya, betapa baiknya si perusahaan tersebut. Mau membiayai seluruh perjalanannya dari kota yang jauh, menginapkannya bersama seluruh keluarganya di hotel berbintang. Bahkan, memberikan uang saku bagi istrinya untuk pergi berbelanja ke mal, selagi dia mengikuti kongres,” kata sumber ini.

Belum lagi, lanjut e-mailnya, temannya itu mendapat bingkisan berbagai pernak pernik dan souvenir berhias logo perusahaan farmasi yang mesponsorinya itu untuk dibawa pulang ke kampungnya di Makassar. “Dia juga memuji-muji produk obat baru yang dipromosikan perusahaan tersebut, yang menempati satu sesi presentasi khusus dalam kongres itu,” tambahnya. 

Mendengar kisah bangga teman sejawatnya itu, bukan ikut merasakan senang. Ia malah mengaku prihatin dengan perubahan kawan seprofesinya itu. Sumber ini bahkan berseloroh, dulu kawannya itu dikenal berhati lugu, namun kini hatinya sudah berlogo perusahaan farmasi yang mensponsorinya itu.

Sumber ini mengakui, bahwa obat-obatan produk perusahaan yang mensponsori temannya itu kini cukup banyak masuk ke rumah sakit tempat ia bekerja. “Saya yakin, teman saya itu tidak ragu untuk menuliskan resep obat-obat itu untuk para pasiennya, meskipun saya sendiri tidak pernah melihat langsung,” ujarnya.

Sumber eksekutif ini juga mengakui, bahwa hampir seminggu sekali dirinya didatangi para pekerja farmasi yang juga dikenal dengan detailer ini. “Hampir semua dokter di rumah sakit saya sering didatangi medrep. Kadang penampilan mereka seperti selebritis saja,” tambahnya.

Kisah di atas, hanyalah satu dari sekian banyak praktik “perselingkuhan” antara dokter dengan perusahaan farmasi. Para medrep atau detailer dengan bendera perusahaannya melancarkan strategi pemasaran yang sangat agresif dan jitu. Siapa yang bisa memaksa pasien membeli obat tertentu, kalau bukan tangan dokter yang menuliskannya di kertas resep?
Tak banyak orang awam yang menyadari bahwa persaingan di industri obat sebetulnya cukup alot, mulai dari biaya riset yang mahal hingga aturan harga obat yang tidak boleh dibandrol terlalu mahal karena bisa merongrong kocek pasien. Akibatnya, produsen farmasi yang tidak sabar, menggaet dokter untuk ikut membantu memasarkan obat kepada pasien.
Sebagai balasannya, dokter kerap diberikan sponsor untuk berlibur bersama keluarga yang berkedok pertemuan ilmiah, bahkan ada produsen obat yang terang-terangan memberikan komisi. Cara seperti ini, tampaknya sudah menjadi tahu-sama tahu antara dokter dan produsen obat.
Untuk memastikan lebih jauh tentang fenomena praktik “perselingkuhan” di dunia kesehatan ini, eksekutif  juga menggali informasi dari beberapa sumber lain yang juga seorang medrep. Dari beberapa medrep yang ditanayi, ternyata jawaban mereka hampir sama. “Ya, memang begitulah praktik kami selama ini,” ujar seorang medrep kepada eksekutif.
Medrep Memiliki Data Dokter
Fungsi medrep atau detailer sesungguhnya sebagai agen penjualan obat ethical kepada target pasar, yakni apotek dan rumah sakit. Tugas mereka jelas, memperkenalkan produk, baik dari sisi fungsi, manfaat, maupun efek samping, karena produk itu memang tidak diiklankan.
Namun, peran mereka rupanya dari waktu ke waktu makin bergeser. Tidak lagi sekadar agen obat, melainkan juga fasilitator untuk banyak kepentingan, baik dari sisi dokter atau rumah sakit maupun dari sisi produsen. Mereka bekerja untuk mempertemukan dua kepentingan yang sama: uang.
Pambagiyo, seorang dokter yang berpraktik di salah satu rumah sakit di Jakarta Selatan menyebutkan, praktik yang dijalankan medrep seolah-olah sangat wajar. Misalnya, memperkenalkan produk dengan membawa makanan kecil ke apotek atau rumah sakit. Perkenalan diteruskan dengan bincang-bincang intens menyangkut hobi dan kesukaan dokter. Tidak ketinggalan, kadang medrep meminta apotek membeli obat yang direkomendasikan dengan iming-iming diskon, atau bahkan menjanjikan setengah penjualan obat itu untuk apotek.
Hebatnya lagi, medrep tidak membiarkan apotek bekerja sendiri dengan menunggu pembeli. Lewat medrep pula, perusahaan farmasi mendorong dokter atau rumah sakit di sekitar apotek untuk meresepkan obat yang sama. “Saya melihat, cara kerja medrep rapi sekali, semua dibantu dan diuntungkan, kecuali konsumen,” ujar seorang sumber eksekutif ini.
Dokter spesialis ini mengatakan, medrep sekarang makin blak-blakan dan bergerak cepat. “Mereka kadang tanpa ragu-ragu minta ‘bantuan’ para dokter untuk diresepkan produknya,” ujarnya.
Namun, bak seorang agen rahasia, kadang ada juga seorang medrep yang datang dengan sejumlah data. Biasanya medrep sudah mengantongi data lengkap pasien yang berkunjung ke dokter, tempat praktik, dan informasi tentang keluarga si dokter. “Jadi, rupanya, diam-diam mereka mengamati saya,” imbuh dokter spesialis penyakit dalam ini.
Menurut pengakuan seorang medrep sebuah perusahaan farmasi lokal di Jakarta, bagi dokter yang dianggap unggulan, karena memiliki potensi pasien besar, digunakan pendekatan yang lebih seru, yakni mengundang jamuan makan malam. Namun, pada pertemuan informal itu, seorang medrep tak sendiri menemui. “Biasanya, saya ditemani seorang manajer atau bahkan manajer senior,” ujarnya.
Pertemuan itu dimaksudkan untuk langsung mempromosikan keunggulan obat dan hitung-hitungan reward yang bakal diberikan. Di pertemuan ini mereka bicara blak-blakan, tanpa malu-malu. Seperti bernegosiasi. “Ada juga negosiasinya berupa terima insentif bulanan dari pabrik obat yang bersangkutan,” sumber pria yang sudah lima tahun lebih bekerja di perusahaan farmasi ini.
Masih menurut dokter Pambagiyo, dari pengalamannya selama didekati orang farmasi, ia “memuji”, perusahaan farmasi kini makin “pintar” memilih iming-iming hadiah. Seperti yang ia pernah alaminya beberapa tahun lalu, tiba-tiba ia mendapat bonus laptop merek Toshiba dengan spesifiksi tinggi dengan ucapan “Selamat Tahun baru dan terima kasih telah membantu mereka. “Buat saya ini agak aneh, bagaimana mereka bisa tahu kalau anak saya sedang membutuhkan barang ini untuk mengerjakan tugas-tugas kuliahnya. Padahal, saya tidak pernah menceritakan kalau saya mau membelinya buat anak saya,” ujarnya keheranan.
Seorang mantan medrep senior sebuah perusahaan farmasi asing juga mengaku tidak heran dengan taktik medrep tersebut. Menurutnya, amat mudah melacak kebutuhan keluarga dokter. Dalam hal ini, yang penting adalah hitung-hitungan bisnis. “Selama permintaan atau kebutuhan itu sesuai dengan bujet, hadiah dalam bentuk apa pun tidak masalah,” katanya.
Bak Buah Simalakama
Fenomena praktik “perselingkuhan” juga diakui praktisi bisnis farmasi di Jakarta Kendrariadi Suhanda. Namun, menurut Ketua Umum Pharma Materials Management Club (PMMC) ini, umumnya mereka menyembunyikan masalah ini, karena berisiko jika ketahuan.
Untuk mencegah terjadinya praktik “perselingkuhan” ini, menurut Kendrariadi, dibutuhkan komitmen dari semua pihak baik dari para dokter maupun perusahaan farmasi. Jika praktik kotor ini dibiarkan, maka yang jadi korban adalah konsumen dalam hal ini masyarakat. “Obat jadi mahal, karena biaya “promosi” tadi itu kan cukup mahal, yang akhirnya perusahaan akan membebankan pada konsumen,” ujarnya.
“Perselingkuhan” antara dokter dan produsen obat-obatan memang bak buah simalakama. Di tingkat perusahaan, manajemen mencoba untuk mencegah tidak terjadinya praktik melanggar etik itu, namun di level bawah (medrep) kadang berjuang untuk mendapatkan sale. “Itulah fakta yang terjadi selama ini,” tambahnya.

Ketua Majelis Kode Etik Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia (GPFI) M. Syamsul Arifin menyebutnya ini bukan fenomena baru, tetapi sudah lama terjadi. Namun ia mengatakan, data pelanggaran etik perusahaan farmasi anggota GPFI, dari 200 perusahaan farmasi tidak sampai 5% yang melakukan pelanggaran ini dan ditangkap. “Tapi, kami tidak bisa langsung memberi sanksi, karena yang kita tangkap itu, kebetulan istilahnya maling-maling kecil. Paling kita kasih peringatan atau pembinaan. Tapi kalau kasusnya besar, maka harus diproses. Itu kesepakatan GP Farmasi dengan IDI (Ikatan Dokter Indonesia),” ujarnya kepada eksekutif.    

Kebutuhan perusahaan farmasi terhadap medrep cukup besar. Menurut Kendrariadi, keberadaan medrep merupakan ujung tombak untuk mengenalkan produk farmasi baik kepada dokter maupun apotek. Untuk menjadi seorang medrep, disukai berlatar belakang pendidikan farmasi atau apoteker. Pasalnya, seorang medrep dituntut menguasai bidang farmasi, khususnya jika untuk berhadapan dengan para dokter dan mengenalkan obat-obatan produk baru.

“Kalau dulu, perusahaan farmasi biasanya menggunakan obat sample. Tapi sekarang tidak boleh, karena banyak disalahgunakan. Sample yang mestinya diberikan gratis itu dikumpulkan lalu dijual oleh oknum medrep ke pasar-pasar obat,” ujarnya.
Maraknya praktik persekongkolan antara dokter dan perusahaan farmasi melalui medrep, akhirnya membuat Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan GP Farmasi Indonesia  merasa perlu untuk membuat kesepakatan bersama pada tahun 2007 lalu, di Kementerian Kesehatan.
Ada tujuh poin yang disepakati yang ditandatangani kedua organisasi ini. Di antaranya: dokter dilarang menjuruskan pasien membeli obat tertentu, karena dokter telah menerima komisi dari perusahaan farmasi; dukungan perusahaan farmasi pada pertemuan ilmiah dokter tidak boleh dikaitkan dengan kewajiban mempromosikan atau meresepkan suatu produk; perusahaan farmasi dilarang memberikan honorarium kepada dokter untuk menghadiri pendidikan kedokteran (kecuali jika menjadi moderator); donasi pada profesi kedokteran tidak boleh dikaitkan dengan penulisan resep atau penggunaan produk perusahaan tertentu; dan beberapa poin kesepakatan lainnya.
Permasalahannya, dengan adanya kesepakatan ini, apakah akan meredupkan praktik-praktik culas para perusahaan farmasi dalam mempromosikan produknya? Tidak ada  jaminan, memang. Semua dikembalikan pada kejujuran dan perilaku para dokter sebagai tempat mengeluhnya para pasien dan para produsen obat sebagai pemasok kebutuhan produk kesehatan. (*) 

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Apotek, Buah Karya Peradaban Islam

Peradaban Islam dikenal sebagai perintis dalam bidang farmasi. Para ilmuwan Muslim di era kejayaan Islam sudah berhasil menguasai riset ilimiah mengenai komposisi, dosis, penggunaan, dan efek dari obat-obatan sederhana dan campuran.  Selain menguasai bidang farmasi, masyarakat Muslim pun tercatat sebagai peradaban pertama yang memiliki apotek atau toko obat.
Sharif Kaf al-Ghazal dalam tulisannya bertajuk The valuable contributions of Al-Razi (Rhazes) in the history of pharmacy during the Middle Ages, mengungkapkan, apotek pertama di dunia berdiri di kota Baghdad pada tahun 754 M. Saat itu, Baghdad sudah menjadi ibukota Kekhalifahan Abbasiyah. ”Apotek pertama di Baghdad didirikan oleh para apoteker Muslim,” ungkap al-Ghazal.
Jauh sebelum peradaban Barat mengenal apotek, masyarakat Islam lebih dulu menguasainya.  Sejarah mencatat, apoteker pertama di Eropa baru muncul pada akhir abad ke-14, bernama Geoffrey Chaucer (1342-1400). Ia dikenal sebagai apoteker asal Inggris. Apotek mulai menyebar di Eropa setelah  pada abad ke-15 hingga ke-19 M, praktisi apoteker mulai berkembang di benua itu.
”Umat Islam-lah yang mendirikan warung pengobatan pertama,” papar Howard R Turner dalam bukunya bertajuk  Science in Medievel Islam .  Philip K Hitti dalam bukunya yang terkenal bertajuk  History of Arab, juga mengakui bahawa peradaban Islamlah yang pertama kali mendirikan apotek.
”Selain itu, peradaban Islam juga merupakan pendiri sekolah farmasi pertama,” ungkap K Hitti. Ia juga membuktikan bahwa umat Muslim di era kekhalifahan sebagai pencipta pharmacopoeia yang pertama. Perkembangan ilmu farmasi yang begitu cepat, membuat apotek atau toko-toko obat tumbuh menjamur di kota-kota Islam.
Hampir di setiap rumah sakit besar di kota-kota Islam dilengkapi dengan apotek atau instalasi farmakologi. Apotek-apotek itu dikelola oleh apoteker yang menguasai ilmu peracikan obat. ”Kaum Muslimin menyumbang begitu banyak hal terhadap perkembangan apotek atau obat,” ungkap Howard R Turner dalam bukunya bertajuk  Science in Medievel Islam .
Di era kejayaan Islam, toko-toko obat bermunculan bak jamur di musim hujan. Toko obat yang banyak jumlahnya tak cuma hadir di kota Baghdad – kota metropolis dunia di era kejayaan Abbasiyah – namun juga di kota-kota Islam lainnya. Para ahli farmasi ketika itu sudah mulai mendirikan apotek sendiri. Mereka menggunakan keahlian yang dimilikinya untuk meracik, menyimpan, serta menjaga aneka obat-obatan.
Pemerintah Muslim pun turun mendukung pembangunan di bidang farmasi. Rumah sakit milik pemerintah yang ketika itu memberikan perawatan kesehatan secara cuma-cuma bagi rakyatnya juga mendirikan laboratorium untuk meracik dan memproduksi aneka obat-obatan dalam skala besar.Keamanan obat-obatan yang dijual di apotek swasta dan pemerintah diawasi secara ketat. Secara periodik, pemerintah melalui pejabat dari Al-Muhtasib – semacam badan pengawas obat-obatan – mengawasi dan memeriksa seluruh toko obat dan apotek. Para pengawas dari Al-Muhtasib secara teliti mengukur akurasi berat dan ukuran kemurnian dari obat yang digunakan.
Pengawasan yang amat ketat itu dilakukan untuk mencegah penggunaan bahan-bahan yang berbahaya dalam obat dan sirup. Semua itu dilakukan semata-mata untuk melindungi masyarakat dari bahaya obat-obatan yang tak sesuai dengan aturan. Pengawasan obat-obatan yang dilakukan secara ketat dan teliti yang telah diterapkan di era kekhalifahan Islam.
Perkembangan  ilmu botani dan kimia telah mendorong umat Muslim untuk mengembangkan farmasi.  Pada masa itu, ilmuwan Muslim seperti  Muhammad ibnu Zakariya al-Razi (865-915 M) alias Razes turut mengembangkan pengobatan dengan menggunakan obat-obatan.  Selain itu, dokter dan ahli farmasi Muslim lainnya  Abu al-Qasim al-Zahrawi alias Abulcasis (936-1013 M) juga tercatat sebagai saintis perintis dalam bidang distiliasi dan sublimasi.
Tak cuma itu, Sabur ibnu Sahl (wafat 869 M), juga tercatat sebagai dokter pertama yang mencetuskan  pharmacopoedia. Ia telah menjelaskan beragam jenis obat-obatan  untuk mengobati penyakit. Saintis Muslim lainnya yang turut menopang tumbuhnya aoptek di era Islam adalah  al-Biruni (973-1050 M). Sang ilmuwan legendaris Islam itu telah menulis buku farmakologi yang sangat berharga bertajuk  Kitab al-Saydalah ( Buku tentang Obat-obatan).
Dalam kitabnya itu, al-Biruni menjelaskan secara detail pengetahuan mengenai peralatan untuk pembuatan oba-obatan, peran farmasi, fungsi serta tugas apoteker. Ia juga menjelaskan tentang apotek. Ilmuwan Muslim lainnya, Ibnu Sina alias Avicenna juga menulis tak kurang dari 700 persiapan pembuatan obat, peralatannya, kegunaan dan khasiat obat -obatan tersebut.  Kontribusi Ibnu Sina dalam bidang farmasi itu dituliskannya dalam bukunya yang sangat monumental  Canon of Medicine.
Ilmuwan Muslim lainnya yang turut menopang berdiri serta berkembangnya apotek di dunia Islam adalah al-Maridini dan Ibnu al-Wafid (1008-1074). Kedua karya ilmuwan Muslim itu  telah dicetak dalam bahasa Latin lebih dari 50 kali. Kitab yang ditulis keduanya diterjemahkan ke dalam bahasa Latin berjudul   De Medicinis universalibus et particularibus dan   Medicamentis simplicibus.
“Kaum Muslimin telah menyumbang banyak hal dalam bidang farmasi dan pengaruhnya sangat luar biasa terhadap Barat,” papar Turner. Menurut Turner, para sarjana Muslim di zaman kejayaan telah memperkenalkan sederet obat herbal yang terbukti berkhasiat untuk kesehatan, seperti, adas manis, kayu manis, cengkeh, kamper, sulfur, serta merkuri sebagai unsur atau bahan racikan obat-obatan.
Menurut K Hitti, kemajuan peradaban Islam dalam farmasi dan apotek ditopang oleh banyaknya buku dalam bidang farmakologi yang ditulis ilmuwan Muslim. K Hitti mencatat, buku farmakologi pertama di dunia Islam ditulis oleh  Jabir bin Hayyan.  Selain itu, ada pula karya  al-Razi, Ibnu Sina, Tabari dan d Majusi. ”al-Razi dan Ibnu Sina adalah dua dokter yang paling terkemuka di zamannya,” ujar K Hitti.
Sejak dulu, apotek yang dikelola apoteker merupakan bagian yang tak terpisahkan dari  institusi rumah sakit. Hal itu sama halnya dengan  farmasi dan farmakologi yang juga merupakan bagian yang tak terpisahkan dari ilmu kedokteran. Dunia farmasi profesional secara resmi terpisah dari ilmu kedokteran di era kekuasaan Kekhalifahan Abbasiyah.
Terpisahnya farmasi dari kedokteran pada abad ke-8 M, membuat farmakolog menjadi profesi yang independen dan farmakologi sebagai ilmu yang berdiri sendiri. Menurut Howard R Turner, praktisi seperti herbalis, kolektor, penjual tumbuhan, rempah-rempah untuk obat-obatan, penjual dan pembuat sirup, kosmetik, air aromatik, serta apoteker merupakan profesi yang menopang geliat farmasi di dunia Islam. heri ruslan

Ilmuwan Muslim Penopang Apotek
* Abu Ja’far Al-Ghafiqi (wafat 1165 M)
Ilmuwan Muslim yang satu ini juga turut memberi kontribusi dalam pengembangan farmakologi dan farmasi. Sumbangan Al-Ghafiqi untuk memajukan ilmu tentang komposisi, dosis, meracik dan menyimpan obat-obatan dituliskannya dalam kitab Al-Jami’ Al-Adwiyyah Al-Mufradah. Risalah itu memaparkan tentang pendekatan dalam metodelogi, eksperimen, serta observasi dalam farmakologi dan farmasi.

* Sabur Ibnu Sahl (wafat 869 M)

Ibnu Sahal adalah dokter pertama yang mempelopori pharmacopoeia. Kontribusinya dalam bidang farmakologi dan farmasi juga terbilang mata besar. Dia menjelaskan beragam jenis obat-obatan. Sumbangannya untuk pengembangan farmakologi dan farmasi dituangkannya dalam kitab Al-Aqrabadhin.

* Yuhanna Ibnu Masawayh (777 M – 857 M)

Orang Barat menyebutnya Mesue. Ibnu Masawayh merupakan anak seorang apoteker. Kontribusinya juga terbilang penting dalam pengembangan farmasi dan farmakologi. Dalam kitab yang ditulisnya, Ibnu Masawayh membuat daftar sekitar 30 macam aromatik.Salah satu karya Ibnu Masawayh yang terkenal adalah kitab Al-Mushajjar Al-Kabir. Kitab ini merupakan semacam ensiklopedia yang berisi daftar penyakit berikut pengobatannya melalui obat-obatan serta diet.
* Abu Hasan ‘Ali bin Sahl Rabban at- Tabari
At-Tabari lahir pada tahun 808 M. Pada usia 30 tahun, dia dipanggil oleh Khalifah Al-Mu’tasim ke Samarra untuk menjadi dokter istana. Salah satu sumbangan At-Tabari dalam bidang farmakologi adalah dengan menulis sejumlah kitab. Salah satunya yang terkenal adalah Paradise of Wisdom. Dalam kitab ini dibahas mengenai pengobatan menggunakan binatang dan organ-organ burung. Dia juga memperkenalkan sejumlah obat serta cara pembuatannya.
sumber ini

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Testimoni dan Profil Alumni Farmasi UMS

Testimoni dan Profil Alumni

Adhi Prayitno, S.Farm., Apt. (26 tahun), Lulus : 2009.
Apoteker PUSDOKKES (Pusat Kedokteran dan Kesehatan)  POLRI, Jakarta.
Sebagai bagian dari lulusan Fakultas Farmasi UMS, saya bersyukur dengan apa yang telah saya dapatkan dari FF UMS, institusi ini membekalkan ilmu yang berpotensi dan bermanfaat untuk masa depan dan dunia kerja Saya saat ini. Alhamdulillah, berbagai fasilitas laboratorium dan kesempatan dalam penelitian yang ditawarkan waktu kuliah di FF UMS memperkaya dan mengasah kemampuan Intelektual saya dan sangat membantu dalam dunia kerja saya saat ini.
Disamping itu, staf dosen yang ramah dan bersahabat membuat mahasiswa nyaman untuk berdiskusi mengenai berbagai hal untuk meningkatkan wawasan dan pengetahuan.
Pesan saya, “Kalau orang lain bisa, kenapa kita tidak?”

Muhammad Sa’ad,S.Farm.,  Angkatan: 2005.
Senior Product Executive, Product Management PT. Pharos Pharmaceutical Industry, Indonesia. 
Selama saya kuliah di Fakultas Farmasi UMS, banyak sekali hal-hal positif yang saya rasakan. Disana saya bisa mengembangkan pribadi saya untuk menjadi lebih baik, melalui dua kegiatan utama.  Pertama, kegiatan perkuliahan, berupa  teori dan praktikum, dengan metode ceramah, tugas, diskusi, presentasi, ataupun studi kasus. Tentu saja dipandu oleh staf pengajar yang kompeten dengan pendidikan dan pengalaman luas baik dari dalam maupun luar negeri serta ditunjang oleh fasilitas yang lengkap.  Kedua, kegiatan kemahasiswaan, berupa kegiatan eksekutif, penelitian, seni dan kewirausahaan, dimana mahasiswa dapat mengeksplorasi minat dan bakat yang dimiliki. Pada tahun 2008, beberapa hari setelah dinyatakan lulus program S1, melalui rekruitmen dari beberapa perusahaan farmasi yang diadakan di kampus, saya diterima di salah satu perusahaan besar farmasi seperti yang saya cita-citakan, dan menjabat sebagai posisi sekarang.
Saya yakin dengan prestasinya sekarang ini, insyallah ke sekarang dan di masa yang akan datang, Farmasi UMS dapat mencetak lulusan-lulusan terbaik yang mampu menjawab tantangan kebutuhan akan Pharmacist yang profesional dan berkualitas.

Retno Hari Wahyuni, S.Farm., Apt. (24 tahun).
Apoteker PNS/Staff laboratorium pengujian produk terapetik dan Napza National Agency for Food and Drug (NCFDA)/Balai POM RI Semarang.  
Saya sangat bangga menjadi bagian dari Fakultas Farmasi UMS. Bagi saya Fakultas Farmasi UMS Merupakan tempat yang tepat untuk menggali potensi diri serta mengembangkan kepribadian. Alhamdulillah, dari Fakultas Farmasi UMS saya mendapatkan bekal yang sangat banyak untuk menyongsong masa depan yang gemilang. Besar harapan saya agar Fakultas Farmasi UMS menjadi semakin baik dan maju lagi. Saatnya kita sejajarkan diri dengan Fakultas Farmasi Universitas ternama lainnya. Saya yakin kita bisa, karena saya telah membuktikan bahwa kita mampu, kita bisa dan kita layak diperhitungkan.

Tommy Azis Eko Hastomo (25 tahun), Angkatan 2004. 
Apoteker Staff QA PT NIPPRO Pharmaceutical Industry.  
Saat ini saya bekerja di salah satu industri farmasi PMA Jepang sebagai staf QA. Soal Fakultas Farmasi UMS. Mmmmm.. banyak memori yang masih tersimpan hingga sekarang, dari suasana kuliah yang enjoy…mahasiswa-mahasiswa yang makin kreatif dan aktif…. dosen-dosen pengajar yang friendly….. staf laboratorium….. staf TU….. dan staf lain yang selalu memberi kenangan-kenangan tersendiri. Fakultas Farmasi UMS sekarang pun sudah terakreditasi A dan saya dengar akan mengejar untuk dapat akreditasi ISO…….salut dah….dan Saya berharap akan selalu memberi lulusan yang makin berdaya saing dan mampu sejajar dengan lulusan Farmasi dari Universitas lain yang lebih wahid duluan. Saya hanya memberi pesan pada adik-adik penerus Fakultas Farmasi UMS, agar benar-benar semangat dalam kuliah karena hal itu yang akan membentuk karakter kita yang sebenarnya pada saat kita terjun langsung di dunia kerja khususnya dunia kerja farmasi baik di Apotek, Rumah Sakit ataupun Industri obat nantinya. Tapi juga perlu di ingat jangan kita cuma “smart” di mata kuliah, tapi kita juga harus “smart” dalam komunikasi, karena tanpa “smart” dalam komunikasi tidak akan bisa jalan hasil “smart” dari mata kuliah yang sudah ada dalam otak kita. Tunjukkan kita mampu dan “PD” dalam segala hal karena itu salah satu kunci sukses dalam berkarir.
Untuk fasilitas Fakultas Farmasi UMS Saya berharap juga semakin maju dan semakin lengkap dalam menunjang kegiatan mahasiswa baik dari segi formal maupun non-formal agar mahasiswa semakin maksimal dalam memperoleh ilmu yang diberikan. Saya rasa cukup testimoni saya tentang Fakultas Farmasi UMS…… Saya bangga menjadi lulusan  Fakultas Farmasi UMS dan sangat berterimakasih pada dosen-dosen pengajar saya sehingga dapat membentuk karakter Saya seperti sekarang ini dan Saya berharap Fakultas Farmasi UMS kedepannya semakin maju, modern,profesional, dan Islami…….dan memberi lulusan-lulusan yang membanggakan.

Adhe Sri Marjuki, S.Farm., Apt., (24 tahun), Alumni angkatan 2005. 
Apoteker Supervisor R & D PT Promedrahardjo Pharmaceutical Industry.
Pernah menimba ilmu di fakultas farmasi UMS memberikan pengalaman hidup serta kompetensi ilmu yang teramat saya syukuri. Di UMS saya tidak sekedar mendapatkan pembelajaran ilmu farmasi secara kompeten, namun saya juga mendapatkan bekal nilai moral & spiritual yang sangat berharga. Alhamdulillah tidak lama setelah lulus dari program profesi apoteker UMS, saya diterima bekerja sebagai supervisor R&D pada sebuah perusahaan farmasi nasional (PT.Promed). Di dunia kerja, saya merasa mampu dan sudah memiliki bekal kompetensi yang cukup sehingga saya selalu merasa percaya diri ketika harus berinteraksi dengan lulusan universitas lain yang seperti dari ITB maupun UGM.

Ardian Adi Saputro, S.Farm., Apt., (24 tahun).
PT ASKES Center RSUD Kab. Temanggung, Jawa Tengah. 
Pertama kali masuk tahun 2005 Universitas ini saya merasa ragu dan tidak yakin dapat meraih cita-cita yang saya inginkan. Namun setelah saya masuk, saya justru merasa yakin dan optimis serta bersyukur karena di fakulta...s ini saya tidak berjuang sendirian. Dengan didukung fasilitas yang cukup memadai dan modern, teman-teman dari berbagai daerah diseluruh Indonesia serta para staf pengajar yang walaupun masih terbilang cukup muda namun memiliki latar pendidikan yang berkualitas serta lincah-lincah(bahkan tetap semangat studi lanjut ke LN), Alhamdulillah, saya mampu memacu diri saya untuk berkembang menjadi seseorang yang lebih baik.
Saat menjadi mahasiswa saya berhasil mendapat beasiswa dari suatu perusahaan nasional. Periode 2007-2008 dan menjadi salah satu wakil untuk berjuang mengikuti PIMNAS Ke XXII di Malang 2009 sebagai penyaji tingkat nasional. Itu merupakan suatu kebanggaan dan bukti bahwa fakultas kita mampu bersaing dengan fakultas-fakultas dari universitas negri/swasta ternama yang lain yang ada di Indonesia. Pada tingkat studi apoteker, Alhamdulillah, saya sudah dipercaya menjadi staf pengajar di suatu SMK Farmasi. Ini juga membuktikan bahwa alumni kita mampu bersaing didunia kerja dan kesempatan itu masih terbuka lebar.
“Jangan bangga dengan almamatermu, Tapi banggakan almamatermu” itu merupakan prinsip yang saya pegang sampai hari ini. Terimakasih Universitas Muhammadiyah Surakarta, Terimakasih Fakultas Farmasi Universitas Muhammadiyah Surakarta. Semoga tetap Profesional dan Islami.

Ririn Janibah, asal Sorong Papua Barat, saya salah satu alumni Fakultas Farmasi UMS, Angkatan 2005.
Apoteker penanggung jawab PBF PT Rifanti Asti Sorong. 
Dari dulu saya memang bercita-cita menjadi seorang apoteker terinspirasi ketika kami diberi tugas oleh guru biologi waktu kelas 2 SMU membeli cairan HCL 0,05% 250 mL Di apotek untuk persiapan pratikum selanjutnya (berhubung ketika itu persediaan di sekolah habis). Di apotek kami dilayani oleh seseorang  yang memperkenalkan diri sebagai apoteker dan melayani kami dengan ramah. semenjak itu saya kagum dengan profesi apoteker. Awal memilih fakultas farmasi UMS mulanya diperkenalkan saudara yang mengatakan lulusannya tidak kalah bersaing didunia kerja dengan universitas lain. Akhirnya saya penasaran dan mencoba masuk fakultas farmasi UMS tahun ajaran 2005/2006 dengan nim K100 050 050.
Ada beberapa pengalaman yang paling berkesan  waktu kuliah yang membuat saya merasa tidak menyesal dan bangga kuliah di fakultas farmasi UMS, diantaranya adalah ketika saya mengambil skripsi tentang uji sitotoksik, walaupun saya jurusan farmasi pelayanan rumah sakit tetapi dosen - dosen  pembimbing memberikan kesempatan bagi saya untuk mencoba dan dengan sabar membimbing kelompok kami. ada beberapa dosen selain dosen pembimbing yang bermurah hati  memberikan masukan ilmu dan pendapat ketika kami menkonsultasikan kripsi kami. terimakasih y dosen - dosen ku..:)
Bahkan, fakultas pun memberikan bantuan dana untuk skripsi ini. terimakasih fakultasku. :), pernah diberikan kesempatan menjadi salah satu anggota standarisasi tanaman obat seingat saya pertamakali didanai BPOM untuk fakultas farmasi UMS. pada penyeleksian pihak fakultas menurut saya benar -benar adil karena memberikan kesempatan bagi mahasiswa baik dari jurusan sains dan pelayanan kefarmasian, bahkan memberikan kesempatan bagi kami yang belum pernah menjadi asisten praktikum.
Untuk menjaga kualitas pihak fakultas tidak tanggung-tanggung bekerjasama dengan beberapa RS tipe A untuk tempat pembelajaran bagi mahasiswa PKPA (praktek kerja profesi apoteker). ketika PKPA saya di rumkital (RS AL) surabaya disana saya mendapat gambaran pengalaman yang membuat kami nantinya tidak kaget setelah lulus dan bekerja. terimakasih pihak fakultas atas pilihan tempat PKPA bagi kami. :)
Ada salah satu dosen yang sebelum memulai kuliahnya, memberikan kami nasehat dan pencerahan sejenak tentang hubungan kita dengan Allah, orang lain dan lingkungan sekitar kita. beliau memberikan nasehat yang bahasanya amat sangat sederhana dan menjadi bahan renungan bagi kami untuk selalu mengamalkan ilmu kami tanpa melupakan beribadah kepada yang maha esa dan tetap hidup bersosialisasi dengan baik antar sesama manusia dan lingkungan sekitar kita.
Alhamdulillah setelah lulus saya, mendapat pekerjaan di PT Rifanti Asti Sorong sebagai apoteker penanggung jawab PBF tersebut. Alhamdulillah lagi, ilmu- ilmu yang saya dapat ketika kuliah ternyata diterapkan pada pekerjaan ini terutama mengenai manajemen kefarmasian (perencanaa,pengadaan, penyimpanan dan distribusi obat) dan regulasi yang harus ditaati. Terimakasih y Allah telah memberikan saya kesempatan untuk kuliah di fakultas farmasi UMS.dan saya berharap Fak farmasi UMS semakin maju dan berkembang. Amin.

Agung Widiyanto., S.Farm., Apt. (30 tahun).
Apoteker PNS National Agency for Food and Drug (NCFDA)/BPOM Jakarta Angkatan 1/1999 dan lulusan pertama.
Perkembangan yang begitu pesat di FF UMS hingga kini FF UMS telah terakreditasi A. Dosen yang selalu diasah basis ilmu dan skillnya, sehingga memiliki visi dan memiliki kapabilitas tinggi, cukup banyak sekarang yang dikirim S-3 di luar negeri. Sarana dan prasarana yang memadai untuk kegiatan belajar maupun penelitian mahasiswa. Saya tahu kurikulum selalu menyesuaikan dengan kebutuhan stakeholder. Kerjasama dengan instansi lain seperti Apotek, Rumah Sakit, Industri, maupun Pemerintah sebagai tempat praktek kerja profesi memberikan nilai tambah bagi mahasiswa. Suasana kampus farmasi yang kondusif dan islami. Memberikan semangat untuk terus memacu mahasiswa menjadi farmasis yang handal dan profesional.Sebagai mahasiswa angkatan dan lulusan pertama, saya merasa bangga dengan FF UMS. Ketika waktu itu masih dalam status terdaftar, akan tetapi kompetensi dan skill individu yang terus dibangun oleh pihak fakultas sehingga lulusan siap bersaing dengan PT yang lain dalam memasuki dunia kerja.

Melanda Fitriana S.Farm., Apt.  (24 tahun), Angkatan 2005.
Apoteker PNS/Staf National Agency for Food and Drug (NCFDA)/BPOM RI Jakarta, direktorat penilaian obat tradisional 
Alhamdulilah, Allah memberikan kesempatan saya untuk kuliah di Fakultas Farmasi UMS...walaupun masuk ke farmasi bukan cita-Cita saya..namun lama kelamaan saya mencintai dunia farmasi. Kini Farmasi UMS sangat membanggakan dan berkembang sangat pesat dlam kurun waktu yang singkat..semua itu tidak lepas dr ridho Allah SWT tentu kinerja para dosen, laboran, staf dan mahasiswa farmasi ums sendiri... Di kampus inilah saya terasah ilmu dan  ketrampilan saya  sehingga bermanfaat untuk meraih cita sya, bertemu dosen-dosen yang hebat, laboran dan staf yang bersahabat serta teman2 yang selalu mendukung dan menemani saya.

Nita Triadistii, S.Farm., Apt. (29 tahun), Angkatan 2003.
Dosen Farmasi STIKES Muhammadiyah Banjarmasin (mantan finalis mahasiswa teladan Nasional)

Bagi saya, menjalani kuliah di fakultas farmasi UMS, adalah salah satu perjalanan hidup yang sungguh berarti bagi saya. Selama kuliah, saya beberapa kali mengikuti event karya ilmiah mahasiswa, baik tingkat lokal, propinsi atau nasional, dan selama itu pula, saya selalu merasakan dukungan bapak & ibu dosen, juga bapak & ibu laboran,baik ilmu, wawasan, waktu yg begitu banyak saya minta dari beliau beliau, support, semangat, juga kritik yang membuat saya maju…. Kepedulian yang bila saya ingat sekarang…terasa selalu manis (terima kasih untuk semua bapak, ibu dosen, serta bapak ibu laboran). Saya masih ingat, dan selalu ingat, walaupun menjadi mahasiswa di fakultas farmasi jelas penuh dengan kesibukan kuliah dan praktikum, tetapi banyak diantara kami, yang berhasil mengalokasikan waktu kami yg berharga, di beberapa organisasi kemahasiswaan, yang sungguh tumbuh subur di fakultas farmasi. . Saat saya masih kuliah, fakultas farmasi memiliki beberapa organisasi mahasiswa, wadah bagi para mahasiswa untuk berperan. Inilah yang menjadi kebanggaan saya akan fakultas farmasi UMS, tidak hanya focus dengan akademis, kegiatan organisasi pun, telah merasakan support yang berarti dari fakultas.  Kebanggaan saya akan fakultas farmasi UMS, tidak hanya karena fasilitas lab dan kenyamanan proses belajar tetapi lebih karena fakultas tempat saya menimba ilmu, memberikan banyak inspirasi bagi saya untuk berkembang, dan sekarang...memberikan inspirasi bagi saya untuk mengembangkan prodi dimana saya sekarang mengajar.

Bambang Hery Purwanto, S.Farm., Apt. (30 tahun), Angkatan 1999.
Apoteker PNS/ Balai Besar Pemariksaan Obat dan Makanan (POM) RI Banjarmasin.

Alhamdulillah, saya sangat bersyukur sebagai alumni Fakultas Farmasi UMS. Di kampus ini banyak sekali ilmu dan ketrampilan yang saya dapatkan. Sebagai angkatan pertama saya ikut merasakan bagaimana kesungguhan para dosen dan civitas akademika dalam membangun Fakultas Farmasi UMS yang sekarang sudah terakreditasi sangat baik A. Salut untuk bapak ibu dosen dan laboran dalam pencapaian terbaik dalam waktu yang sangat cepat. Di kampus ini pula banyak sekali pengalaman berorganisasi (soft skill) yang kami dapatkan sehingga mendukung pekerjaan pasca lulus. . Sepanjang yang kami ketahui, Fakultas Farmasi UMS lah yang mempunyai organisasi mahasiswa yang banyak dan lengkap, hampir semua kompetensi yang dibutuhkan ada semua. Dukungan dan pembinaan fakultas kami itu semoga makin baik.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Cerita Sukses Alumni Farmasi ITB


Khususnya untuk alumni dan mahasiswa farmasi ITB saya ingin menuliskan beberapa alumni kita yang cukup sukses dalam karirnya, semoga bisa menjadi motivasi untuk kita bahwa alumni Farmasi ITB juga mampu berkontribusi besar di luar sana.
1. Johannes Setijono
Kalbe.co.id – Kesan low profile tampak pada Presiden Direktur PT Kalbe Farma Tbk. Ini. Mungkin karena perjalanan kariernya cukup panjang dan mulai dari bawah, yaitu sebagai salesman di perusahaan farmasi itu.
Di balik kesan ini, Johannes Setijono, yang menjabat presdir sejak 1998, cukup piawai membawa Kalbe Farma keluar dari tekanan krisis yang melanda saat itu. Bahkan, Majalah Forbes pernah menobatkan perusahaan itu sebagai salah satu perusahaan terbaik dari 200 perusahaan dunia di bawah US$1 miliar.
Tidak hanya itu, CNBC Asia Pacific tahun lalu juga menganugerahi pria kelahiran Solo, 19 Desember 1944 itu sebagai Indonesia Innovator of the Year, penghargaan atas prestasinya dalam pengembangan produk baru, proses bisnis dan strategi serta model usaha.
Bergabung dengan Kalbe Farma pada 1969 sebagai salesman dan medical representative sarjana farmasi lulusan Institut Teknologi Bandung ini sempat keluar kerja karena terkena wajib kerja.
Bergabung kembali dengan Kalbe Farma pada 1971 di Jakarta. Pada 1980 dia diangkat sebagai direktur pemasaran. Dia sempat memimpin anak perusahaan yaitu Dankos.
Pada 1989, ia ditarik ke induk perusahaan, PT Enseval dan mendapat tugas dalam pembuatan berbagai keputusan strategis.
Saat krisis melanda negeri ini pada 1998, pendapatan Kalbe Farma sempat drop sampai 45%. Hal itu memaksa perusahaan tersebut memutuskan masa kontrak sejumlah ekspatriat yang dibayar dengan dolar. Tahun itu pula, ia diangkat sebagai Presiden Direktur Kalbe Farma Tbk.
Untuk mengatasi situasi tersebut, Johannes membuat terobosan. Langkah awalnya dengan menyatukan pikiran dan visi SDM. Dia menekankan, perusahaan akan hidup jika orangnya juga hidup.
Untuk melibatkan seluruh unsur di perusahaan, level manajer junior pun disertakan dalam menyusun strategi atau membuat keputusan.
Sehingga, ketika seseorang memiliki ide, pasti akan didiskusikan dalam rapat direksi. Ini yang disebut sebagai manajemen partisipatif. Dan prinsip ini ternyata mampu membawa perusahaan melalui masa krisis.
Selain itu, dia juga mengembangkan sistem desentralisasi.
2. Agus Anwar
Direktur Pemasaran kimia Farma
Menyelesaikan pendidikan Apoteker dari Institut Teknologi Bandung, tahun 1987, bergabung dengan PT. Kimia Farma Tbk tahun 1989 sebagai Wakil Kepala Cabang PBF Pangkal Pinang dan beliau pernah pula menjadi pimpinan Apotek. Sejak tahun 2003 sampai dengan 2006 beliau menjadi Manager Marketing di PT. Kimia Farma. Jabatan terakhir beliau adalah Direktur Utama PT. Kimia Farma Trading & Distribution salah satu anak perusahaan PT. Kimia Farma Tbk. Dan hasil Keputusan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa PT. Kimia Farma Tbk., tanggal 24 Agustus 2007 telah memutuskan Bapak Agus Anwar menjadi Direktur Pemasaran PT. Kimia Farma Tbk.
3. Jisman Siagian
Direktur Produksi kimia Farma
Menyelesaikan pendidikan Apoteker dari Institut Teknologi Bandung, tahun 1983, setelah lulus langsung bergabung dengan PT. Kimia Farma (Persero) di Unit Produksi Jakarta, setelah mengepalai beberapa Unit Produksi seperti Medan, Jakarta dan Bandung juga pernah menjadi Kepala Divisi Riset dan Teknologi (Ristek) Kimia Farma di Bandung. Jabatan terakhir adalah Plant Manager Bandung. Dan hasil Keputusan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa PT. Kimia Farma Tbk., tanggal 24 Agustus 2007 telah memutuskan Bapak Jisman Siagian menjadi Direktur Produksi PT. Kimia Farma Tbk.
4. Ahmad Fuad Afdhal
Ahmad Fuad Afdhal lahir di Jakarta pada 4 Agustus 1948. Dengan Ph.D. gelar di bidang Sosial Farmasi dari Universitas Minnesota, Amerika dia aktif menulis tentang manajemen dan komunikasi untuk berbagai media dan telah menduduki beberapa posisi di kalangan bisnis dan akademis. Dia adalah mantan Presiden Sains dan Teknologi Nasional Institut, dan sampai hari ini masih aktif sebagai dosen di kedua universitas swasta dan masyarakat termasuk Universitas Indonesia, dan Universitas Padjajaran
alumni Institut Teknologi Bandung (kelas 1979) saat ini Chief Executive Officer Awal Fajar Adicita, Hubungan Publik konsultasi ia mendirikan. Sebelumnya, ia memulai karirnya sebagai Marketing Development Manager di Johnson & Johnson Indonesia. Dia terus naik profesional melalui posisi tingkat tinggi sebagai Marketing Manager PT Gelatindo Mukti Graha, General Manager PT Graha Tama Wisesa, Direktur PT Bimantara Citra Artika, Direktur PT Bimacom Perdana Rubber Industry dan Sekretaris Perusahaan PT Bimantara Citra sampai dengan tahun 1995.
Setelah membangun reputasi yang terkenal untuk Awal Fajar Adicita, pada tahun 2004 Ahmad Fuad Afdhal meluncurkan Tiga Cahya Fortuna, fokus pada event organizer dan konsultan SDM. Beberapa tahun kemudian pada tahun 2007, ia mendirikan Stratos konsultasi penelitian Fortuna Ide yang penelitian juga mencakup pemasaran dan politik. Kemudian pada tahun 2008, ia mendirikan Pusat Studi Sosial-Ekonomi di Farmasi, sebuah yayasan nirlaba yang mempelajari aspek-aspek sosial dan ekonomi farmasi. Kegiatan Pusat telah membawanya menjadi anggota Konsorsium Asia Komite Eksekutif ISPOR (International Society untuk Pharmacoeconomics dan Hasil Penelitian) pada tahun 2008.
5. Drs. Jahja Santoso, Pharmacist
President Commissioner dari Sanbe Farma, perusahaan yang beliau dirikan, sampai saat ini Sanbe adalah perusahaan dengan criteria sebagai berikut (dikutip dari website sanbe)
  • We are the largest pharmaceutical manufacturers from World’s 4th largest country – Indonesia
  • Out of Top 15 ethically prescribed products in Indonesia, 4 products are from us
  • Out of 205 manufacturers including 41 multinationals, we rank as the No. 1
  • We are the fastest growing progressive Healthcare Company with an ambition to be the global player
  • We employ more than 8,000 dedicated and committed work-force including multinationals
  • We make mutually beneficial alliances across the globe
  • We do different things and same things differently
  • We make things happen not wait for things to happen
  • Above all, we have the Passion to Win
  • We are SANBE, where quality counts
6. Prof. Haryanto Dhanutirto
Alumni Farmasi ITB, Guru Besar Sekolah Farmasi ITB, Ketua ISFI, mantan Menteri Perhubungan.Satu-satunya alumni farmasi di Indonesia yang menjadi menteri.
7. Eddie Lembong
Lahir : Tinombo, Teluk Tomini, Sulawesi
Tenggara, 30 September 193
Pendidikan : ITB Jurusan Farmasi (1965), Kursus Peningkatan Profesi Apotek, ISFI Jakarta (1981)
Karir : Dosen Jurusan Farmasi dan Kepala Perpustakaan Farmasi ITB (1962-1967)
-Apoteker pada Apotek Abadi-Bandung (1965-1967)
-Anggota Redaksi Suara Farmasi (1965-1967)
-Direktur PT Wigo-Jakarta (1969-1974)
-Direktur PT Wellcome Indonesia
-Presdir PT Pharos Indonesia Indonesia (1971-sekarang)
8. Drs. Rudy Soetikno
PT Dexa Medica merupakan perusahaan nasional, yang didirikan pada tahun 1969 oleh alumnus Farmasi ITB, yaitu Bapak Drs. Rudy Soetikno di Palembang. Dan pada saat ini, Dexa Medica Group telah menjadi salah satu pemain farmasi utama di Indonesia dan aktif memasarkan produk-produknya di manca negara.
9. Dra. Nina Gunawan
Sarjana Farmasi dari Institut Teknologi Bandung ini telah berpengalaman dengan beberapa perusahaan farmasi, sebelum bergabung dengan PT Dankos Laboratories Tbk. dan menjabat sebagai Direktur pada tahun 1978. Pada tahun 1993 diangkat menjadi Komisaris PT Enseval Putera Megatrading Tbk. Dan sejak tahun 1994 sampai sekarang beliau menjabat sebagai Komisaris Perseroan.
10.  Dr. Hj. Inne Erna Adriana Soekaryo, Apt.
Menamatkan pendidikan sebagai Sarjana Farmasi di Institut Teknologi Bandung (ITB) pada tahun 1961 dan Apoteker di ITB pada tahun 1962. Pernah menjadi Anggota DPR RI periode tahun 1982-1987 dan tahun 1987-1992 sebagai wakil Ketua Fraksi Karya Pembangunan, Anggota MPR RI periode tahun 1992-1997 dan tahun 1999-2004 sebagai Wakil Ketua Fraksi Utusan Golongan, Anggota Badan Pekerja (Tim Ad-hoc) MPR RI tahun 1999-2000, Wakil Ketua Fraksi Utusan Golongan pada tahun 2001, Ketua Umum KOWANI pada tahun 1999-2004, Plant Manager perusahaan farmasi PT Dupa pada tahun 1962-1984, Dosen Luar Biasa pembimbing skripsi untuk Institut Teknologi Bandung, Universitas Indonesia, Universitas Pancasila pada tahun 1966-1981. Aktif di Lembaga Pendidikan Wanita Indonesia dari tahun 1968 sampai sekarang. Selain itu juga aktif dalam berbagai organisasi baik nasional maupun internasional dan cukup sering melakukan penugasan ke luar negeri sebagai delegasi Republik Indonesia pada berbagai macam program. Sejak bulan Juni 2006 diangkat menjadi Komisaris Perseroan PT Enseval.
Yup demikian beberapa alumni yang saya dapat datanya, selain mereka tentu kita juga tahu dosen-dosen kita yang luar biasa, ada berapa profesor?
sekali lagi semoga tulisan ini bisa menjadi motivasi untuk kita. Sukses alumni Farmasi ITB!! ^_^

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

pharmacy klinik

PELAYANAN FARMASI KLINIK PADA ERA GENOMIK: SEBUAH TANTANGAN DAN PELUANG
Hadirin yang saya hormati,
Judul tersebut sengaja saya pilih setelah lama mengamati, mendalami dan mencoba terlibat dalam perkembangan farmasi klinik beberapa tahun terakhir, di mana saya sendiri saat ini masih menjadi pengelola Program Studi S2 Farmasi Klinik di Fakultas Farmasi UGM. Di sisi lain, era molekuler/genomik sudah menjadi warna pula dalam dunia sains kesehatan, sehingga hal ini merupakan tantangan buat farmasis atau apoteker, bukan saja mereka yang berada dalam ranah pengembangan obat, namun juga pada pelayanan kefarmasian. Jika farmasis siap menghadapinya, saya yakin era genomik bisa menjadi momentum bagi farmasis untuk lebih meningkatkan eksistensinya dengan mengambil peran lebih besar. Pada kesempatan ini saya ingin menguraikan mulai dari sejarah, perkembangan pada era sekarang, serta tantangan dan peluang dalam pelayanan kesehatan.
Profesi Farmasi di Indonesia
Tonggak sejarah munculnya profesi apoteker di Indonesia dimulai dengan didirikannya Perguruan Tinggi Farmasi di Klaten pada tahun 1946, yang kemudian menjadi Fakultas Farmasi UGM, dan di Bandung tahun 1947. Lembaga Pendidikan Tinggi Farmasi yang didirikan pada masa perang kemerdekaan ini mempunyai andil yang besar bagi perkembangan sejarah kefarmasian pada masa-masa selanjutnya. Hingga saat ini, jumlah pendidikan tinggi farmasi membengkak sangat besar, yaitu mencapai 61 perguruan tinggi farmasi (PTF), dengan perincian : 13 PTF terakreditasi A, 13 PTF terakreditasi B, 21 PTF terakreditasi C, dan sisanya belum terakreditasi (APTFI, 2009).
Dengan pesatnya perkembangan ilmu kefarmasian, maka farmasis saat ini menempati ruang lingkup pekerjaan yang makin luas. Beberapa tempat pekerjaan kefarmasian antara lain adalah di apotek, rumah sakit, lembaga pemerintahan, perguruan tinggi, lembaga penelitian, laboratorium pengujian mutu, laboratorium klinis, laboratorium forensik, berbagai jenis industri farmasi meliputi industri obat, kosmetik-kosmeseutikal, jamu, obat herbal, fitofarmaka, nutraseutikal, health food, obat veteriner dan industri vaksin, lembaga informasi obat serta badan asuransi kesehatan. Salah satu cabang ilmu/pelayanan kefarmasian adalah farmasi klinik.
Sejarah munculnya Farmasi Klinik
Istilah farmasi klinik mulai muncul pada tahun 1960an di Amerika, dengan penekanan pada fungsi farmasis yang bekerja langsung bersentuhan dengan pasien. Saat itu farmasi klinik merupakan suatu disiplin ilmu dan profesi yang relatif baru, di mana munculnya disiplin ini berawal dari ketidakpuasan atas norma praktek pelayanan kesehatan pada saat itu dan adanya kebutuhan yang meningkat terhadap tenaga kesehatan profesional yang memiliki pengetahuan komprehensif mengenai pengobatan. Gerakan munculnya farmasi klinik dimulai dari University of Michigan dan University of Kentucky pada tahun 1960-an (Miller,1981).
Pada era itu, praktek kefarmasian di Amerika bersifat stagnan. Pelayanan kesehatan sangat terpusat pada dokter, di mana kontak apoteker dengan pasien sangat minimal. Konsep farmasi klinik muncul dari sebuah konferensi tentang informasi obat pada tahun 1965 yang diselenggarakan di Carnahan House, dan didukung oleh American Society of Hospital Pharmacy (ASHP). Pada saat itu disajikan proyek percontohan yang disebut “9th floor project” yang diselenggarakan di University of California. “Perkawinan” antara pemberian informasi obat dengan pemantauan terapi pasien oleh farmasis di RS mengawali kelahiran suatu konsep baru dalam pelayanan farmasi yang oleh para anggota delegasi konferensi disebut sebagai farmasi klinik (DiPiro, 2002). Hal ini membawa implikasi terhadap perubahan kurikulum pendidikan farmasi di Amerika saat itu, menyesuaikan dengan kebutuhan akan adanya farmasis yang  memiliki keahlian klinik.
Perubahan visi pada pelayanan farmasi ini mendapat dukungan signifikan ketika Hepler dan Strand (Hepler dan Strands, 1990) pada tahun 1990 memperkenalkan istilah pharmaceutical care. Pada dekade berikutnya, kata itu menjadi semacam kata “sakti” yang dipromosikan oleh organisasi-organisasi farmasi di dunia. Istilah pharmaceutical care, yang di-Indonesia-kan menjadi “asuhan kefarmasian”, adalah suatu pelayanan yang berpusat pada pasien dan berorientasi terhadap outcome pasien. Pada model praktek pelayanan semacam ini, farmasis menjadi salah satu anggota kunci pada tim pelayanan kesehatan, dengan tanggung jawab pada outcome pengobatan.
Perkembangan peran farmasi yang berorientasi pada pasien semakin diperkuat pada tahun 2000, ketika organisasi profesi farmasis klinik Amerika American College of Clinical Pharmacy (ACCP) mempublikasikan sebuah makalah berjudul, A vision of pharmacy’s future roles, responsibilities, and manpower needs in the United States.” Untuk 10-15 tahun ke depan, ACCP menetapkan suatu visi bahwa farmasis akan menjadi penyedia pelayanan kesehatan yang akuntabel dalam terapi obat yang optimal untuk pencegahan dan penyembuhan penyakit (ACCP, 2008). Untuk mencapai visi tersebut, harus dipastikan adanya farmasis klinik yang terlatih dan mendapat pendidikan memadai.
Dalam sistem pelayanan kesehatan, farmasis klinik adalah ahli pengobatan dalam terapi. Mereka bertugas melakukan evaluasi pengobatan dan memberikan rekomendasi pengobatan, baik kepada pasien maupun tenaga kesehatan lain. Farmasis klinik merupakan sumber utama informasi ilmiah yang dapat dipercaya tentang obat dan penggunaannya, memberikan informasi terkait dengan penggunaan obat yang aman, tepat, dan cost-effective.
Konsep farmasi klinik pun kemudian berkembang di berbagai negara di dunia, termasuk Indonesia, dengan penerapan yang bervariasi pada tiap negara berdasarkan kondisi masing-masing.
Berikut akan saya paparkan perkembangan farmasi klinik di bagian dunia yang lain, yaitu Eropa, Australia, dan Indonesia sendiri sebagai perbandingan.
Farmasi Klinik di Eropa
Gerakan farmasi klinik di Eropa mulai menggeliat dengan didirikannya European Society of Clinical Pharmacy (ESCP) pada tahun 1979 (Leufkens et al, 1997). Sejak itu terjadi perdebatan yang terus menerus mengenai tujuan, peran dan nilai tambah farmasi klinik terhadap pelayanan pasien. Pada tahun 1983, ESCP mengkompilasi dokumen pendidikan berisi persyaratan dan standar untuk keahlian dan ketrampilan seorang farmasis klinik (ESCP, 1983).  Pada tahun itu, Federation Internationale Pharmaceutique (FIP) mempublika­sikan prosiding simposium bertemakan ‘Roles and Responsibilities of the Pharmacists in Primary Health Care’ di mana berhasil disimpulkan peran klinis seorang farmasis (Breimer et al, 1983). Sejak itu, World Health Organisation (WHO) dan berbagai institusi lain mulai mengenal dan memperjuangkan farmasis sebagai tenaga pelayanan kesehatan yang strategis (Lunde dan Dukes, 1989). Pada tahun 1992, ESCP mempublikasikan “The Future of Clinical Pharmacy in Europe” yang  merefleksikan perubahan cepat tentang peran farmasi di dalam sistem pelayanan kesehatan (Bonal et al, 1993). Perubahan tersebut terjadi secara universal di berbagai negara, dan itu terkait dengan perkembangan teknologi kesehatan, ekonomi kesehatan, informatika, sosial ekonomi, dan hubungan profesional (Waldo et al, 1991).
Menurut ESCP, farmasi klinik merupakan pelayanan yang diberikan oleh apoteker di RS, apotek, perawatan di rumah, klinik, dan di manapun, dimana terjadi peresepan dan penggunaan obat. Adapun tujuan secara menyeluruh aktivitas farmasi klinik adalah meningkat­kan penggunaan obat yang tepat dan rasional, dan hal ini berarti:
  • Memaksimalkan efek pengobatan yaitu penggunaan obat yang paling efektif untuk setiap kondisi tertentu pasien.
  • Meminimalkan risiko terjadinya adverse effect, yaitu dengan cara memantau terapi dan kepatuhan pasien terhadap terapi.
  • Meminimalkan biaya pengobatan yang harus dikeluarkan oleh pasien atau pemerintah (ESCP, 2009).
Walaupun demikian, perkembangan pelayanan farmasi klinik tidaklah sama di semua negara Eropa. Inggris merupakan negara di Eropa yang paling lama menerapkan farmasi klinik. Sebagian besar penelitian tentang peran penting farmasi klinik dalam pelayanan kesehatan sebagian besar diperoleh dari pengalaman di Amerika dan Inggris.
Farmasi Klinik di Australia
Di Australia, 90% rumah sakit swasta dan 100% rumah sakit pemerintah memberikan pelayanan farmasi klinik. Organisasi profesi utama yang mewadahi farmasis yang bekerja di RS di Australia adalah The Society of Hospital Pharmacists of Australia (SHPA), yang didirikan pada tahun 1941. Pada tahun 1996, SHPA mempublikasikan Standar Pelayanan Farmasi Klinik yang menjadi referensi utama pemberian pelayanan farmasi klinik di Australia.
Komponen fundamental dari standar ini adalah pernyataan tentang tujuan farmasi klinik dan dokumentasi dari aktivitas farmasi klinik terpilih. Standar ini juga digunakan dalam pengembangan kebijakan pemerintah dalam akreditasi pelayanan farmasi klinik di Australia, dan juga sebagai standar untuk pendidikan farmasi, baik di tingkat S1 maupun pasca sarjana (DiPiro, 2002)
Hadirin yang terhormat,
Macam aktivitas farmasi klinik
Walaupun ada sedikit variasi di berbagai negara, pada prinsipnya aktivitas farmasi klinik meliputi :
1.    Pemantauan pengobatan. Hal ini dilakukan dengan menganalisis terapi, memberikan advis kepada praktisi kesehatan tentang kebenaran pengobatan, dan memberikan pelayanan kefarmasian pada pasien secara langsung
2.    Seleksi obat. Aktivitas ini dilakukan dengan bekerja sama dengan dokter dan pemegang kebijakan di bidang obat dalam penyusunan formularium obat atau daftar obat yang digunakan.
3.    Pemberian informasi obat. Farmasis bertanggug-jawab mencari informasi dan melakukan evaluasi literatur ilmiah secara kritis, dan kemudian mengatur pelayanan informasi obat untuk praktisi pelayanan kesehatan dan pasien
4.    Penyiapan dan peracikan obat. Farmasis bertugas menyiapkan dan meracik obat sesuai dengan standar dan kebutuhan pasien
5.    Penelitian dan studi penggunaan obat. Kegiatan farmasi klinik antara lain meliputi studi penggunaan obat, farmakoepidemio- logi, farmakovigilansi, dan farmakoekonomi.
6.    Therapeutic drug monitoring (TDM). Farmasi klinik bertugas menjalankan pemantauan kadar obat dalam darah pada pasien dan melihat profil farmakokinetik untuk optimasi regimen dosis obat.
7.    Uji klinik. Farmasis juga terlibat dalam perencanaan dan evaluasi obat, serta berpartisipasi dalam uji klinik.
8.    Pendidikan dan pelatihan, terkait dengan pelayanan kefarmasian.
Semua yang dipaparkan di atas adalah gambaran perkembangan profesi farmasi, khususnya farmasi klinik, yang terjadi di beberapa belahan dunia. Bagaimana dengan Indonesia?
Farmasi Klinik di Indonesia
Praktek pelayanan farmasi klinik di Indonesia relatif baru berkembang pada tahun 2000-an, dimulai dengan adanya beberapa sejawat farmasis yang belajar farmasi klinik di berbagai institusi pendidikan di luar negeri. Belum sepenuhnya penerimaan konsep farmasi klinik oleh tenaga kesehatan di RS merupakan salah satu faktor lambatnya perkembangan pelayanan farmasi klinik di Indonesia. Masih dianggap atau merupakan keganjilan jika apoteker yang semula berfungsi menyiapkan obat di Instalasi Farmasi RS, kemudian ikut masuk ke bangsal perawatan dan memantau perkembangan pengobatan pasien, apalagi jika turut memberikan rekomendasi pengobatan, seperti yang lazim terjadi di negara maju. Farmasis sendiri selama ini terkesan kurang menyakinkan untuk bisa memainkan peran dalam pengobatan. Hal ini kemungkinan besar disebabkan oleh sejarah pendidikan farmasi yang bersifat monovalen dengan muatan sains yang masih cukup besar (sebelum tahun 2001), sementara pendidikan ke arah klinik masih sangat terbatas, sehingga menyebabkan farmasis merasa gamang berbicara tentang penyakit dan pengobatan.
Sebagai informasi, sejak tahun 2001, pendidikan farmasi di Indonesia, khususnya di UGM, telah mengakomodasi ilmu-ilmu yang diperlukan dalam pelayanan farmasi klinik, seperti patofisiologi, farmakoterapi, dll. dengan adanya minat studi Farmasi Klinik dan Komunitas.
Bersamaan dengan itu, mulai tahun 2001, berhembus angin segar dalam pelayanan kefarmasian di Indonesia. Saat itu terjadi restrukturisasi pada organisasi Departemen Kesehatan di mana dibentuk Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, dengan Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik di bawahnya, yang mengakomodasi pekerjaan kefarmasian sebagai salah satu pelayanan kesehatan utama, tidak sekedar sebagai penunjang. Menangkap peluang itu, Fakultas Farmasi UGM termasuk menjadi salah satu pioner dalam pendidikan Farmasi Klinik dengan dibukanya Program Magister Farmasi Klinik. Di sisi lain, beberapa sejawat farmasis rumah sakit di Indonesia mulai melakukan kegiatan pelayanan farmasi klinik, walaupun masih terbatas. Namun demikian, bukan berarti perkembangan farmasi klinik serta merta meningkat pesat, bahkan perkembangannya masih jauh dari harapan. Kasus Prita di sebuah RS di Tangerang yang cukup menghebohkan beberapa saat lalu merupakan salah satu cermin bahwa pelayanan kesehatan di Indonesia masih harus ditingkatkan, dan farmasis klinik mestinya bisa mengambil peran mencegah kejadian serupa.  Kiranya ke depan, perlu dilakukan upaya-upaya strategis untuk membuktikan kepada pemegang kebijakan dan masyarakat luas bahwa adanya pelayanan farmasi langsung kepada pasien akan benar-benar meningkatkan outcome terapi bagi pasien, seperti yang diharapkan ketika gerakan farmasi klinik ini dimulai. 
Manfaat farmasi klinik dalam optimasi hasil terapi 
Banyak penelitian telah membuktikan peran farmasi klinik terhadap berbagai outcome terapi pada pasien, baik dari sisi humanistik (kualitas hidup, kepuasan), sisi klinik (kontrol yang lebih baik pada penyakit kronis), dan sisi ekonomis (pengurangan biaya kesehatan). Hasil review publikasi antara tahun 1984-1995 oleh Inditz et al (1999) menyimpulkan bahwa pelayanan farmasi klinik efektif untuk mengurangi biaya pelayanan kesehatan, dan efektif dalam meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan. Hal ini terutama diperoleh dengan melakukan pemantauan resep dan pelaporan efek samping obat.
Bond et al (1999) juga melaporkan bahwa pelayanan farmasi klinik dapat menurunkan angka kematian di RS secara signifikan. Terdapat perbedaan sampai 195 kematian/tahun/RS antara RS yang menjalankan aktivitas farmasi klinik dengan yang tidak. Sebuah studi lain yang dilakukan di Massachusetts General Hospital di Boston menjumpai bahwa partisipasi farmasis dalam visite (kunjungan) ke bangsal perawatan intensive care unit (ICU) dapat mengurangi sampai 66% kejadian efek samping obat yang bisa dicegah, yang disebabkan karena kesalahan dalam perintah pengobatan (Leape et al, 1999).
Dalam hal outcome klinis, misalnya pada terapi antikoagulan, pengaturan penggunaan antikoagulan yang berlebihan dengan cara melakukan pemantauan melalui telepon oleh farmasis klinik telah berhasil meningkatkan outcome klinis pasien dibandingkan dengan cara pelayanan farmasi secara tradisional (Witt dan Humphries, 2003).
Bagaimana di Indonesia? Karena setiap negara memiliki situasi berbeda dalam hal pelayanan farmasi klinik, perlu dilakukan juga pengamatan serupa terhadap dampak pelayanan farmasi terhadap peningkatan hasil terapi maupun kualitas hidup pasien. Adalah kenyataan yang tak dapat dipungkiri bahwa masih banyak terjadi masalah terkait dengan penggunaan obat (drug-related problem, DRP) di berbagai tempat pelayanan kesehatan.
Di sebuah RS di Kalimantan Timur misalnya, dijumpai 88,6% pasien diabetes mellitus mengalami DRP, dengan masalah terbanyak adalah adanya indikasi penyakit yang tidak diterapi secara memadai (Utami, 2009). Dari 52 pasien hemodialisis di sebuah RS di Jawa Timur, 90,4% mengalami DRP, dengan jenis terbanyak adalah pasien tidak menerima obat (Irawaty, 2009).  Kejadian serupa masih banyak dijumpai, misalnya DRP pada penatalaksanaan stroke (Rahajeng, 2006), penggunaan antibiotika profilaksis (Blegur, 2007), penatalaksanaan nyeri kanker (Guswita, 2007), dengan berbagai jenis DRP lainnya.
Karena itu, pelayanan farmasi klinik sebenarnya dapat mengurangi kejadian DRP tersebut, dan lebih jauh dapat mening­katkan hasil terapi pasien. Intervensi farmasis dalam hal pemberian konseling pada pasien diabetes mellitus berhasil meningkatkan hasil terapi dan kualitas hidup pasien (Ikawati et al, 2008; Hermawan, 2009). Demikian pula pada pasien hipertensi di sebuah RS di Jawa Tengah, konseling farmasis dapat meningkatkan pencapaian target tekanan darah yang diinginkan (Kusumaningjati, 2008).
Hadirin yang berbahagia,
Perkembangan dunia kesehatan di era genomik
Pada dua dekade terakhir kita menyaksikan kemajuan pemahaman baru tentang proses dasar fisiologis maupun patologis pada manusia sampai ke tingkat molekuler. Penelitian di bidang ini mendapatkan momentum dalam beberapa tahun terakhir, didorong dengan selesainya proyek genom manusia (human genome project) pada tahun 2001 (Oak Ridge National Laboratory, 2009) dan International HapMap Project (Anonim, 20091). Kemajuan teknologi telah memungkinkan identifikasi protein-protein regulator dan sistem signaling kompleks yang berperan penting dalam proses fisiologis normal maupun dalam kondisi patologis pada semua sistem organ utama. Elusidasi sekuens genom manusia dan kemajuan lain telah memberikan kesempatan untuk penemuan terobosan yang mengarahkan kepada pandangan fundamental terhadap fungsi sistem biologis, dan menciptakan kesempatan unik untuk mentranslasikan ilmu dasar menuju pengobatan secara klinis.
Kita juga menyaksikan kemajuan pemahaman ilmiah mengenai hubungan antara gen manusia dengan respon terhadap pengobatan, yang kemudian dikenal dengan istilah farmakogenetik/genomik. Istilah farmakogenetik pertama kali dikenalkan oleh Vogel pada tahun 1959 (Shin et al, 2009), dan digunakan untuk menggambarkan hasil observasi klinis mengenai perbedaan yang diwariskan dalam hal respon terhadap obat (Evan et al, 2003). Farmakogenomik merupakan aplikasi farmakogenetik, dan pada prakteknya istilah ini dapat saling dipertukarkan penggunaannya. Telah diketahui bahwa proteinlah yang beraksi sebagai enzim pemetabolisme obat, transporter, dan reseptor yang terdapat di seluruh tubuh, yang memperantarai respons tubuh terhadap obat. Variasi gen yang mengkode protein-protein ini seringkali hanya melibatkan perbedaan basa tunggal saja, yang disebut Single Nucleotide Polymorphisms (SNPs). Adanya SNP ini menyebabkan perbedaan respon tehadap obat antar-individu, dan menjelaskan mengapa obat tidak selalu efektif untuk semua pasien dan memiliki efek samping terhadap sekelompok orang tetapi tidak untuk kelompok orang lainnya (Clemerson et al, 2008).
Hingga saat ini di AS terdapat kurang lebih 50 macam obat yang telah memasukkan informasi farmakogenetik pada pelabelannya. Obat-obat ini antara lain antijamur (voriconazol), obat kardio-vaskuler dan hematologi (warfarin), antikonvulsan (karbamazepin), antikanker (azatioprin, irinotecan, trastuzumab, dan cetuximab), dan antipsikotik (atomoxetin) (Frueh et al, 2008). Informasi farmakogenetik diharapkan dapat digunakan untuk pengembangan/penemuan obat dan dalam pelayanan klinis pasien.
Dalam lingkup pelayanan klinis, informasi farmakogenetik dapat digunakan untuk memprediksi penetapan dosis obat. Jika hasil tes farmakogenetik menunjukkan adanya polimorfisme genetik yang menyebabkan penurunan aktivitas enzim pemetabolisme, maka ketersediaan obat dalam darah dapat meningkat sehingga dosis perlu diturunkan untuk mencegah kemungkinan terjadinya efek toksik. Dan sebaliknya jika aktivitas enzim meningkat. Namun tentu perlu diketahui juga bahwa faktor genetik bukanlah satu-satunya penentu respon pasien terhadap obat. Perlu dipertimbangkan pula faktor lain yang berpengaruh terhadap efek obat.
Memang, praktek klinik yang menggunakan informasi farmakogenetik masih jauh dari pelaksanaan, bahkan di negara maju sekalipun. Namun demikian, terkadang kemajuan teknologi kesehatan dapat terjadi jauh lebih cepat dari yang diperkirakan, maka bukan tidak mungkin aplikasi serupa sudah ada di depan mata. Atau, kalaupun belum dapat diaplikasikan, pengetahuan ini sangat penting untuk dapat menjelaskan berbagai fenomena dalam masalah pengobatan. Hal ini diyakini akan memberikan nilai tambah bagi farmasis dalam dunia klinik. Dalam hal aplikasi farmakogenetik, farmasis, akan memegang peran penting di masa depan. Aplikasi penemuan farmakogenetik membutuhkan pengetahuan dan pemahaman mengenai farmakodinamik dan farmakokinetik obat. Karena farmasis memahami farmakokinetik dan farmakodinamik, maka mestinya ia akan memegang peran yang signifikan dalam aplikasi farmakogenetik. Bahkan para ahli menyarankan bahwa farmasis sebaiknya memiliki akses untuk mendapatkan informasi genetik pasien untuk bisa memberikan pelayanan kefarmasian secara individual sebelum mereka menyiapkan resep (Haga dan Burke, 2008).
Namun demikian, sebelum semua itu menjadi realita, ada satu langkah yang mestinya sudah bisa dilakukan oleh farmasis klinik dalam rangka meningkatkan pelayanan kefarmasian yaitu dengan lebih memfokuskan kepada ilmu-ilmu khas kefarmasian.
Peluang farmasis di era genomik
Pada era genomik yang mengedepankan faktor genetik sebagai salah satu kontributor terhadap respon pasien terhadap obat, maka dapat dikatakan bahwa terapi dan hasilnya bersifat individual. Dengan analogi yang sama, respon terapi pada satu etnis mungkin akan berbeda dengan etnis lain, termasuk kejadian efek samping obat atau adverse drug reactions. Karena itu pada era genomik di mana terapi mengarah kepada individualisasi terapi, ada beberapa hal yang perlu dikembangkan dan ditekankan pelaksanaannya oleh farmasis (farmasis klinik), antara lain:
1. Therapeutic drug monitoring (TDM)
Istilah ini merupakan istilah khusus untuk pemantauan kadar obat dalam darah. TDM perlu dilakukan terutama untuk obat-obat dengan kisar terapi sempit, di mana peningkatan kadar sedikit saja dalam darah dapat memberikan peningkatan efek terapi yang signifikan, termasuk efek toksiknya. Beberapa obat yang memiliki kisar terapi sempit dan idealnya menjalani TDM antara lain golongan antiepilepsi (fenitoin, karbamazepin, asam valproat), antibiotika golongan aminoglikosida (gentamicin, vancomicin, kanamicin), litium, dan obat-obat anti retroviral (obat HIV) (Birkett et al, 1997).
TDM juga sangat membantu pada terapi yang kompleks dan melibatkan interaksi berbagai obat dalam tubuh pasien. Sangat mungkin satu orang pasien menerima obat hingga 10-15 macam, yang satu dengan lainnya mungkin berinteraksi secara siginifikan. Suatu  obat dapat menurunkan atau meningkatkan ketersediaan hayati obat lain dalam tubuh, baik dengan mekanisme farmakokinetika maupun farmakodinamika, sehingga TDM akan sangat berguna untuk memastikan regimen dosis obat.
Lebih lanjut, mengkombinasikan TDM dengan informasi farmakogenetik tentu akan menguntungkan pasien untuk mendapatkan regimen dosis yang tepat dan aman. Contoh obat dengan kisar terapi sempit dan polimorfisme genetik yang relevan disajikan pada tabel.
Tabel. Obat dengan kisar terapi sempit dan polimorfisme genetik yang relevan  (Bukaveckas, 2004)
Nama obat
Polimorfisme genetik
Siklosporin
CYP3A5 dan MDR1
Asam valproat
CYP2C9 dan CYP2A6
Fenitoin
CYP2C9
Karbamazepin
CYP3A
Warfarin
CYP2C9
Digoksin
MDR1
Kuinidin
CYP2D6
Teofilin
CYP1A2
 Kajian cost-effectiveness tentang TDM sudah banyak dilaporkan, bahwa TDM terbukti cost-effeetive untuk penggunaan antibiotika golongan aminoglikosida, obat antiepilepsi, dan imunosupresan (Touw et al, 2007). Namun pelaksanaan TDM masih menjadi kendala di Indonesia karena berbagai alasan. Pemahaman tentang pentingnya TDM dan individualisasi dosis nampaknya masih beragam antar pelaku pelayanan kesehatan.
Sudah saatnya TDM diatur melalui kebijakan kesehatan nasional, sehingga dapat segera terealisasi, seperti yang sudah dilaksanakan di negara-negara maju. Kombinasi TDM dengan test farmakogenetik nampaknya masih jauh dari realita, namun pengetahuan dan persiapan farmasis menuju era individualisasi terapi perlu terus dikembangkan.
2. Farmakovigilans (pharmacovigilance)
Khusus untuk keamanan obat, perlu dilakukan upaya-upaya identifikasi dan pencegahan ADR dengan cara lain, misalnya dengan farmakovigilans.
Farmakovigilans merupakan cabang ilmu farmakologi yang terkait dengan deteksi, penilaian, pemahaman, dan pencegahan efek yang tidak diinginkan (adverse effects), terutama efek samping jangka pendek maupun panjang obat, produk biologis, herba, maupun obat tradisional, dengan tujuan mengidentifikasi informasi baru tentang bahaya karena obat, dan mencegah bahaya itu pada pasien (WHO, 2002).
Polimorfisme genetik, sekali lagi, merupakan salah satu sumber variasi respon obat di dalam tubuh. Dalam kaitannya dengan ADR, perhatian lebih banyak ditujukan terhadap faktor farmakokinetik, khususnya metabolisme obat (Pirmohamed dan Park, 2001). Namun demikian, variasi genetik pada target aksi obat (faktor farmakodinamik) mungkin pula berperan. Oleh sebab itu, sangat penting kita memiliki informasi kejadian ADR pada populasi khusus orang Indonesia. Pada umumnya kita selalu merujuk buku-buku teks untuk melihat signifikansi kejadian ADR, namun lupa bahwa informasi tersebut kebanyakan bersumber dari ras Kaukasia. Untuk itu perlu kiranya disusun database ADR atau efek samping khusus populasi Indonesia, mengingat Indonesia sangat kaya akan keragaman etnis, sehingga memungkinkan adanya variasi genetik dan hasil pengobatan.
Satu contoh menarik adalah penggunaan metamizol (antalgin) sebagai analgetik. Antalgin mudah dijumpai di berbagai tempat pelayanan kesehatan di Indonesia, meskipun sudah dilarang penggu­naannya di Amerika (1977), Swedia (1974), dan di beberapa negara lain termasuk Jepang, Australia, dan beberapa negara Eropa (Anonim, 20092), karena menyebabkan ADR fatal yaitu agranulositosis dan diskrasia darah (Bottiger dan Westerholm, 1973). Sementara itu di Mexico, India, Brazil, Rusia, dan di negara dunia ketiga lain, termasuk Indonesia, obat ini masih tersedia secara luas dan termasuk analgesik populer. Adanya kontroversi tentang angka prevalensi kejadian agranulositosis di berbagai negara, memunculkan dugaan kuat adanya faktor  genetik sebagai penyebab perbedaan tersebut. Karena itu perlu dilakukan kajian apakah memang terdapat perbedaan kerentanan antar berbagai ras terhadap adverse effect antalgin yang disebabkan faktor genetik, atau memang sistem pelaporan efek samping di Indonesia yang belum berjalan dengan baik sehingga belum bisa menjadi dasar penarikan suatu obat dari pasar oleh badan otoritas.
Karena itu selama pemantauan terapi, identifikasi dan pelaporan kejadian ADR menjadi penting, dan farmasis dapat mengambil peran kunci ketika menerapkan praktek farmasi klinik.
3. Pelayanan Informasi Obat dan Konseling pada Pasien
Aktivitas ini mestinya merupakan aktivitas awal seorang farmasis sebagai tenaga yang berkompeten di bidang obat. Saya ingin menekankan bahwa pada era genomik, penjelasan bagaimana aksi obat dan bagaimana proses patologis terjadi, sudah mencapai ke tingkat molekuler, terutama pada tingkat protein.  Karena itu, pengetahuan tentang mekanisme molekuler penyakit dan obat-obat baru yang makin selektif terhadap target aksi spesifik di tingkat molekuler perlu dikuasai, dengan selalu meng-update pengetahuan terkini. Hal ini akan memberikan nilai tambah bagi farmasis ketika harus memberikan pelayanan informasi obat, terutama pada sejawat tenaga kesehatan lain.
Di sisi lain, pengetahuan teknis farmasetis yang merupakan kompetensi khas farmasis harus pula dikuasai untuk bisa memberikan saran dan rekomendasi pada sejawat dalam hal penyiapan obat pasien. Tak boleh dilupakan adalah ilmu-ilmu dasar kefarmasian dalam penggunaan obat yang sangat diperlukan untuk pencerahan kepada pasien, yang semuanya ini bertujuan meningkatkan hasil terapi. Konseling tentang pengobatan kepada pasien perlu terus ditingkatkan untuk memastikan bahwa pasien dapat menggunakan obatnya dengan cara yang benar sehingga dapat dicapai hasil terapi yang optimal.
Di akhir pidato ini saya ingin menggaris bawahi bahwa profesi farmasis klinik terus berkembang dan menjadi kebutuhan, dan itu memerlukan kesiapan dan komitmen farmasis untuk terus meningkatkan kompetensi dan mengikuti semua perkembangan di bidang ilmu kesehatan hingga tingkat advanced. Hal ini akan meningkatkan percaya diri dan kepercayaan dari sejawat tenaga kesehatan, sehingga bisa memposisikan diri sebagai mitra penting dalam memberikan pelayanan kesehatan yang terbaik pada pasien, dengan semangat empati dan peduli.
Upaya-upaya untuk membuktikan peran farmasis klinik dalam meningkatkan outcome terapi bagi pasien harus terus dilakukan, sehingga akan semakin membuka peluang diterimanya profesi farmasis di dalam tim pelayanan kesehatan yang langsung berhubungan dengan pasien.
Saya juga menghimbau kepada pemegang kebijakan di Departemen Kesehatan untuk lebih mengakomodasi peran farmasis dalam pelayanan kesehatan sebagai anggota tim pelayanan kesehatan yang lebih memiliki akses terhadap pemantauan pasien. Pelaksanaan farmasi klinik di berbagai negara dapat menjadi acuan, tentunya dengan tetap mendasarkan pada sistem pelayanan kesehatan yang berlaku di Indonesia.
Penutup
Hadirin yang kami hormati
Sebagai akhir dari pidato pengukuhan ini, pekenankanlah saya sekeluarga menyampaikan rasa syukur yang tak terhingga kepada Allah SWT atas segala karunia, rahmat, dan petunjukNya, sehingga pada hari ini saya mendapat kesempatan dan kehormatan melakukan pidato pengukuhan sebagai Guru Besar di Bidang Farmakologi dan Farmasi Klinik. Sungguh semua capaian ini tak lepas dari ijin dan perkenanNya yang telah memberi kemudahan dan kelancaran saya dalam bertugas.
Ucapan terimakasih saya sampaikan kepada Pemerintah Republik Indonesia dan Menteri Pendidikan Nasional yang telah mempercayai saya sebagai Guru Besar. Demikian juga kepada Rektor UGM beserta jajarannya, Pimpinan Senat Akademik dan Anggota Senat Akademik, Pimpinan dan Anggota Majelis Guru Besar UGM, yang telah menyetujui dan mengusulkan jabatan yang terhormat dan mulia ini.
Ucapan terimakasih juga saya sampaikan kepada Dekan, Ketua dan Anggota Senat Fakultas Farmasi UGM, yang telah menyetujui dan mengusulkan pengangkatan Guru Besar ini. Kepada Kepala Bagian Farmakologi dan Farmasi Klinik beserta para senior, serta seluruh sejawat dosen dan civitas akademika lainnya, yang telah banyak membantu dan bekerjasama dengan baik sehingga proses pengusulan Guru Besar dapat berjalan lancar, kami ucapkan banyak terimakasih.
Kebanggaan dan penghargaan yang tinggi saya haturkan pula pada guru-guru saya di SD Santa Maria Purwokerto, SMP Negeri 1 Purwokerto, dan SMA Negeri 1 Purwokerto yang telah membekali kami dengan ilmu sehingga kami dapat melanjutkan pendidikan tinggi.  Semoga gelar ini bisa menjadi ungkapan rasa terimakasih dari hati yang terdalam. Demikian pula kepada seluruh Bapak ibu dosen di Fakultas Famasi UGM yang telah mendidik saya sejak tahun 1987 ketika pertama kali kami diterima sebagai mahasiswa Fak Farmasi, sampai sekarang ini, hingga saya dapat mencapai jenjang akademik tertinggi. Terimakasih kami haturkan kepada Ibu Prof. Dr. Retno S. Sudibyo, MSc, Apt. Dan Prof. Dr. Umar Anggoro Jenie, MSc, Apt, dosen pembimbing skripsi saya pada waktu itu yang memperkenalkan pada dunia penelitian.
Ucapan terimakasih yang tulus saya haturkan juga kepada yang terhormat Prof. Drs. Moh Anief, Apt, Dekan pada saat itu, yang telah menawari posisi sebagai dosen kepada saya ketika saya lulus S1 pada tahun 1992. Kepada Prof Dr. A. Mursyidi, Prof Dr. Ibnu Gholib Gandjar, DEA, Apt, dan Prof Dr Marchaban, DESS Apt, selaku dekan-dekan semasa kami mulai bekerja sebagai dosen di Fakultas Farmasi UGM sejak tahun 1993, yang telah banyak mendorong dan memberi saya kesempatan untuk mengembangkan diri dan berkarya di fakultas, saya mengucapkan terimakasih yang tulus. Tak lupa, ucapan terimakasih saya sampaikan kepada Bapak Ibu dosen Bagian Farmasetika yang merupakan tempat saya bergabung ketika pertama kali diterima menjadi dosen di Fakultas, yang telah membimbing dan mengarahkan ketika awal-awal pengabdian saya. Kepada Bapak/ibu dosen Bagian Farmakologi dan Farmasi Klinik yang menjadi tempat pengabdian saya berikutnya mulai tahun 2004, ucapan terimakasih tak terhingga atas dukungan dan kerjasamanya sehingga saya bisa mencapai gelar yang mulia ini. Terimakasih setulusnya saya haturkan juga kepada senior saya Prof Dr. Sismindari, Prof. Dr. Sudjadi, Prof. Dr. Subagus Wahyuono, yang menjadi “mentor” dan membuka tangannya semenjak saya pulang studi S3 sehingga saya banyak termotivasi mengajukan proposal penelitian dan aktif menjalankan penelitian hingga saat ini. Penghargaan dan ucapan terimakasih juga saya sampaikan kepada Profesor Kazutaka Maeyama di Ehime University Japan, yang telah membimbing saya dalam menyelesaikan program doktor di bidang Farmakologi di Department of Pharmacology Ehime University School of Medicine, Jepang, dan hingga saat ini selalu terbuka untuk bekerja sama dalam pengembangan ilmu.
Semua pencapaian ini tentu tidak lepas dari doa dan dukungan yang tak putus-putus dari orangtua tercinta kami. Untuk itu, ucapan terimakasih dan sembah bakti yang tulus saya haturkan kepada ayahanda tercinta (alm) Bp. Drs. M. Iskak, dan ibunda Isworowati, yang telah mendukung dengan segala cinta kasih dan daya upayanya sehingga saya bisa bersekolah tinggi. Kepada ayah dan ibu mertua (Alm) Bp. Harun Tjiptodiharjo dan (Alm) Ibu Sukini, kami ucapkan terimakasih yang tulus. Khusus untuk alm Ibu Sukini, walau belum pernah bertemu di dunia, terimakasih telah melahirkan seseorang yang kini menjadi pendamping terbaik saya dalam hidup berkeluarga. Ucapan terimakasih saya tujukan juga kepada semua adik-adik : Dr. Ir. Dwi Setyaningsih, Triana Nugrahenny, S.Psi, Agung Kurniawan, SE, Akt., Ridho Pamungkas, SIP., beserta suami/istri masing-masing, dan alm adik Rina Lestari, yang telah membangun persaudaraan yang penuh cinta kasih. Kepada adik-adik ipar: Edy-Nur, Endang-Bidin, Enis, Emi, dan Ening-Bahiej, terimakasih pula atas dukungannya. Terimakasih juga pada Mbak Hartini, SE dan Mbak Dessy Setyaningrum, SE, yang telah mendukung dan membantu dalam berbagai urusan sehari-hari, sehingga telah sangat mengakselerasi pencapaian kami sebagai guru besar.
Akhirnya, terimakasih tak terhingga saya sampaikan kepada suami tercinta yang telah penuh pengertian dan dukungan menghantarkan saya untuk memperoleh semua pencapaian ini: Dr. Ir. Eko Hanudin, MS., dan anak-anakku tercinta : Handy Aulia Zharfani, Hannisa Fazania Hasna, dan Handhika Azka Aunnuha. Tanpa dukungan suami dan anak-anak tercinta, tak mungkin saya mencapai derajat terhormat ini. Khusus untuk suamiku tercinta, jadilah selalu telagaku, tempat bermuara semua suka dukaku, dan menjadi tempatku merenangi kehidupan sampai akhir hayatku.
Terakhir kepada hadirin sekalian, saya sampaikan terimakasih atas kehadiran, dan kesabarannya dalam mengikuti Pidato Pengukuhan saya hari ini. Mohon maaf sekiranya terdapat hal-hal yang kurang berkenan.
Alhamdulillahirabil aalamiin
Wassalamu alaikum wr wb.


