Melalui medical representative (medrep), perusahaan farmasi membujuk
habis para dokter. Iming-iming hadiah, insentif, hingga bonus wisata
bersama keluarga menjadi senjatanya. Targetnya, sang dokter mau
meresepkan obat produknya kepada para pasiennya.
Sore itu, sebuah surat elektronik eksekutif terima dari seorang
sumber yang berada di Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Pengirim e-mail
itu adalah seorang dokter yang memang ekskutif minta untuk menceritakan
pengalamannya seputar praktik kongkalikong antara medical representative
(medrep) sebuah perusahaan farmasi dengan sebagain dokter di rumah
sakit tempat ia bekerja.
Dalam surat elektronik tersebut, sang dokter yang menolak disebutkan
identitasnya ini menceritakan banyak hal. Namun, di awal suratnya itu,
ia menegaskan bahwa dirinya bukan bagian dari dokter yang mudah “dirayu”
oleh para medrep yang acap mendatanginya untuk mempromosikan obat yang
mereka tawarkan. “Saya berusaha untuk profesional. Saya khawatir ini
jadi tidak berkah,” tulis sumber tersebut.
Sumber ini
menceritakan, beberapa waktu yang lalu ia menerima telepon dari seorang
teman sejawat (sesama dokter) yang juga bekerja di rumah sakit tempat ia
praktik. Temannya itu mengabarkan sedang berada di Jakarta, menginap di
salah satu hotel berbintang lima, karena sedang mengikuti kongres yang
disponsori oleh salah satu perusahaan farmasi besar yang berkantor pusat
di Jakarta.
“Dengan bangga dia cerita ke saya, betapa baiknya si perusahaan tersebut. Mau membiayai seluruh perjalanannya
dari kota yang jauh, menginapkannya bersama seluruh keluarganya di
hotel berbintang. Bahkan, memberikan uang saku bagi istrinya untuk pergi
berbelanja ke mal, selagi dia mengikuti kongres,” kata sumber ini.
Belum
lagi, lanjut e-mailnya, temannya itu mendapat bingkisan berbagai pernak
pernik dan souvenir berhias logo perusahaan farmasi yang mesponsorinya
itu untuk dibawa pulang ke kampungnya di Makassar. “Dia juga memuji-muji
produk obat baru yang dipromosikan perusahaan tersebut, yang menempati
satu sesi presentasi khusus dalam kongres itu,” tambahnya.
Mendengar
kisah bangga teman sejawatnya itu, bukan ikut merasakan senang. Ia
malah mengaku prihatin dengan perubahan kawan seprofesinya itu. Sumber
ini bahkan berseloroh, dulu kawannya itu dikenal berhati lugu, namun
kini hatinya sudah berlogo perusahaan farmasi yang mensponsorinya itu.
Sumber
ini mengakui, bahwa obat-obatan produk perusahaan yang mensponsori
temannya itu kini cukup banyak masuk ke rumah sakit tempat ia bekerja.
“Saya yakin, teman saya itu tidak ragu untuk menuliskan resep obat-obat
itu untuk para pasiennya, meskipun saya sendiri tidak pernah melihat
langsung,” ujarnya.
Sumber eksekutif ini juga mengakui, bahwa
hampir seminggu sekali dirinya didatangi para pekerja farmasi yang juga
dikenal dengan detailer ini. “Hampir semua dokter di rumah sakit saya
sering didatangi medrep. Kadang penampilan mereka seperti selebritis
saja,” tambahnya.
Kisah di atas, hanyalah satu dari sekian banyak
praktik “perselingkuhan” antara dokter dengan perusahaan farmasi. Para
medrep atau detailer dengan bendera perusahaannya melancarkan strategi
pemasaran yang sangat agresif dan jitu. Siapa yang bisa memaksa pasien
membeli obat tertentu, kalau bukan tangan dokter yang menuliskannya di
kertas resep?
Tak banyak orang awam yang menyadari bahwa persaingan di industri
obat sebetulnya cukup alot, mulai dari biaya riset yang mahal hingga
aturan harga obat yang tidak boleh dibandrol terlalu mahal karena bisa
merongrong kocek pasien. Akibatnya, produsen farmasi yang tidak sabar,
menggaet dokter untuk ikut membantu memasarkan obat kepada pasien.
Sebagai
balasannya, dokter kerap diberikan sponsor untuk berlibur bersama
keluarga yang berkedok pertemuan ilmiah, bahkan ada produsen obat yang
terang-terangan memberikan komisi. Cara seperti ini, tampaknya sudah
menjadi tahu-sama tahu antara dokter dan produsen obat.
Untuk
memastikan lebih jauh tentang fenomena praktik “perselingkuhan” di dunia
kesehatan ini, eksekutif juga menggali informasi dari beberapa sumber
lain yang juga seorang medrep. Dari beberapa medrep yang ditanayi,
ternyata jawaban mereka hampir sama. “Ya, memang begitulah praktik kami
selama ini,” ujar seorang medrep kepada eksekutif.
Medrep Memiliki Data Dokter
Fungsi medrep atau detailer sesungguhnya sebagai agen penjualan obat ethical kepada target pasar, yakni apotek
dan rumah sakit. Tugas mereka jelas, memperkenalkan produk, baik dari
sisi fungsi, manfaat, maupun efek samping, karena produk itu memang
tidak diiklankan.
Namun, peran mereka rupanya dari waktu ke waktu makin bergeser. Tidak
lagi sekadar agen obat, melainkan juga fasilitator untuk banyak
kepentingan, baik dari sisi dokter atau rumah sakit maupun dari sisi
produsen. Mereka bekerja untuk mempertemukan dua kepentingan yang sama:
uang.
Pambagiyo, seorang dokter yang berpraktik di salah satu rumah sakit
di Jakarta Selatan menyebutkan, praktik yang dijalankan medrep
seolah-olah sangat wajar. Misalnya, memperkenalkan produk dengan membawa
makanan kecil ke apotek atau rumah sakit. Perkenalan diteruskan dengan
bincang-bincang intens menyangkut hobi dan kesukaan dokter. Tidak
ketinggalan, kadang medrep meminta apotek membeli obat yang
direkomendasikan dengan iming-iming diskon, atau bahkan menjanjikan
setengah penjualan obat itu untuk apotek.
Hebatnya lagi, medrep tidak membiarkan apotek bekerja sendiri dengan
menunggu pembeli. Lewat medrep pula, perusahaan farmasi mendorong dokter
atau rumah sakit di sekitar apotek untuk meresepkan obat yang sama.
“Saya melihat, cara kerja medrep rapi sekali, semua dibantu dan
diuntungkan, kecuali konsumen,” ujar seorang sumber eksekutif ini.
Dokter
spesialis ini mengatakan, medrep sekarang makin blak-blakan dan
bergerak cepat. “Mereka kadang tanpa ragu-ragu minta ‘bantuan’ para
dokter untuk diresepkan produknya,” ujarnya.
Namun, bak seorang agen
rahasia, kadang ada juga seorang medrep yang datang dengan sejumlah
data. Biasanya medrep sudah mengantongi data lengkap pasien yang
berkunjung ke dokter, tempat praktik, dan informasi tentang keluarga si
dokter. “Jadi, rupanya, diam-diam mereka mengamati saya,” imbuh dokter
spesialis penyakit dalam ini.
Menurut pengakuan seorang medrep sebuah perusahaan farmasi lokal di
Jakarta, bagi dokter yang dianggap unggulan, karena memiliki potensi
pasien besar, digunakan pendekatan yang lebih seru, yakni mengundang
jamuan makan malam. Namun, pada pertemuan informal itu, seorang medrep
tak sendiri menemui. “Biasanya, saya ditemani seorang manajer atau
bahkan manajer senior,” ujarnya.
Pertemuan itu dimaksudkan untuk langsung mempromosikan keunggulan
obat dan hitung-hitungan reward yang bakal diberikan. Di pertemuan ini
mereka bicara blak-blakan, tanpa malu-malu. Seperti bernegosiasi. “Ada
juga negosiasinya berupa terima insentif bulanan dari pabrik obat yang
bersangkutan,” sumber pria yang sudah lima tahun lebih bekerja di
perusahaan farmasi ini.
Masih menurut dokter Pambagiyo, dari pengalamannya selama didekati
orang farmasi, ia “memuji”, perusahaan farmasi kini makin “pintar”
memilih iming-iming hadiah. Seperti yang ia pernah alaminya beberapa
tahun lalu, tiba-tiba ia mendapat bonus laptop merek Toshiba dengan
spesifiksi tinggi dengan ucapan “Selamat Tahun baru dan terima kasih
telah membantu mereka. “Buat saya ini agak aneh, bagaimana mereka bisa
tahu kalau anak saya sedang membutuhkan barang ini untuk mengerjakan
tugas-tugas kuliahnya. Padahal, saya tidak pernah menceritakan kalau
saya mau membelinya buat anak saya,” ujarnya keheranan.
Seorang mantan medrep senior sebuah perusahaan farmasi asing juga
mengaku tidak heran dengan taktik medrep tersebut. Menurutnya, amat
mudah melacak kebutuhan keluarga dokter. Dalam hal ini, yang penting
adalah hitung-hitungan bisnis. “Selama permintaan atau kebutuhan itu
sesuai dengan bujet, hadiah dalam bentuk apa pun tidak masalah,”
katanya.
Bak Buah Simalakama
Fenomena praktik
“perselingkuhan” juga diakui praktisi bisnis farmasi di Jakarta
Kendrariadi Suhanda. Namun, menurut Ketua Umum Pharma Materials
Management Club (PMMC) ini, umumnya mereka menyembunyikan masalah ini,
karena berisiko jika ketahuan.
Untuk mencegah terjadinya praktik “perselingkuhan” ini, menurut
Kendrariadi, dibutuhkan komitmen dari semua pihak baik dari para dokter
maupun perusahaan farmasi. Jika praktik kotor ini dibiarkan, maka yang
jadi korban adalah konsumen dalam hal ini masyarakat. “Obat jadi mahal,
karena biaya “promosi” tadi itu kan cukup mahal, yang akhirnya
perusahaan akan membebankan pada konsumen,” ujarnya.
“Perselingkuhan” antara dokter dan produsen obat-obatan memang bak
buah simalakama. Di tingkat perusahaan, manajemen mencoba untuk mencegah
tidak terjadinya praktik melanggar etik itu, namun di level bawah
(medrep) kadang berjuang untuk mendapatkan sale. “Itulah fakta yang
terjadi selama ini,” tambahnya.
Ketua Majelis Kode Etik Gabungan
Perusahaan Farmasi Indonesia (GPFI) M. Syamsul Arifin menyebutnya ini
bukan fenomena baru, tetapi sudah lama terjadi. Namun ia mengatakan,
data pelanggaran etik perusahaan farmasi anggota GPFI, dari 200
perusahaan farmasi tidak sampai 5% yang melakukan pelanggaran ini dan
ditangkap. “Tapi, kami tidak bisa langsung memberi sanksi, karena yang
kita tangkap itu, kebetulan istilahnya maling-maling kecil. Paling kita
kasih peringatan atau pembinaan. Tapi kalau kasusnya besar, maka harus
diproses. Itu kesepakatan GP Farmasi dengan IDI (Ikatan Dokter
Indonesia),” ujarnya kepada eksekutif.
Kebutuhan perusahaan
farmasi terhadap medrep cukup besar. Menurut Kendrariadi, keberadaan
medrep merupakan ujung tombak untuk mengenalkan produk farmasi baik
kepada dokter maupun apotek. Untuk menjadi seorang medrep, disukai
berlatar belakang pendidikan farmasi atau apoteker. Pasalnya, seorang
medrep dituntut menguasai bidang farmasi, khususnya jika untuk
berhadapan dengan para dokter dan mengenalkan obat-obatan produk baru.
“Kalau
dulu, perusahaan farmasi biasanya menggunakan obat sample. Tapi
sekarang tidak boleh, karena banyak disalahgunakan. Sample yang mestinya
diberikan gratis itu dikumpulkan lalu dijual oleh oknum medrep ke
pasar-pasar obat,” ujarnya.
Maraknya praktik persekongkolan antara
dokter dan perusahaan farmasi melalui medrep, akhirnya membuat Ikatan
Dokter Indonesia (IDI) dan GP Farmasi Indonesia merasa perlu untuk
membuat kesepakatan bersama pada tahun 2007 lalu, di Kementerian
Kesehatan.
Ada tujuh poin yang disepakati yang ditandatangani kedua organisasi
ini. Di antaranya: dokter dilarang menjuruskan pasien membeli obat
tertentu, karena dokter telah menerima komisi dari perusahaan farmasi;
dukungan perusahaan farmasi pada pertemuan ilmiah dokter tidak boleh
dikaitkan dengan kewajiban mempromosikan atau meresepkan suatu produk;
perusahaan farmasi dilarang memberikan honorarium kepada dokter untuk
menghadiri pendidikan kedokteran (kecuali jika menjadi moderator);
donasi pada profesi kedokteran tidak boleh dikaitkan dengan penulisan
resep atau penggunaan produk perusahaan tertentu; dan beberapa poin
kesepakatan lainnya.
Permasalahannya, dengan adanya kesepakatan ini, apakah akan
meredupkan praktik-praktik culas para perusahaan farmasi dalam
mempromosikan produknya? Tidak ada jaminan, memang. Semua dikembalikan
pada kejujuran dan perilaku para dokter sebagai tempat mengeluhnya para
pasien dan para produsen obat sebagai pemasok kebutuhan produk
kesehatan. (*)
Jika Dokter dan Farmasi “Berselingkuh”
Senin, Mei 28, 2012 |
Label:
pharmacy
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar