BAB II. DASAR-DASAR PEWARISAN MENDEL
Seorang biarawan dari Austria,
bernama Gregor Johann Mendel, menjelang akhir abad ke-19 melakukan serangkaian
percobaan persilangan pada kacang ercis (Pisum
sativum). Dari percobaan yang dilakukannya selama bertahun-tahun tersebut,
Mendel berhasil menemukan prinsip-prinsip pewarisan sifat, yang kemudian
menjadi landasan utama bagi perkembangan genetika sebagai suatu cabang ilmu
pengetahuan. Berkat karyanya inilah, Mendel diakui sebagai Bapak Genetika.
Mendel memilih kacang ercis
sebagai bahan percobaannya, terutama karena tanaman ini memiliki beberapa
pasang sifat yang sangat mencolok perbedaannya, misalnya warna bunganya mudah
sekali untuk dibedakan antara yang ungu dan yang putih. Selain itu, kacang
ercis merupakan tanaman yang dapat menyerbuk sendiri, dan dengan bantuan
manusia, dapat juga menyerbuk silang. Hal ini disebabkan oleh adanya bunga
sempurna, yaitu bunga yang mempunyai alat kelamin jantan dan betina.
Pertimbangan lainnya adalah bahwa kacang ercis memiliki daur hidup yang relatif
pendek, serta mudah untuk ditumbuhkan dan dipelihara. Mendel juga beruntung,
karena secara kebetulan kacang ercis yang digunakannya merupakan tanaman
diploid (mempunyai dua perangkat kromosom). Seandainya ia menggunakan organisme
poliploid, maka ia tidak akan memperoleh hasil persilangan yang sederhana dan
mudah untuk dianalisis.
Pada salah satu percobaannya
Mendel menyilangkan tanaman kacang ercis yang tinggi dengan yang pendek.
Tanaman yang dipilih adalah tanaman galur murni, yaitu tanaman yang kalau
menyerbuk sendiri tidak akan menghasilkan tanaman yang berbeda dengannya. Dalam
hal ini tanaman tinggi akan tetap menghasilkan tanaman tinggi. Begitu juga
tanaman pendek akan selalu menghasilkan tanaman pendek.
Dengan menyilangkan galur
murni tinggi dengan galur murni pendek, Mendel mendapatkan tanaman yang
semuanya tinggi. Selanjutnya, tanaman tinggi hasil persilangan ini dibiarkan
menyerbuk sendiri. Ternyata keturunannya memperlihatkan nisbah (perbandingan)
tanaman tinggi terhadap tanaman pendek sebesar 3 : 1. Secara skema, percobaan Mendel dapat dilihat
pada Gambar 2.1 sebagai berikut.
P : ♀ Tinggi x
Pendek ♂
DD dd
Gamet D d
ê
F1
: Tinggi
Dd
Menyerbuk
sendiri (Dd x
Dd)
ê
F2
:
Gamet E
|
D
|
d
|
D
|
DD
(tinggi)
|
Dd
(tinggi)
|
d
|
Dd
(tinggi)
|
dd
(pendek)
|
Tinggi (D-) : pendek (dd) = 3 : 1
DD : Dd : dd = 1 : 2 : 1
Gambar 2.1.
Diagram persilangan monohibrid untuk sifat tinggi tanaman
Individu tinggi dan pendek
yang digunakan pada awal persilangan dikatakan sebagai tetua (parental),
disingkat P. Hasil persilangannya
merupakan keturunan (filial) generasi pertama, disingkat F1. Persilangan sesama individu F1
menghasilkan keturunan generasi ke dua, disingkat F2. Tanaman tinggi pada generasi P dilambangkan
dengan DD, sedang tanaman pendek dd.
Sementara itu, tanaman tinggi yang diperoleh pada generasi F1
dilambangkan dengan Dd.
Pada diagram persilangan monohibrid tersebut di atas,
nampak bahwa untuk menghasilkan individu Dd pada F1, maka baik DD
maupun dd pada generasi P membentuk gamet (sel kelamin). Individu DD membentuk
gamet D, sedang individu dd membentuk gamet d. Dengan demikian, individu Dd
pada F1 merupakan hasil penggabungan kedua gamet tersebut. Begitu
pula halnya, ketika sesama individu Dd ini melakukan penyerbukan sendiri untuk
menghasilkan F2, maka masing-masing akan membentuk gamet terlebih
dahulu. Gamet yang dihasilkan oleh individu Dd ada dua macam, yaitu D dan
d. Selanjutnya, dari kombinasi
gamet-gamet tersebut diperoleh individu-individu generasi F2 dengan
nisbah DD : Dd : dd = 1 : 2 : 1. Jika DD
dan dd dikelompokkan menjadi satu (karena sama-sama melambangkan individu
tinggi), maka nisbah tersebut menjadi D- : dd = 3 : 1.
Dari diagram itu pula dapat dilihat bahwa pewarisan
suatu sifat ditentukan oleh pewarisan materi tertentu, yang dalam contoh
tersebut dilambangkan dengan D atau d.
Mendel menyebut materi yang diwariskan ini sebagai faktor keturunan (herediter), yang pada perkembangan berikutnya
hingga sekarang dinamakan gen.
Terminologi
Ada beberapa istilah yang perlu diketahui untuk
menjelaskan prinsip-prinsip pewarisan sifat.
Seperti telah disebutkan di atas, P adalah individu tetua, F1 adalah
keturunan generasi pertama, dan F2 adalah keturunan generasi ke dua. Selanjutnya, gen D dikatakan sebagai gen atau alel dominan, sedang gen d
merupakan gen atau alel resesif.
Alel adalah bentuk alternatif suatu gen yang terdapat pada lokus (tempat)
tertentu. Gen D dikatakan dominan
terhadap gen d, karena ekpresi gen D akan menutupi ekspresi gen d jika keduanya
terdapat bersama-sama dalam satu individu (Dd). Dengan demikian, gen dominan
adalah gen yang ekspresinya menutupi ekspresi alelnya. Sebaliknya, gen resesif
adalah gen yang ekspresinya ditutupi oleh ekspresi alelnya.
Individu Dd dinamakan individu heterozigot, sedang individu DD dan dd masing-masing disebut
sebagai individu homozigot dominan dan
homozigot resesif. Sifat-sifat yang
dapat langsung diamati pada individu-individu tersebut, yakni tinggi atau
pendek, dinamakan fenotipe. Jadi, fenotipe adalah ekspresi gen yang
langsung dapat diamati sebagai suatu sifat pada suatu individu. Sementara itu,
susunan genetik yang mendasari pemunculan suatu sifat dinamakan genotipe. Pada contoh tersebut di atas, fenotipe tinggi
(D-) dapat dihasilkan dari genotipe DD atau Dd, sedang fenotipe pendek (dd)
hanya dihasilkan dari genotipe dd. Nampak
bahwa pada individu homozigot resesif, lambang untuk fenotipe sama dengan
lambang untuk genotipe. .
Hukum Segregasi
Sebelum melakukan suatu persilangan, setiap individu
menghasilkan gamet-gamet yang kandungan gennya separuh dari kandungan gen pada
individu. Sebagai contoh, individu DD akan membentuk gamet D, dan individu dd
akan membentuk gamet d. Pada individu
Dd, yang menghasilkan gamet D dan gamet d, akan terlihat bahwa gen D dan gen d
akan dipisahkan (disegregasi) ke dalam gamet-gamet yang terbentuk
tersebut. Prinsip inilah yang kemudian
dikenal sebagai hukum segregasi atau hukum Mendel I.
Hukum Segregasi :
Pada waktu berlangsung
pembentukan gamet, tiap pasang gen akan disegregasi ke dalam masing-masing
gamet yang terbentuk.
|
Hukum Pemilihan Bebas
Persilangan yang hanya menyangkut pola pewarisan satu
macam sifat seperti yang dilakukan oleh Mendel tersebut di atas dinamakan
persilangan monohibrid. Mendel melakukan persilangan monohibrid untuk enam macam sifat lainnya, yaitu warna
bunga (ungu-putih), warna kotiledon (hijau-kuning), warna biji (hijau-kuning),
bentuk polong (rata-berlekuk), permukaan biji (halus-keriput), dan letak bunga
(aksial-terminal).
Selain
persilangan monohibrid, Mendel juga melakukan persilangan dihibrid, yaitu persilangan yang melibatkan pola perwarisan dua
macam sifat seketika. Salah satu di antaranya adalah persilangan galur murni
kedelai berbiji kuning-halus dengan galur murni berbiji hijau-keriput. Hasilnya
berupa tanaman kedelai generasi F1 yang semuanya berbiji kuning-halus.
Ketika tanaman F1 ini dibiarkan menyerbuk sendiri, maka diperoleh
empat macam individu generasi F2, masing-masing berbiji
kuning-halus, kuning-keriput, hijau-halus, dan hijau-keriput dengan nisbah 9 :
3 : 3 : 1.
Jika gen yang menyebabkan biji berwarna kuning dan hijau
masing-masing adalah gen G dan g, sedang gen yang menyebabkan biji halus dan
keriput masing-masing adalah gen W dan gen w, maka persilangan dihibrid
terdsebut dapat digambarkan secara skema seperti pada diagram berikut ini:
P : ♀
Kuning, halus x Hijau, keriput ♂
GGWW
ggww
Gamet
GW
gw
ê
F1
:
Kuning, halus
GgWw
Menyerbuk
sendiri (GgWw x
GgWw )
ê
F2 :
Gamet ♀
|
GW
|
Gw
|
gW
|
gw
|
GW
|
GGWW
(kuning,halus)
|
GGWw
(kuning,halus)
|
GgWW
(kuning,halus)
|
GgWw
(kuning,halus)
|
Gw
|
GGWw
(kuning,halus)
|
GGww
(kuning,keriput)
|
GgWw
(kuning,halus)
|
Ggww
(kuning,keriput)
|
gW
|
GgWW
(kuning,halus)
|
GgWw
(kuning,halus)
|
ggWW
(hijau,halus)
|
ggWw
(hijau,halus)
|
gw
|
GgWw
(kuning,halus)
|
Ggww
(kuning,keriput)
|
ggWw
(hijau,halus)
|
ggww
(hijau,keriput)
|
Gambar 2.2.
Diagram persilangan dihibrid untuk sifat warna dan bentuk biji
Dari diagram persilangan dihibrid tersebut
di atas dapat dilihat bahwa fenotipe F2 memiliki nisbah 9 : 3 : 3 :
1 sebagai akibat terjadinya segregasi gen G dan W secara independen. Dengan demikian, gamet-gamet yang
terbentuk dapat mengandung kombinasi gen dominan dengan gen dominan (GW), gen
dominan dengan gen resesif (Gw dan gW), serta gen resesif dengan gen resesif
(gw). Hal inilah yang kemudian dikenal sebagai hukum
pemilihan bebas (the law of independent
assortment) atau hukum Mendel II.
Hukum Pemilihan Bebas :
Segregasi suatu pasangan
gen tidak bergantung kepada segregasi pasangan gen lainnya, sehingga di dalam
gamet-gamet yang terbentuk akan terjadi pemilihan kombinasi gen-gen secara
bebas.
|
Diagram kombinasi gamet ♂ dan gamet ♀ dalam menghasilkan
individu generasi F2 seperti pada Gambar 2.2 dinamakan diagram
Punnett. Ada cara lain yang dapat digunakan untuk menentukan kombinasi gamet
pada individu generasi F2, yaitu menggunakan diagram anak garpu (fork line). Cara ini didasarkan pada
perhitungan matematika bahwa persilangan dihibrid merupakan dua kali
persilangan monohibrid. Untuk contoh persilangan sesama individu GgWw, diagram
anak garpunya adalah sebagai berikut.
Gg x Gg Ww x Ww
ê ê
Gambar 2.3. Diagram anak garpu pada
persilangan dihibrid
Ternyata penentuan nisbah fenotipe F2
menggunakan diagram anak garpu dapat dilakukan dengan lebih cepat dan dengan
risiko kekeliruan yang lebih kecil daripada penggunaan diagram Punnett.
Kelebihan cara diagram anak garpu ini akan lebih terasa apabila persilangan
yang dilakukan melibatkan lebih dari dua pasang gen (trihibrid, tetrahibrid,dan
seterusnya) atau pada persilangan-persilangan di antara individu yang
genotipenya tidak sama. Sebagai contoh, hasil persilangan antara AaBbcc dan
aaBbCc akan lebih mudah diketahui nisbah fenotipe dan genotipenya apabila
digunakan cara diagram anak garpu, yaitu:
Aa x aa Bb x Bb cc x Cc
ê ê ê
1 cc è 1 A-bbcc
1 cc è 1
aabbcc
(a)
Aa x aa
Bb x Bb cc x Cc
ê ê ê
(b)
Gambar 2.4. Contoh penggunaan diagram anak
garpu
(a)
Penentuan nisbah fenotipe
(b)
Penentuan nisbah genotipe
Formulasi matematika pada berbagai jenis persilangan
Individu F1 pada
suatu persilangan monohibrid, misalnya Aa, akan menghasilkan dua macam gamet,
yaitu A dan a. Gamet-gamet ini, baik dari individu jantan maupun betina, akan
bergabung menghasilkan empat individu F2 yang dapat dikelompokkan
menjadi dua macam fenotipe (A- dan aa) atau tiga macam genotipe (AA, Aa, dan aa).
Sementara itu, individu F1
pada persilangan dihibrid, misalnya AaBb, akan membentuk empat macam gamet,
masing-masing AB,Ab, aB, dan ab. Selanjutnya pada generasi F2 akan diperoleh 16
individu yang terdiri atas empat macam fenotipe (A-B-, A-bb, aaB-, dan aabb)
atau sembilan macam genotipe (AABB, AABb, Aabb, AaBB, AaBb, Aabb, aaBB, aaBb,
dan aabb).
Dari angka-angka tersebut akan
terlihat adanya hubungan matematika antara jenis persilangan (banyaknya pasangan
gen), macam gamet F1, jumlah individu F2, serta macam
fenotipe dan genotipe F2. Hubungan matematika akan diperoleh pula
pada persilangan-persilangan yang melibatkan pasangan gen yang lebih banyak
(trihibrid, tetrahibrid, dan seterusnya), sehingga secara ringkas dapat
ditentukan formulasi matematika seperti pada tabel 2.1 berikut ini.
Tabel 2.1. Formulasi matematika pada
berbagai persilangan
Persilangan
|
Macam gamet F1
|
Jumlah individu F2
|
Macam fenotipe F2
|
Macam genotipe F2
|
Nisbah fenotipe F2
|
monohibrid
|
2
|
4
|
2
|
3
|
3 : 1
|
dihibrid
|
4
|
16
|
4
|
9
|
9 : 3 : 3 : 1
|
trihibrid
|
8
|
64
|
8
|
27
|
27 : 9 : 9 : 9 : 3 : 3 : 3 : 1
|
n hibrid
|
2n
|
4n
|
2n
|
3n
|
( 3 : 1 )n
|
Pada kolom terakhir dapat dilihat adanya
formulasi untuk nisbah fenotipe F2. Kalau angka-angka pada nisbah 3
: 1 dijumlahkan lalu dikuadratkan, maka akan didapatkan ( 3 + 1 )2
= 32 + 2.3.1 + 12
= 9 + 3 + 3 + 1, yang tidak lain merupakan angka-angka pada nisbah hasil
persilangan dihibrid. Demikian pula jika dilakukan pemangkattigaan, maka akan
diperoleh ( 3 + 1 )3 = 33
+ 3.32.11 + 3.31.12+ 13 =
27 + 9 + 9 + 9 + 3 + 3 + 3 + 1, yang merupakan angka-angka pada nisbah hasil
persilangan trihibrid.
Silang balik (back cross) dan silang uji (test cross)
Silang balik ialah persilangan
suatu individu dengan salah satu tetuanya. Sebagai contoh, individu Aa hasil
persilangan antara AA dan aa dapat disilangbalikkan, baik dengan AA maupun aa. Silang balik antara Aa dan AA akan
menghasilkan satu macam fenotipe, yaitu A-, atau dua macam genotipe, yaitu AA
dan Aa dengan nisbah 1 : 1. Sementara itu, silang balik antara Aa dan aa akan
menghasilkan dua macam fenotipe, yaitu A- dan aa dengan nisbah 1 : 1, atau dua macam genotipe, yaitu Aa dan aa dengan nisbah 1 : 1.
Manfaat praktis silang balik
adalah untuk memasukkan gen tertentu yang diinginkan ke dalam suatu
individu. Melalui silang balik yang
dilakukan berulang-ulang, dapat dimungkinkan terjadinya pemisahan gen-gen
tertentu yang terletak pada satu kromosom sebagai akibat berlangsungnya
peristiwa pindah silang (lihat juga
Bab V). Hal ini banyak
diterapkan di bidang pertanian, misalnya untuk memisahkan gen yang mengatur
daya simpan beras dan gen yang menyebabkan rasa nasi kurang enak. Dengan
memisahkan dua gen yang terletak pada satu kromosom ini, dapat diperoleh
varietas padi yang berasnya tahan simpan dan rasa nasinya enak.
Apabila suatu silang balik
dilakukan dengan tetuanya yang homozigot resesif, maka silang balik semacam ini
disebut juga silang uji. Akan tetapi, silang uji sebenarnya tidak harus terjadi
antara suatu individu dan tetuanya yang homozigot resesif. Pada prinsipnya semua persilangan yang
melibatkan individu homozigot resesif (baik tetua maupun bukan tetua) dinamakan
silang uji.
Istilah silang uji digunakan
untuk menunjukkan bahwa persilangan semacam ini dapat menentukan genotipe suatu
individu. Sebagai contoh, suatu tanaman
yang fenotipenya tinggi (D-) dapat
ditentukan genotipenya (DD atau Dd) melalui silang uji dengan tanaman homozigot
resesif (dd). Kemungkinan hasilnya dapat
dilihat pada diagram berikut ini.
DD x dd Dd x dd
ê ê
Dd (tinggi) 1 Dd (tinggi)
1 dd (pendek)
Gambar 2.5. Contoh diagram silang
uji
Jadi, apabila tanaman tinggi yang disilang uji adalah homozigot
(DD), maka hasilnya berupa satu macam fenotipe, yaitu tanaman tinggi.
Sebaliknya, jika tanaman tersebut heterozigot (Dd), maka hasilnya ada dua macam
fenotipe, yaitu tanaman tinggi dan pendek dengan nisbah 1 : 1.
Modifikasi Nisbah Mendel
Percobaan-percobaan
persilangan sering kali memberikan hasil yang seakan-akan menyimpang dari hukum
Mendel. Dalam hal ini tampak bahwa nisbah fenotipe yang diperoleh mengalami
modifikasi dari nisbah yang seharusnya sebagai akibat terjadinya aksi gen
tertentu. Secara garis besar modifikasi nisbah Mendel dapat dibedakan menjadi
dua kelompok, yaitu modifikasi nisbah 3 : 1 dan modifikasi nisbah 9 : 3 : 3 :
1.
Modifikasi Nisbah 3 : 1
Ada tiga peristiwa
yang menyebabkan terjadinya modifikasi nisbah 3 : 1, yaitu semi dominansi,
kodominansi, dan gen letal.
Semi dominansi
Peristiwa semi dominansi
terjadi apabila suatu gen dominan tidak menutupi pengaruh alel resesifnya
dengan sempurna, sehingga pada individu heterozigot akan muncul sifat antara (intermedier). Dengan demikian, individu
heterozigot akan memiliki fenotipe yang berbeda dengan fenotipe individu
homozigot dominan. Akibatnya, pada generasi F2 tidak didapatkan
nisbah fenotipe 3 : 1, tetapi menjadi 1 : 2 : 1 seperti halnya nisbah genotipe.
Contoh peristiwa semi
dominansi dapat dilihat pada pewarisan warna bunga pada tanaman bunga pukul
empat (Mirabilis jalapa). Gen yang
mengatur warna bunga pada tanaman ini adalah M, yang menyebabkan bunga berwarna
merah, dan gen m, yang menyebabkan bunga berwarna putih. Gen M tidak dominan
sempurna terhadap gen m, sehingga warna bunga pada individu Mm bukannya merah,
melainkan merah muda. Oleh karena itu, hasil persilangan sesama genotipe Mm
akan menghasilkan generasi F2 dengan nisbah fenotipe merah : merah
muda : putih = 1 : 2 : 1.
Kodominansi
Seperti halnya semi dominansi,
peristiwa kodominansi akan menghasilkan nisbah fenotipe 1 : 2 : 1 pada generasi
F2. Bedanya, kodominansi tidak memunculkan sifat antara pada
individu heterozigot, tetapi menghasilkan sifat yang merupakan hasil ekspresi
masing-masing alel. Dengan perkataan lain, kedua alel akan sama-sama
diekspresikan dan tidak saling menutupi.
Peristiwa kodominansi dapat
dilihat misalnya pada pewarisan golongan darah sistem ABO pada manusia (lihat
juga bagian pada bab ini tentang beberapa contoh alel ganda). Gen IA dan IB
masing-masing menyebabkan terbentuknya antigen A dan antigen B di dalam
eritrosit individu yang memilikinya. Pada individu dengan golongan darah AB
(bergenotipe IAIB) akan terdapat baik antigen A maupun
antigen B di dalam eritrositnya. Artinya, gen IA dan IB
sama-sama diekspresikan pada individu heterozigot tersebut.
Perkawinan antara laki-laki
dan perempuan yang masing-masing memiliki golongan darah AB dapat digambarkan
seperti pada diagram berikut ini.
IAIB x
IAIB
ê
1 IAIA
(golongan darah A)
2 IAIB
(golongan darah AB)
1 IBIB (golongan darah B)
Golongan darah A :
AB : B = 1 : 2 : 1
Gambar
2.6. Diagram persilangan sesama individu bergolongan darah AB
Gen letal
Gen letal ialah gen yang dapat
mengakibatkan kematian pada individu homozigot. Kematian ini dapat terjadi pada
masa embrio atau beberapa saat setelah kelahiran. Akan tetapi, adakalanya pula
terdapat sifat subletal, yang menyebabkan kematian pada waktu individu yang
bersangkutan menjelang dewasa.
Ada dua macam gen letal, yaitu
gen letal dominan dan gen letal resesif. Gen letal dominan dalam keadaan
heterozigot dapat menimbulkan efek subletal atau kelainan fenotipe, sedang gen
letal resesif cenderung menghasilkan fenotipe normal pada individu heterozigot.
Peristiwa letal dominan antara lain dapat
dilihat pada ayam redep (creeper),
yaitu ayam dengan kaki dan sayap yang pendek serta mempunyai genotipe
heterozigot (Cpcp). Ayam dengan genotipe CpCp mengalami kematian pada masa
embrio. Apabila sesama ayam redep dikawinkan, akan diperoleh keturunan dengan
nisbah fenotipe ayam redep (Cpcp) : ayam normal (cpcp) = 2 : 1.
Hal ini karena ayam dengan genotipe CpCp tidak pernah ada.
Sementara itu, gen letal
resesif misalnya adalah gen penyebab albino pada tanaman jagung. Tanaman jagung
dengan genotipe gg akan mengalami kematian setelah cadangan makanan di dalam
biji habis, karena tanaman ini tidak mampu melakukan fotosintesis sehubungan
dengan tidak adanya khlorofil. Tanaman Gg memiliki warna hijau kekuningan, sedang
tanaman GG adalah hijau normal. Persilangan antara sesama tanaman Gg akan
menghasilkan keturunan dengan nisbah fenotipe normal (GG) : kekuningan (Gg) = 1
: 2.
Modifikasi Nisbah 9 : 3 : 3 : 1
Modifikasi nisbah 9 : 3 : 3 :
1 disebabkan oleh peristiwa yang dinamakan epistasis, yaitu penutupan ekspresi
suatu gen nonalelik. Jadi, dalam hal ini suatu gen bersifat dominan terhadap
gen lain yang bukan alelnya. Ada beberapa macam epistasis, masing-masing
menghasilkan nisbah fenotipe yang berbeda pada generasi F2.
Epistasis resesif
Peristiwa epistasis resesif terjadi apabila suatu gen
resesif menutupi ekspresi gen lain yang bukan alelnya. Akibat peristiwa ini, pada generasi F2 akan diperoleh nisbah fenotipe 9 : 3 :
4.
Contoh epistasis resesif dapat dilihat pada pewarisan
warna bulu mencit (Mus musculus). Ada dua pasang gen nonalelik yang mengatur
warna bulu pada mencit, yaitu gen A menyebabkan bulu berwarna kelabu, gen a
menyebabkan bulu berwarna hitam, gen C menyebabkan pigmentasi normal, dan gen c
menyebabkan tidak ada pigmentasi. Persilangan antara mencit berbulu kelabu
(AACC) dan albino (aacc) dapat digambarkan seperti pada diagram berikut ini.
P
: AACC
x aacc
kelabu albino
ê
F1
: AaCc
kelabu
3
A-cc albino kelabu : hitam : albino =
3
aaC- hitam 9 :
3 : 4
1 aacc albino
Gambar 2.7. Diagram persilangan epistasis
resesif
Epistasis dominan
Pada peristiwa epistasis dominan terjadi penutupan
ekspresi gen oleh suatu gen dominan yang bukan alelnya. Nisbah fenotipe pada
generasi F2 dengan adanya epistasis dominan adalah 12 : 3 : 1.
Peristiwa epistasis dominan dapat dilihat misalnya pada
pewarisan warna buah waluh besar (Cucurbita
pepo). Dalam hal ini terdapat gen Y yang menyebabkan buah berwarna kuning
dan alelnya y yang menyebabkan buah berwarna hijau. Selain itu, ada gen W yang
menghalangi pigmentasi dan w yang tidak menghalangi pigmentasi. Persilangan antara waluh putih (WWYY) dan
waluh hijau (wwyy) menghasilkan nisbah fenotipe generasi F2 sebagai
berikut:
P : WWYY
x wwyy
putih hijau
ê
F1 :
WwYy
putih
3 W-yy putih putih : kuning : hijau =
3 wwY- kuning 12 :
3 : 1
1 wwyy hijau
Gambar 2.7. Diagram persilangan epistasis
dominan
Epistasis resesif ganda
Apabila gen resesif dari suatu pasangan gen, katakanlah
gen I, epistatis terhadap pasangan gen lain, katakanlah gen II, yang bukan
alelnya, sementara gen resesif dari pasangan gen II ini juga epistatis terhadap
pasangan gen I, maka epistasis yang terjadi dinamakan epistasis resesif
ganda. Epistasis ini menghasilkan nisbah
fenotipe 9 : 7 pada generasi F2.
Sebagai contoh peristiwa epistasis resesif ganda dapat
dikemukakan pewarisan kandungan HCN pada tanaman Trifolium repens. Terbentuknya HCN pada tanaman ini dapat
dilukiskan secara skema sebagai berikut.
gen L
gen H
ê
ê
Gen L menyebabkan terbentuknya enzim L yang
mengatalisis perubahan bahan dasar menjadi bahan antara berupa glukosida
sianogenik. Alelnya, l, menghalangi pembentukan enzim L. Gen H menyebabkan
terbentuknya enzim H yang mengatalisis perubahan glukosida sianogenik menjadi
HCN, sedangkan gen h menghalangi pembentukan enzim H. Dengan demikian, l
epistatis terhadap H dan h, sementara h epistatis terhadap L dan l. Persilangan dua tanaman dengan kandungan HCN
sama-sama rendah tetapi genotipenya berbeda (LLhh dengan llHH) dapat
digambarkan sebagai berikut.
P : LLhh x llHH
HCN rendah HCN rendah
ê
F1 :
LlHh
HCN tinggi
3 L-hh HCN rendah HCN tinggi : HCN rendah =
3 llH- HCN rendah 9 :
7
1 llhh HCN rendah
Gambar 2.8. Diagram
persilangan epistasis resesif ganda
Epistasis dominan ganda
Apabila gen dominan dari pasangan gen I epistatis
terhadap pasangan gen II yang bukan alelnya, sementara gen dominan dari
pasangan gen II ini juga epistatis terhadap pasangan gen I, maka epistasis yang
terjadi dinamakan epistasis dominan ganda.
Epistasis ini menghasilkan nisbah fenotipe 15 : 1 pada generasi F2.
Contoh peristiwa epistasis dominan ganda dapat dilihat
pada pewarisan bentuk buah Capsella. Ada dua macam bentuk buah Capsella,
yaitu segitiga dan oval. Bentuk segitiga disebabkan oleh gen dominan C dan D,
sedang bentuk oval disebabkan oleh gen resesif c dan d. Dalam hal ini C dominan
terhadap D dan d, sedangkan D dominan terhadap
C dan c.
P : CCDD x
ccdd
segitiga oval
ê
F1 : CcDd
segitiga
3 C-dd segitiga segitiga : oval = 15 : 1
3 ccD- segitiga
1 ccdd oval
Gambar 2.9. Diagram persilangan epistasis
dominan ganda
Epistasis domian-resesif
Epistasis dominan-resesif terjadi apabila gen dominan
dari pasangan gen I epistatis terhadap pasangan gen II yang bukan alelnya,
sementara gen resesif dari pasangan gen II ini juga epistatis terhadap pasangan
gen I. Epistasis ini menghasilkan nisbah
fenotipe 13 : 3 pada generasi F2.
Contoh peristiwa epistasis dominan-resesif dapat dilihat
pada pewarisan warna bulu ayam ras. Dalam hal ini terdapat pasangan gen I, yang
menghalangi pigmentasi, dan alelnya, i,
yang tidak menghalangi pigmentasi. Selain itu, terdapat gen C, yang
menimbulkan pigmentasi, dan alelnya, c, yang tidak menimbulkan pigmentasi. Gen
I dominan terhadap C dan c, sedangkan gen c dominan terhadap I dan i.
P : IICC
x iicc
putih putih
ê
F1 :
IiCc
putih
3 I-cc putih putih : berwarna = 13 :
3
3 iiC- berwarna
1 iicc putih
Gambar 2.10. Diagram persilangan epistasis
dominan-resesif
Epistasis gen duplikat dengan efek kumulatif
Pada Cucurbita
pepo dikenal tiga macam bentuk buah, yaitu cakram, bulat, dan lonjong. Gen
yang mengatur pemunculan fenotipe tersebut ada dua pasang, masing-masing B dan
b serta L dan l. Apabila pada suatu
individu terdapat sebuah atau dua buah gen dominan dari salah satu pasangan gen
tersebut, maka fenotipe yang muncul adalah bentuk buah bulat (B-ll atau bbL-).
Sementara itu, apabila sebuah atau dua buah gen dominan dari kedua pasangan gen
tersebut berada pada suatu individu, maka fenotipe yang dihasilkan adalah
bentuk buah cakram (B-L-). Adapun fenotipe tanpa gen dominan (bbll) akan berupa
buah berbentuk lonjong. Pewarisan sifat semacam ini dinamakan epistasis gen
duplikat dengan efek kumulatif.
P : BBLL
x bbll
cakram lonjong
ê
F1 :
BbLl
cakram
3 B-ll bulat cakram : bulat : lonjong
= 9 : 6 : 1
3 bbL- bulat
1 bbll lonjong
Gambar 2.11. Diagram persilangan epistasis gen duplikat dengan efek kumulatif
Interaksi Gen
Selain mengalami berbagai
modifikasi nisbah fenotipe karena adanya peristiwa aksi gen tertentu, terdapat
pula penyimpangan semu terhadap hukum Mendel yang tidak melibatkan modifikasi
nisbah fenotipe, tetapi menimbulkan fenotipe-fenotipe yang merupakan hasil
kerja sama atau interaksi dua pasang gen nonalelik. Peristiwa semacam ini dinamakan interaksi
gen.
Peristiwa interaksi gen
pertama kali dilaporkan oleh W. Bateson dan R.C. Punnet setelah mereka
mengamati pola pewarisan bentuk jengger ayam. Dalam hal ini terdapat empat
macam bentuk jengger ayam, yaitu mawar, kacang, walnut, dan tunggal, seperti
dapat dilihat pada Gambar 2.12.
walnut
|
tungal
|
kacang
|
mawar
|
Gambar 2.12. Bentuk jengger ayam dari galur yang berbeda
Persilangan ayam berjengger
mawar dengan ayam berjengger kacang menghasilkan keturunan dengan bentuk
jengger yang sama sekali berbeda dengan bentuk jengger kedua tetuanya. Ayam
hibrid (hasil persilangan) ini memiliki jengger berbentuk walnut. Selanjutnya,
apabila ayam berjengger walnut disilangkan dengan sesamanya, maka diperoleh
generasi F2 dengan nisbah fenotipe walnut : mawar : kacang : tunggal
= 9 : 3 : 3 : 1.
Dari nisbah fenotipe tersebut,
terlihat adanya satu kelas fenotipe yang sebelumnya tidak pernah dijumpai,
yaitu bentuk jengger tunggal. Munculnya fenotipe ini, dan juga fenotipe walnut,
mengindikasikan adanya keterlibatan dua pasang gen nonalelik yang berinteraksi
untuk menghasilkan suatu fenotipe. Kedua pasang gen tersebut masing-masing
ditunjukkan oleh fenotipe mawar dan fenotipe kacang.
Apabila gen yang bertanggung
jawab atas munculnya fenotipe mawar adalah R, sedangkan gen untuk fenotipe
kacang adalah P, maka keempat macam fenotipe tersebut masing-masing dapat
dituliskan sebagai R-pp untuk mawar, rrP- untuk kacang, R-P- untuk walnut, dan
rrpp untuk tunggal. Dengan demikian, diagram persilangan untuk pewarisan
jengger ayam dapat dijelaskan seperti pada Gambar 2.13.
P :
RRpp x rrPP
mawar kacang
ê
F1 :
RrPp
walnut
3 R-pp mawar walnut : mawar : kacang :
tunggal
3 rrP- kacang =
9 : 3
: 3 :
1
1 rrpp
tunggal
Gambar 2.13. Diagram persilangan interaksi gen nonalelik
Teori Peluang
Percobaan-percobaan
persilangan secara teori akan menghasilkan keturunan dengan nisbah tertentu.
Nisbah teoretis ini pada hakekatnya merupakan peluang diperolehnya suatu hasil,
baik berupa fenotipe maupun genotipe. Sebagai contoh, persilangan monohibrid
antara sesama individu Aa akan memberikan nisbah fenotipe A- : aa = 3 : 1 dan
nisbah genotipe AA : Aa : aa = 1 : 2 : 1 pada generasi F2. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa peluang
diperolehnya fenotipe A- dari persilangan tersebut adalah 3/4, sedangkan
peluang munculnya fenotipe aa adalah 1/4. Begitu juga,
untuk genotipe, peluang munculnya AA, Aa, dan aa masing-masing adalah 1/4, 2/4
(=1/2), dan 1/4.
Peluang munculnya suatu kejadian dapat didefinisikan
sebagai nisbah munculnya kejadian tersebut terhadap seluruh kejadian. Nilai
peluang berkisar dari 0 (0%) hingga 1 (100%). Kejadian yang tidak pernah muncul
sama sekali dikatakan memiliki peluang = 0, sedangkan kejadian yang selalu
muncul dikatakan memiliki peluang = 1.
Dua kejadian independen untuk muncul bersama-sama akan
memiliki peluang yang besarnya sama dengan hasil kali masing-masing peluang
kejadian. Sebagai contoh, kejadian I dan II yang independen masing-masing
memiliki peluang = 1/2. Peluang bagi
kejadian I dan II untuk muncul bersama-sama = 1/2 x 1/2 = 1/4. Contoh lainnya
adalah pada pelemparan dua mata uang logam sekaligus. Jika peluang untuk
mendapatkan salah satu sisi mata uang = 1/2, maka peluang untuk mendapatkan
sisi mata uang tersebut pada dua mata uang logam yang dilempar sekaligus = 1/2
x 1/2 = 1/4.
Apabila ada dua kejadian, misalnya A dan B yang
masing-masing memiliki peluang kemunculan sebesar p dan q, maka sebaran peluang
kemunculan kedua kejadian tersebut adalah (p + q)n. Dalam hal ini n
menunjukkan banyaknya ulangan yang dilakukan untuk memunculkan kejadian
tersebut. Untuk jelasnya bisa dilihat contoh soal berikut ini.
Berapa peluang untuk memperoleh tiga sisi bergambar
burung garuda dan dua sisi tulisan pada uang logam Rp 100,00 apabila lima mata
uang logam tersebut dilemparkan bersama-sama secara independen ? Jawab : Peluang memperoleh sisi gambar = p = 1/2,
sedangkan peluang memperoleh sisi tulisan = q = 1/2. Sebaran peluang memperoleh kedua sisi
tersebut = (p + q)5 = p5 + 5 p4q + 10 p3q2
+ 10 p2q3 + 5 pq4 + q5.
Dengan demikian, peluang memperoleh tiga sisi gambar dan dua sisi tulisan = 10
p3q2 = 10 (1/2)3(1/2)2 = 10/32.
Contoh lain penghitungan peluang misalnya pada sepasang
suami-istri yang masing-masing pembawa (karier) sifat albino. Gen penyebab
albino adalah gen resesif a. Jika mereka ingin memiliki empat orang anak yang
semuanya normal, maka peluang terpenuhinya keinginan tersebut adalah 81/256. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut.
Aa x Aa
suami istri
ê
3 A- (normal)
1 aa (albino)
Peluang
munculnya anak normal = 3/4 (misalnya = p)
Peluang
munculnya anak albino = 1/4 (misalnya = q)
Karena ingin diperoleh empat anak, maka
sebaran peluangnya = (p + q)4
= p4 + 4p3q + 6p2q2 + 4pq3
+ q4
Peluang
mendapatkan empat anak normal = p4 = (3/4)4 = 81/256
Uji X2 (Chi-square test)
Pada kenyataannya nisbah teoretis yang merupakan peluang
diperolehnya suatu hasil percobaan persilangan tidak selalu terpenuhi.
Penyimpangan (deviasi) yang terjadi bukan sekedar modifikasi terhadap nisbah
Mendel seperti yang telah diuraikan di atas, melainkan sesuatu yang adakalanya
tidak dapat diterangkan secara teori.
Agar lebih jelas, berikut ini akan diberikan sebuah contoh.
Suatu persilangan antara sesama individu dihibrid (AaBb) menghasilkan keturunan yang
terdiri atas empat macam fenotipe, yaitu A-B-, A-bb, aaB-, dan aabb
masing-masing sebanyak 315, 108, 101, dan 32.
Untuk menentukan bahwa hasil persilangan ini masih memenuhi nisbah
teoretis ( 9 : 3 : 3 : 1 ) atau menyimpang dari nisbah tersebut perlu dilakukan
suatu pengujian secara statistika. Uji yang lazim digunakan adalah uji X2 (Chi-square test) atau ada yang
menamakannya uji kecocokan (goodness of
fit).
Untuk melakukan uji X2 terhadap hasil
percobaan seperti pada contoh tersebut di atas, terlebih dahulu dibuat tabel
sebagai berikut.
Tabel
2.1. Contoh pengujian hasil persilangan dihibrid
Kelas fenotipe
|
O
(hasil percobaan)
|
E
(hasil yang diharapkan)
|
d =
[O-E]
|
d2/E
|
A-B-
|
315
|
9/16 x 556 = 312,75
|
2,25
|
0,016
|
A-bb
|
108
|
3/16 x 556 = 104,25
|
3,75
|
0,135
|
AaB-
|
101
|
3/16 x 556 = 104,25
|
3,25
|
0,101
|
Aabb
|
32
|
1/16 x 556 = 34,75
|
2,75
|
0,218
|
Jumlah
|
556
|
556
|
|
X2h = 0,470
|
Pada tabel tersebut di atas dapat dilihat bahwa hsil percobaan
dimasukkan ke dalam kolom O sesuai dengan kelas fenotipenya masing-masing.
Untuk memperoleh nilai E (hasil yang diharapkan), dilakukan perhitungan menurut
proporsi tiap kelas fenotipe. Selanjutnya
nilai d (deviasi) adalah selisih antara O dan E. Pada kolom paling kanan nilai d dikuadratkan
dan dibagi dengan nilai E masing-masing, untuk kemudian dijumlahkan hingga
menghasilkan nilai X2h atau X2 hitung. Nilai X2h inilah yang
nantinya akan dibandingkan dengan nilai X2 yang terdapat dalam tabel
X2 (disebut nilai X2tabel ) yang disingkat
menjadi X2t.
Apabila X2h lebih kecil daripada X2t
dengan peluang tertentu (biasanya digunakan nilai 0,05), maka dikatakan bahwa
hasil persilangan yang diuji masih memenuhi nisbah Mendel. Sebaliknya, apabila
X2h lebih besar daripada X2t, maka
dikatakan bahwa hasil persilangan yang diuji tidak memenuhi nisbah Mendel pada
nilai peluang tertentu (biasanya 0,05).
Adapun nilai X2t yang akan
digunakan sebagai pembanding bagi nilai X2h dicari dengan
cara sebagai berikut. Kita tentukan
terlebih dahulu nilai derajad bebas (DB), yang merupakan banyaknya kelas
fenotipe dikurangi satu. Jadi, pada contoh di atas nilai DB nya adalah 4 - 1 =
3. Selanjutnya, besarnya nilai DB ini akan menentukan baris yang harus dilihat
pada tabel X2. Setelah barisnya ditentukan, untuk
mendapatkan nilai X2t pembanding dilihat kolom peluang
0,05. Dengan demikian, nilai X2t pada contoh
tersebut adalah 7,815. Oleh karena nilai
X2h (0,470) lebih kecil daripada nilai X2t
(7,815), maka dikatakan bahwa hasil persilangan tersebut masih memenuhi nisbah
Mendel.
Tabel 2.2.
Tabel X2
Derajad Bebas
|
Peluang
|
||||||
0,95
|
0,80
|
0,50
|
0,20
|
0,05
|
0,01
|
0,005
|
|
1
|
0,004
|
0,064
|
0,455
|
1,642
|
3,841
|
6,635
|
7,879
|
2
|
0,103
|
0,446
|
1,386
|
3,219
|
5,991
|
9,210
|
10,597
|
3
|
0,352
|
1,005
|
2,366
|
4,642
|
7,815
|
11,345
|
12,838
|
4
|
0,711
|
1,649
|
3,357
|
5,989
|
9,488
|
13,277
|
14,860
|
5
|
1,145
|
2,343
|
4,351
|
7,289
|
11,070
|
15,086
|
16,750
|
6
|
1,635
|
3,070
|
5,348
|
8,558
|
12,592
|
16,812
|
18,548
|
7
|
2,167
|
3,822
|
6,346
|
9,803
|
14,067
|
18,475
|
20,278
|
8
|
2,733
|
4,594
|
7,344
|
11,030
|
15,507
|
20,090
|
21,955
|
9
|
3,325
|
5,380
|
8,343
|
12,242
|
16,919
|
21,666
|
23,589
|
10
|
3,940
|
6,179
|
9,342
|
13,442
|
18,307
|
23,209
|
25,188
|
15
|
7,261
|
10,307
|
14,339
|
19,311
|
24,996
|
30,578
|
32,801
|
20
|
10,851
|
14,578
|
19,337
|
25,038
|
31,410
|
37,566
|
39,997
|
25
|
14,611
|
18,940
|
24,337
|
30,675
|
37,652
|
44,314
|
46,928
|
30
|
18,493
|
23,364
|
29,336
|
36,250
|
43,773
|
50,892
|
53,672
|
Alel Ganda
Di muka telah disinggung bahwa alel merupakan bentuk
alternatif suatu gen yang terdapat pada lokus (tempat) tertentu. Individu
dengan genotipe AA dikatakan mempunyai alel A, sedang individu aa mempunyai
alel a. Demikian pula individu Aa memiliki dua macam alel, yaitu A dan a. Jadi, lokus A dapat ditempati oleh sepasang
(dua buah) alel, yaitu AA, Aa atau aa, bergantung kepada genotipe individu yang
bersangkutan.
Namun, kenyataan yang sebenarnya lebih umum dijumpai
adalah bahwa pada suatu lokus tertentu dimungkinkan munculnya lebih dari hanya
dua macam alel, sehingga lokus tersebut dikatakan memiliki sederetan alel.
Fenomena semacam ini disebut sebagai alel ganda (multiple alleles).
Meskipun demikian, pada individu diploid, yaitu individu
yang tiap kromosomnya terdiri atas sepasang kromosom homolog, betapa pun
banyaknya alel yang ada pada suatu lokus, yang muncul hanyalah sepasang (dua
buah). Katakanlah pada lokus
X terdapat alel X1, X2, X3, X4, X5. Maka, genotipe individu diploid yang mungkin
akan muncul antara lain X1X1, X1X2,
X1X3, X2X2 dan seterusnya. Secara
matematika hubungan antara banyaknya anggota alel ganda dan banyaknya macam
genotipe individu diploid dapat diformulasikan sebagai berikut.
Banyaknya
macam genotipe = 1/2 n ( n + 1 )
|
( n + 1 ) !
Banyaknya macam genotipe =
2 ! ( n - 1 ) !
|
n = banyaknya anggota alel ganda
Beberapa Contoh Alel Ganda
Alel
ganda pada lalat Drosophila
Lokus w pada Drosophila melanogaster mempunyai
sederetan alel dengan perbedaan tingkat aktivitas dalam produksi pigmen mata
yang dapat diukur menggunakan spektrofotometer. Tabel 2.3 memperlihatkan
konsentrasi relatif pigmen mata yang dihasilkan oleh berbagai macam genotipe
homozigot pada lokus w.
Tabel 2.3. Konsentrasi relatif pigmen mata pada berbagai genotipe
D. melanogaster
Genotipe
|
Konsentrasi relatif
pigmen mata terhadap pigmen total
|
Genotipe
|
Konsentrasi relatif
pigmen mata terhadap pigmen total
|
ww
|
0,0044
|
wsatwsat
|
0,1404
|
wawa
|
0,0197
|
wcolwcol
|
0,1636
|
wewe
|
0,0324
|
w+sw+s
|
0,6859
|
wchwch
|
0,0410
|
w+cw+c
|
0,9895
|
wcowco
|
0,0798
|
w+Gw+G
|
1,2548
|
Alel ganda pada tanaman
Contoh umum alel ganda pada tanaman ialah alel s, yang
berperan dalam mempengaruhi sterilitas. Ada
dua macam sterilitas yang dapat disebabkan oleh alel s, yaitu sterilitas
sendiri (self sterility) dan
sterilitas silang (cross sterility).
Mekanisme terjadinya sterilitas oleh alel s pada garis besarnya berupa
kegagalan pembentukan saluran serbuk sari (pollen
tube) akibat adanya semacam reaksi antigen - antibodi antara saluran
tersebut dan dinding pistil.
s1s2
s1s2 s2s3
Gambar 2.14 Diagram sterilitas s
Alel ganda pada kelinci
Pada kelinci terdapat alel ganda yang mengatur warna
bulu. Alel ganda ini mempunyai empat anggota, yaitu c+, cch,
ch, dan c, masing-masing untuk tipe liar, cincila, himalayan, dan
albino. Tipe liar, atau sering disebut juga agouti, ditandai oleh pigmentasi
penuh; cincila ditandai oleh warna bulu kelabu keperak-perakan; himalayan
berwarna putih dengan ujung hitam, terutama pada anggota badan. Urutan
dominansi keempat alel tersebut adalah c+ > cch > ch
> c dengan sifat dominansi penuh. Sebagai contoh, genotipe heterozigot
cchc, akan mempunyai bulu tipe cincila.
Golongan darah sistem ABO
pada manusia
Pada tahun 1900 K. Landsteiner menemukan lokus ABO pada
manusia yang terdiri atas tiga buah alel, yaitu IA, IB,
dan I0. Dalam keadaan heterozigot IA dan IB
bersifat kodominan, sedang I0 merupakan alel resesif (lihat juga
bagian kodominansi pada bab ini). Genotipe dan fenotipe individu pada sistem
ABO dapat dilihat pada tabel 2.4.
Tabel 2.4. Genotipe
dan fenotipe individu pada sistem ABO
Genotipe
|
Fenotipe
|
IAIA atau IAI0
|
A
|
IBIB atau IBI0
|
B
|
IAIB
|
AB
|
I0I0
|
O
|
Lokus ABO mengatur tipe glikolipid pada
permukaan eritrosit dengan cara memberikan spesifikasi jenis enzim yang
mengatalisis pembentukan polisakarida di dalam eritrosit tersebut. Glikolipid
yang dihasilkan akan menjadi penentu karakteristika reaksi antigenik tehadap
antibodi yang terdapat di dalam serum darah. Antibodi adalah zat penangkal
terhadap berbagai zat asing (antigen) yang masuk ke dalam tubuh.
Dalam tubuh seseorang tidak mungkin terjadi reaksi
antara antigen dan antibodi yang dimilikinya sendiri. Namun, pada transfusi darah kemungkinan
terjadinya reaksi antigen-antibodi yang mengakibatkan terjadinya aglutinasi
(penggumpalan) eritrosit tersebut sangat perlu untuk diperhatikan agar dapat
dihindari. Tabel 2.5
memperlihatkan kompatibilitas golongan darah sistem ABO pada transfusi darah.
Tabel 2.5.
Kompatibilitas golongan darah sistem ABO pada transfusi darah.
Golongan darah
|
Antigen dalam eritrosit
|
Antibodi dalam serum
|
Eritrosit yang
digumpalkan
|
Golongan darah donor
|
A
|
A
|
anti B
|
B dan AB
|
A dan O
|
B
|
B
|
anti A
|
A dan AB
|
B dan O
|
AB
|
A dan B
|
-
|
-
|
A, B, AB, dan O
|
O
|
-
|
anti A dan anti B
|
A, B, dan AB
|
O
|
Selain tipe ABO, K.
Landsteiner, bersama-sama dengan P.Levine, pada tahun 1927 berhasil
mengklasifikasi golongan darah manusia dengan sistem MN. Sama halnya dengan
sistem ABO, pengelompokan pada sistem MN ini dilakukan berdasarkan atas reaksi
antigen - antibodi seperti dapat dilhat pada tabel 2.6. Namun, kontrol gen pada golongan darah sistem MN tidak
berupa alel ganda, tetapi dalam hal ini hanya ada sepasang alel, yaitu IM
dan IN , yang bersifat kodominan. Dengan demikian, terdapat tiga
macam fenotipe yang dimunculkan oleh tiga macam genotipe, masing-masing
golongan darah M (IMIM), golongan darah MN (IMIN),
dan golongan darah N (ININ).
Tabel
2.6. Golongan darah sistem MN
Genotipe
|
Fenotipe
|
Anti
M
|
Anti
N
|
IMIM
|
M
|
+
|
-
|
IMIN
|
MN
|
+
|
+
|
ININ
|
N
|
-
|
+
|
Sebenarnya masih banyak
lagi sistem golongan darah pada manusia. Saat ini telah diketahui lebih dari 30
loki mengatur sistem golongan darah, dalam arti bahwa tiap lokus mempunyai alel
yang menentukan jenis antigen yang ada pada permukaan eritrosit. Namun, di
antara sekian banyak yang dikenal tersebut, sistem ABO dan MN merupakan dua
dari tiga sistem golongan darah pada manusia yang paling penting. Satu sistem lainnya adalah
sistem Rh (resus).
Sistem Rh pertama
kali ditemukan oleh K. Landsteiner, bersama dengan A.S. Wiener, pada tahun
1940. Mereka menemukan antibodi dari kelinci yang diimunisasi dengan darah seekor
kera (Macaca rhesus). Antibodi yang
dihasilkan oleh kelinci tersebut ternyata tidak hanya menggumpalkan eritrosit
kera donor, tetapi juga eritrosit sebagian besar orang kulit putih di New York.
Individu yang memperlihatkan reaksi
antigen-antibodi ini disebut Rh positif (Rh+), sedang yang tidak
disebut Rh negatif (Rh-).
Pada mulanya kontrol genetik sistem
Rh diduga sangat sederhana, yaitu R untuk Rh+ dan r untuk Rh-.
Namun, dari temuan berbagai antibodi yang baru, berkembang hipotesis bahwa
faktor Rh dikendalikan oleh alel ganda. Hal ini dikemukakan oleh Wiener.
Sementara itu, R.R. Race dan R.A. Fiescher mengajukan hipotesis bahwa kontrol
genetik untuk sistem Rh adalah poligen (lihat juga BabXIV).
Menurut hipotesis poligen, ada tiga
loki yang mengatur sistem Rh. Oleh karena masing-masing lokus mempunyai
sepasang alel, maka ada enam alel yang mengatur sistem Rh, yaitu C, c D, d, E,
dan e. Kecuali d, tiap alel ini menentukan adanya antigen tertentu pada
eritrosit, yang diberi nama sesuai dengan alel yang mengaturnya. Jadi, ada antigen C, c, D, E,
dan e. Dari lokus C dapat diperoleh tiga macam fenotipe, yaitu CC (menghasilkan
antigen C), Cc (menghasilkan antigen C dan c), serta cc (menghasilkan antigen c).
Begitu juga dari lokus E akan diperoleh tiga macam fenotipe, yaitu EE, Ee, dan
ee. Akan tetapi, dari lokus D hanya dimungkinkan adanya dua macam fenotipe,
yaitu D- (menghasilkan antigen D) dan dd (tidak menghasilkan antigen D).
Fenotipe D- dan dd inilah yang masing-masing menentukan suatu individu akan
dikatakan sebagai Rh+ dan Rh-. Secara keseluruhan
kombinasi alel pada ketiga loki tersebut dapat memberikan 18 macam fenotipe
(sembilan Rh+ dan sembilan Rh-).
Bertemunya
antibodi Rh (anti D) yang dimiliki oleh seorang wanita dengan janin yang sedang
dikandungnya dapat mengakibatkan suatu gangguan darah yang serius pada janin
tersebut. Hal ini dimungkinkan terjadi karena antibodi Rh (anti D) pada ibu
tadi dapat bergerak melintasi plasenta dan menyerang eritrosit janin. Berbeda
dengan antibodi anti A atau anti B, yang biasanya sulit untuk menembus halangan
plasenta, antibodi Rh mudah melakukannya karena ukuran molekulnya yang relatif
kecil.
Penyakit darah
karena faktor Rh terjadi apabila seorang wanita Rh- (dd) menikah
dengan pria Rh+ (DD) sehingga genotipe anaknya adalah Dd. Pada masa
kehamilan sering kali terjadi percampuran darah antara ibu dan anaknya,
sehingga dalam perkawinan semacam itu ibu yang Rh- akan memperoleh
imunisasi dari anaknya yang Rh+. Apabila wanita tersebut mengandung
janin Dd secara berturut-turut, maka ia akan menghasilkan antibodi anti D.
Biasanya tidak akan terjadi efek yang merugikan terhadap anak yang pertama
akibat reaksi penolakan tersebut. Akan tetapi, anak yang lahir berikutnya dapat
mengalami gejala penyakit yang disebut eritroblastosis
fetalis. Pada tingkatan berat
penyakit ini dapat mengakibatkan kematian.
Dengan adanya
peluang reaksi antigen - antibodi dalam golongan darah manusia, maka dilihat
dari kompatibiltas golongan darah antara suami dan istri dapat dibedakan dua
macam perkawinan, masing-masing
1. Perkawinan yang kompatibel,
yaitu perkawinan yang tidak memungkinkan berlangsungnya reaksi antigen-antibodi
di antara ibu dan anak yang dihasilkan dari perkawinan tersebut.
2. Perkawinan yang inkompatibel,
perkawinan yang memungkinkan berlangsungnya reaksi antigen-antibodi di antara
ibu dan anak yang dihasilkan dari perkawinan tersebut.
0 komentar:
Posting Komentar