DAFTAR PUSTAKA 
American College of Clinical Pharmacy, 2008, The Definition of Clinical Pharmacy, Pharmacother, 28(6):816–817
Anonim, 20091, International HapMap Project, http://www.genome. gov/10001688, (diakses pada tanggal 10 Desember 2009)
Anonim, 20092, Metamizole, http://www.medic8.com/medicines/ Metamizole.html, diakses pada tanggal 15 Desember 2009
APTFI, 2009, Daftar Akreditasi Perguruan Tinggi Farmasi Indonesia, http://aptfi.or.id/?cat=16 (diakses  tanggal 10 Desember 2009)
Birkett DJ, 1997, Therapeutic Drug Monitoring, Aust Prescr, 20:9-11
Blegur F, 2007, Evaluasi Penggunaan Antibiotika Profilaksis pada Luka Operasi Bersih di RSUD Prof Dr WZ Johanes Kupang periode Oktober-Desember 2004, Thesis, Magister Farmasi Klinik UGM, Yogyakarta
Bonal J, Burden M, Delporte JP, eds. 1993, The Future of clinical pharmacy in Europe.: European Society of Clinical Pharmacy, Noordwijk
Bond CA, Raehl CL, Franke T., 1999, Clinical Pharmacy Services, Pharmacist Staffing, and Drug Costs in United States Hospitals. Pharmacother, 19(12):1354–62
Breimer DD, ed., 1983, Roles and Responsibilities of the Pharmacists in Primary Health Care. Proceedings of the 42nd international congress of FIP, Copenhagen 1982, The Hague.
Bukaveckas BL, 2004, Adding Pharmacogenetics to the Clinical Laboratory: Narrow Therapeutic Index Medications as a Place to Start, Arch Pathol Lab Med, 128 (12): 1330–1333
Clemerson, JP., Payne, EK., Bissell, P., Anderson, C., 2006, Pharmacogenetics, the Next Challenge for Pharmacy?, Pharm World Sci, 28:126–130
DiPiro, TJ, 2002, Encyclopedia of Clinical Pharmacy, Dekker, hl 900
ESCP, 1983, The Clinical Pharmacist: education document, Barcelona
ESCP, 2009, What is Clinical Pharmacy, http://www.escpweb.org/ site/cms/contentViewArticle.asp?article=1712
Evans WE, McLeod HL, 2003, Pharmacogenomics—Drug Disposition, Drug Targets, and Side Effects. N Engl J Med, 348(6):538–549.
Frueh FW, Amur S, Mummaneni P, 2008, Pharmacogenomic Biomarker Information in Drug Labels Approved by the United States Food and Drug Administration: Prevalence of Related Drug Use. Pharmacother,  28:992-8.
Guswita, 2007, Evaluasi Penggunaan Analgesik Opioid pada Penanganan Nyeri Kanker Pasien Rawat Inap di RS Kanker Dharmais Jakarta selama September-November 2006, Thesis, Magister Farmasi Klinik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Haga S, Burke W, 2008, Pharmacogenetic testing: not as Simple as it Seems, Genet Med, 10(6):391-395
Hepler CD, Strand LM, 1990, Opportunities and Responsibilities in Pharmaceutical Care, Am J Hosp Pharm,  47 (3):533-543
Hermawan, A.R., 2009, Pengaruh Konseling Farmasis terhadap Hasil Terapi dan Kualitas Hidup Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 di Poli Penyakit Dalam RSUD Dr Abdul Rivai Tanjung Redeb Kalimantan Timur, Thesis, Magister Farmasi Klinik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Ikawati, Z., Andayani, T.M., Dwipawestri, A.S., Kurnia, V.E., 2008, The Role of Pharmacist Counseling to Improve Clinical Outcome and Quality of Life of Diabetes Patients in Yogyakarta, presented on The 8th Asian Conference on Clinical Pharmacy, Surabaya.
Inditz MES, Artz MB, 1999, Value Added to Health by Pharmacists. Soc Sci Med, 48:647-60.
Irawaty, Y., 2009, Kajian Drug-related Problem pada Pelaksanaan Pasien Hemodialisis di RSAL dr Ramelan Surabaya, Thesis, Magister Farmasi Klinik UGM, Yogyakarta
Kusumaningjati, Y., 2008, Pengaruh Konseling Farmasi terhadap Luaran Terapetik Pasien Hipertensi di RSU Kardinah Tegal, Thesis, Magister Farmasi Klinik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Leape LL, Cullen DJ, Clapp MD, 1999, Pharmacist Participation on Physician Rounds and Adverse Drug Events in the Intensive Care Unit, JAMA; 282(3):267-70
Leufkens H, Hekster Y,  Hudson S, 1997, Scenario Analysis of the Future of Clinical Pharmacy,  Pharm World Sci, 19(4): 182-185.
Lunde I, Dukes MNG, 1989, The Role and Functions of the Community and Hospital  Pharmacist in the Health Care Systems in Europe. WHO Collaborating Centre for Clinical Pharmacology and Drug Policy Science, Groningen
Miller J, 1981, History of Clinical Pharmacy and Clinical Pharmacology, J Clin Pharmacol.  21: 195-197
Oak Ridge National Laboratory, 2009, Human Genome Project information, http: // www.ornl.gov/sci/techresources/
Human_Genome/home.shtml (diakses pada tanggal 10 Desember 2009).
Pirmohamed M, Park BK, 2001, Genetic Susceptibility to Adverse Drug Reactions, Trends Pharmacol Sci, 22 (6): 298
Shin J, Kayser SR, Langae TY, 2009, Pharmacogenetics: From Discovery to Patient Care, Am J Health Syst Pharm, 66(7):625-637
Utami, S., 2009, Kajian Drug-related Problem pada Pasien Diabetes Melitus yang Dirawat Inap di RSU Dr Kanujoso Djatiwibowo Balikpapan pada Bulan Oktober-Desember 2005, Thesis, Magister Farmasi Klinik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Waldo DR, Sonnefeld ST, Lemieux JA, McKusick DR, 1999, Health Spending through 2030: Three Scenarios. Health Affair 231-42
WHO, 2002, The Importance of Pharmacovigilance: Safety Monitoring of Medicinal Product, United Kingdom
Witt, M.D.,  Humphries, TL., 2003, A Retrospective Evaluation of the Management of Excessive Anticoagulation in an Established Clinical Pharmacy Anticoagulation Service Compared to Traditional Care, J Thrombosis Thrombolysis 15(2), 113–118
Touw DJ, Neef C, Thomson AH, Vinks AA, 2007, Cost-effectiveness of Therapeutic Drug Monitoring: an Update,  EJHP Science, 13 (4): 83-91

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS