BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Tujuan Praktikum
1.
Mengenal
tahap-tahap manifestasi anastesi umum dan tahap-tahap pemulihan dari anestesi
umum
2.
Mampu
menganalisa perbedaan anastesi oleh berbagai bahan
3.
Dapat
melakukan anestesi pada tikus dan mencit.
1.2 Prinsip Percobaan
1.
Penandaan
hewan dilakukan dengan cara menandai bagian ekor hewan dengan menggunakan
spidol permanen dengan bentuk-bentuk tertentu
2.
Dengan membandingkan faktor
yang mempengaruhi efek utama.anastetik
1.2
Tinjauan pustaka
Usaha –usaha yang dilakukan untuk
mengulangi atau mengurangi rasa sakit dengan menggunakan obat dalam prosedur
pembedahan sudah dilakukan sejak zaman kuno, termasuk dengan pemberian etanol
dan opium (opiate) secara oral. Pembuktian ilmiah pertama dari pengguanaan obat
anastetis (anastetika) untuk pembedahan dilakukan oleh Willam Morton di Boston
pada tahun 1846 dengan menggunakan dietil eter. Satu tahun kemudian, James
Simpson memperkenalkan kloroform di Scotlandia. Dua puluh tahun kemudian, hal
ini diikuti dengan suksesnya demonstrasi obat – obat anastetis dengan nitride
oxide yang pertama kali diajukan oleh Sir Humphry Davvy pada tahun 1790-an.
Anastetika modern dimulai sejak tahun 930-an, saat diperkenalkannya thiopental
suatu barbiturat intravena. Sepuluh tahun setelah itu curare
dipergunakan dalam anastesi untuk mencapai relaksasi otot bergaris. Halothane,
suatu karbon yang mengandung halogen yang pertama diperkenalkan pada 1956
sebagai anastetika inhalasi, segera menjadi standar perbandingan untuk anastetika
inhalasi yang baru.
Status anastesi umum pada dasarnya
mencangkup analgesia, amnesia, hilangnya kesadaran, terhambatnya refleks
sensorik dan otonomik, serta dalam banyak kasus relaksasi otot bergaris. Sejauh
mana suatu anastetika tertentu dapat menimbulka efek-efke di atas berbantung
pada obat-obat itu sendiri, dosisnya, dan kondisi klinis.
Suatu anastetika yang ideal dapat
menimbulkan anastesi dengan tenang dan cepat serta memungkinkan pemulihan
segera setelah penanganan selesai. Obat tersebut juga harus memiliki batasan
keamanan yang luas dan tidak menimbulkan dampak yang keras. Tetapi, tidak ada
satupun anastetika yang mampu menghasilkan efek yang dihasilkan tanpa mempunyai
kerugian jika digunakan tersendiri.
Praktik modern pada anastesi umumnya menggunakan obat – obatan yang
dikombinasikan agar dapat mengambil sifat – sifat yang menguntungkan dari tiap
– tiap obat dan memperkecil kemungkinan timbulnya efek yang merugikan.
Protokol – protokol anastesi
beragam, tergantung pada jenis diagnosis yang diajukan, terapeutik, atau
keterlibatan pembedahan. Untuk prosedur – prosedur yang bersifat concious
sedation (sedasi sadar) dengan benzodiazepin intravena dan analgesik
golongan opioid dapat menyediakan analgesia yang sangat koma namun dengan
catatan bahwa penderita mampu mempertahankan jalan nafasnya dan menganggapi
perkataan. Untuk prosedur pembedahan besar, anastesi selalu menggunakan
sedative pro-operatif, induksi anastesi dengan Theopental atau obat
–obatan intravena lain dengan mula kerja cepat. Dan persiapan untuk tingkat
yang lebih dalam dengan menggunakan anastetika inhalasi tersendiri atau
dikombinasikan dengan anastetika intravena lainnya. Di dalam banyak kasus
protokol – protokol seperti di atas melibatkan penggunaan penyekat (blocker)
neuromuscular.
1.4 Teori Dasar
Obat yang digunakan
dalam menimbulkan anastesia disebut sebagai anestetik, dan kelompok obat ini
dibedakan dalam anastetik umum dan anastetik local. Bergantung pada dalamnya pembiusan, anastetik umum dapat
memberikan efek analgesia yaitu hilangnya sensasi nyeri , atau efek anestesia
yaitu analgesia yang disertai hilangnya kesadaran, sedangkan aestetik local
hanya dapat menimbulkan efek analgesia. Anestetik umum bekerja di susunan
saraf pusat sedangkan anesteti local bekerja langsung
pada serabut saraf di perifer
Dasar saraf pusat sangat peka terhadap
obat-obatan,akibatnya sebagian besar obat-obatan jika diberikan dalam dosis
yang cukup besar menimbulkan efek yang mencolok terhadap neurotransmisi
diberbagai system saraf pusat. Kerja neurotransmitter di pascasinaps akan
diikuti dengan pembentukan second
messenger dalam hal ini cAMP yang selanjutnya mengubah tansmisi di neuron.
Disamping asetilkolin sebagai neurotransmitter klasik, dikenal juga
katekolamin, serotonin, GABA, adenosine serta berbagai asam amino dan peptide
endogen yang bertindak sebagai neurotransmitter atau yang memodulasi
neurotransmitter di SSP, misalnya asam glutamate dengan mekanisme hambatan pada
reseptor NMDA (N- metal-D- Aspartat).
Anastetik umum
dikelompokkan berdasarkan bentuk fisiknya, tetapi pembagian ini tidak sejalan
dengan penggunaan di klinik yang pada dasarnya dibedakan atas 2 cara, yaitu
secara inhalasi atau intravena. Eter, halotan, enfluran, isofluran,
metoksifluran, etiklorida, trikloretilen, dan fluroksen merupakan cairan yang
mudah menguap Yang dieliminasi melalui
saluran pernapasan.meskipun zat-zat ini kontak dengan pasien hanya beberapa jam
saja, namun dapat menimbulkan aritmia pada jantung selama proses anastetika
berlangsung
Terlepas dari
cara penggunaannya suatu anestetik yang ideal sebenarnya harus memperlihatkan 3
efek utama yang dikenal sebagai” Trias Anastesia”, yaitu efek hipnotik
(menidurkan), efek analgesia, dan efek relaksasi otot.
1.5 Alat dan Bahan
Alat
:
1. Timbangan hewan
2. Stopwatch
3. kapas
4. toples kaca dengan tutup
Bahan
:
1. Mencit betina (2 ekor)
2. kloroform
3. eter
1.6
Prosedur kerja
a.
Siapkan
hewan coba : dua mencit betina atau dua mencit jantan
b.
Mencit 1 dan 2 ditimbang (dicari yang
beratnya hampir sama)
c.
Mencit
dimasukkan kedalam toples kaca yang dalamnya diberi kapas yang sudah ditetesi
dengan eter dan kloroform
d.
Catat
setiap perubahan yang terjadi pada masing-masing mencit
e.
Setelah
dicapai
tingkat anestesi untuk pembedahan, pemberian anestesi dihentikan
f.
Tahap-tahap
pemulihan kesadaran mencit diperhatikan dan dicatat
g.
Tabel
pengamatan dibuat selengkap mungkin sehingga dapat denganmudah dibahas dan
ditarik kesimpulan dari percobaan yang telah dilakukan
BAB II
ISI
2.1 Data
Hasil Praktikum
Tabel Perubahan Sikap Mencit I (betina)
Bahan:
Kloroform
Berat
mencit: 26 gr
Waktu setelah pembiusan
|
Perubahan pada Mencit
|
27’13”
|
§ Anastesi
§ Denyut jantung/napas cepat
|
47’ 90’’
|
Keseimbangan
mencit berkurang (berjalan oleng)
|
1’ 07’’
|
Mencit
mengalami ataksia (kegagalan kontrol otot pada tangan dan kaki)
|
1’ 28’’
|
mencoba
untuk melakukan aktivitas kembali
|
2’ 13’’
|
Normal
kembali
|
Tabel Perubahan Sikap Mencit II (betina)
Bahan:
Eter
Berat
mencit: 26 gr
Waktu setelah pembiusan
|
Perubahan pada Mencit
|
1’ 11’’
|
§ Anastesi
§ Denyut jantung/napas cepat
|
1’ 22’’
|
Keseimbangan
mencit berkurang (berjalan oleng)
|
2’ 20’’
|
mencoba
untuk melakukan aktivitas kembali
|
2.2 Pembahasan
Hasil Praktikum
Mekanisme kerja Eter (Dietileter)
Eter
(Dietileter). Merupakan anestesi yang sangat kuat , sifat analgesiknya
kuat sekali, dengan kadar dalam darah arteri 10-15 mg%
sudah terjadi analgesia tetapi pasien masih sadar. Eter pada kadar tinggi dan
sedang menimbulkan relaksasi otot serta hambatan neuromuscular yang tidak dapat
dilawan oleh neostigmin .
Eter
menyebabkan iritasi saluran napas dan merangsang sekresi kelenjar bronkus. Pada
induksi dan waktu pemulihan, eter menimbulkan salivasi, tetapi pada stadium
yang lebih dalam, salivasi akan dihambat dan terjadi depresi napas
Eter menekan
kontraktilitas otot jantung, tetapi in vivo efek ini dilawan oleh meningkatnya
aktivitas simpatis sehingga curah jantung tidak berubah atau meninggi sedikit.
Eter tidak menyebabkan sensitisasi jantung terhadap katekolamin. Pada
anesthesia ringan, eter menyebabkan dilatasi pembuluh darah kulit sehingga
timbul kemerahan terutama di daerah muka, pada anesthesia yang lebih dalam
kulit menjadi lembek, pucat dingin basah. Terhadap pembuluh darah ginjal, eter
menyebabkan vasokonstriksi sehingga terjadi penurunan laju filtrasi glomerulus
dan produksi urin menurun secara reversibel. Sebaliknya pada pembuluh darah
otak menyebakan vasodilatasi
Eter
dieksresikan melalui paru,
sebagian kecil di eksresikan juga melalui urin, air susu, dan keringat
serta melalui difusi kulit utuh. Penggunaan eter pada system semi tertutup
dalam kombinasi
denhgan oksigen atau N2O tidak dianjurkan pada pembedahan dengan
tindakan kauterisasi sebab ada bahaya timbulnya ledakan atau terbakar yang dapat mengakibatkan pecahnya paru-paru.
Jenis – jenis Anastetika Umum
Anastetika umum dapat diberikan secara
inhalasi ataupun injeksi intravena
1.
Anastetika Inhalasi
Struktur kimia beberapa anastetika inhalasi
ditunjukkan pada gambar dibawah ini. Nitrousoxide, sejenis gas pada
tekanan dan suhu lingkungan, teteap penting sebagai regimen anastetika.
Halothane, Enflurane, Isoflurane, Desflurane, Sevoflurane, dan Metoxiflurane
merupakan cairan yang mudah menguap. Jenis –
2. Anastetika Intravena
Beberapa obat digunakan secara intravena (baik
sendiri ataupun dikombinasikan dengan obat lain) untuk menimbulkan anastesi,
atau sebagai komponen anastesi berimbang (banlance anatecia), untuk menenangkan
pasien di Unit Rawat Darurat yang memerlukan bantuan nafas buatan untuk jangka
panjang. Termasuk golongan ini adalah (1) Barbiturat (thiopental, metohexital);
(2) Benzodazepin (midazolam, diazepam); (3) Opioid Analgesik (Morfin,
Fentanyl, Sufentanil, Afentanil, Remifentanil); (4) Propofol; (5) Ketamin,
suatu senyawa arylsiclohexylamine yang dapat menyebankan keadaan
anastesi disosiatif dan (6) Obat – obatan ain (Droperianol, Etomidate,
Dexmedetomedine).
GEJALA – GEJALA DAN TAHAPAN – TAHAPAN ANASTESI
Penjelasan tradisonal terhadap gejala – gejala
dan tahapan – tahapan anastesi (gejala guedel) disimpulkan daqri penelitian
efek dietil eter, yang mempunyai mula kerja sentral sangat lambat, disebabkan
karena daya larutnya sangat tinggi di dalam darah. Tahapn dan gejala lanjutan
dan menengah jarang terjadi pada anastetika inhalasi dan intravena modern yang
bermula kerja sangat cepat. Lebih jauh lagi, kebanyakan protokol anastesi untuk
prosedur – prosedur mayor sekarang terdiri dari kombinasi anastetika inhalasi
dan intravena. Sekalipun demikian gejala – gejala anastetika dari dietil eter
masih menjadi pegangan untuk memperkirakan efek anastetika untuk semua golongan
anastetika umum. Banyak dari gejala – gejala ini yang mengacu pada efek
anastetika pada nafas, gerakan refleka, dan tonus otot. Secara tradisional,
efek anastetika dibagi dalam 4 tahap
menurut kedalaman depresi sistem saraf pusat (SSP) :
- Tahap Analgesia
Pada awalnya penderita mengalami analgesia
tanpa amnesia. Analgesia dan amnesia akan terjadi pada tahap pertama.
- Tahap Eksitasi (Excitement)
Pada tahap ini penderita akan mengigau dan
tampak gelisah meskipun dalam kondisi amnesia. Kecepatan dan volume napas tidak
beraturan. Penderita dapat meronta muntah dan kadang tidak dapat mengendalikan
pengeluaran urin. Oleh karena itu alasan – alasan di atas, berbagai usaha telah
dilakukan untuk membatasi lamanya tahap ini yang diakhiri dengan normalnya
kembali nafas.
- Tahap Pembedahan
Tahap ini diawali dengan kembalinya nafas
secara normal hingga berhentinya nafas secara mendadak. Empat tingkatan pada
tahap ke tiga ditandai dengan perubahan gerakan bola mata, refleks mata dan
ukuran pupil, yang dalam kondisi tertentu gejala makin dalamnya anastesi.
- Tahap Depresi Medula
Tahap keempat diawali dengan berhenti totalnya
nafas spontan. Tahap ini meliputi depresi berat pada pusat vasomotor dan pusat
nafas di medula. Tanpa bantuan bantuan penuh dari alat bantu sirkulasi dan
nafas maka kematian akan terjadi dengan cepat.
Di dalam praktik anastesi modern tanda – tanda
khusus pada tiap tiap tahapan di atas
biasanya tidak jelas. Hal ini disebabkan karena mula kerja anastetika yang
relatif cepat jika dibandingkan dengan dietil eter dan adanya kenyataan bahwa
aktivitas nafas seringkali dikendalikan dengan bantuan ventilator mekanis.
Dapat pula ditambahkan bahwa adanya obat – obatan yang lain yang diberikan,
baik sebelum pembedahan ataupun selama pembedahan dapat juga mempengaruhi
gejala – gejala anastetika.
Efek anastetika inhalasi pada sistem organ
- Efek terhadap sitem
kardiovaskular
Anastetika inhalasi mengubah kecepatan jantung
dengan jalan mengubah secara langsung kecepatan depolarisasi nodus sinus atau
dengan menggeser keseimbangan aktifitas saraf otonomik. Semua anastetika
inhalasi cenderung meningkatkan tekanan arteri kanan sesuai dengan hubungan
dosis – efek yang kesemuanya menggambarkan adanya depresi fungsi miokardium.
Anastetika inhalasi mengurangi kebutuhan oksigen miokardium, terutama dengan
mengurangi variabel – variabel pengendali kebutuhan oksigen, seperti tekanan
darah, arteri, dan kekuatan kontraksi .
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi efek
kardiovaskuler dari anastetika inhalasi. Stimulasi bedah, hiperkapne, dan
lamanya anastesi akan mengurangi efek depresan obat – obat ini. Hiperkapne
melepaskan katekolamin, yang akan mencegah penurunan tekanan darah. Penurunan
tekanan darah yang terjadi selama 5 jam anastesi lebih sedikit diabndingkan
dengan penurunannya dalam satu jam anastesi.
- Efek terhadap sistem
pernapasan
Semua anastetika inhalasi yang dipakai
sekarang ini menimbulkan penurunan volume tidal dan meningkatkan kecepatan
nafas sekalipun demikian, meningkatnya kecepatan ini tidaklah cukup untuk
mengkompensasi penurunan volume, yang menyebabkan penurunan ventilasi semenit.
Semua anastetika inhalasi merupakan depresan nafas seperti yang ditujukan pada
kasus berkurangnya respon terhadap berbagai kadar karbon dioksida. Tahapan
depresi ventilasi berbeda – beda untuk setiap senyawa anastetika. Semua
anastetika inhalasi yang kini dugunakan mempunyai efek meningkatkan kadar PaCO2
pada keadaan istirahat (tekanan parsial dari karbon dioksida dalam darah
arteri).
Anastetika inhalasi meningkatkan nilai ambang
apnoe (henti nafas; batas PaCO2, di bawah mana apne terjadi karena
berkurangnya rangsangan nafas oleh CO2) dan mengurangi respon
ventilasi terhadap hipoksia. Efek tersebut sangat penting karena konsentrasi
sub-anastetis yaitu konsentrasi yang timbul selama pemulihan menekan
peningkatan kompensasi normal di dalam ventilasi yang terjadi selama hipoksia.
Semua efek depresan senyawa anastetika ini terhadap nafas dapat ditangani
dengan cara mengatur dan mengendalikan ventilasi melalui ventilator mekanik
selama pembedahan. Lebih lanjut, efek depresi ventilasi dari anastetika
inhalasi dikurangi dengan stimulasi pembedahan dan memperlama anastesi.
Anastesi inhalasi juga menekan fungsi
mukosilier pada saluran nafas. Dengan demikian perpanjangan anastesi dapat
menimbulkan pengumpula lendir yang dapat menyebabkan atelektasis dan infeksi
saluran nafas. Namun, anastesi inhalasi cenderung menjadi suatu bronkodilator.
Efek ini digunakan dalam pengobatan status asmatikus. Iritasi saluran nafas
yang dapat menyebabkan batuk dan sesak nafas jarang menjadi masalah dengan
sebagian besar anastetika inhalasi.
- Efek terhadap otak
Anastetika inhalasi mengurangi laju metabolise
otak. Sekalipun demikian, sebagian besar anastetika inhalasi meningkatkan
aliran darah menuju serbral karena mereka mengurangi resistensi pembuluh darah
serebral. Peningkatan darah serebral
sering kali tidak diinginkan secara klinis. Misalnya, pada pasien yang
mengalami peningkatan tekanan intrakranial karena adanya tumumor otak atau
cidera kepala, maka pemberian suatu anastetika inhalansi dapat meningkatkan
aliran darah serebral, yang selanjutnya akan menaikan voliume darah serebral
kmudian menaikan tekanan intrakranial.
- Efek terhadap ginjal
Anestetika inhalasi menurunkan kecepatan
filtrasi glomerulus dan aliran plasma efektif yang menuju ginjal, serta meningkatkan fraksi
filtrasi. Semua anestetika cenderung meninggkatkan resistensi pembuluh darah ginjal. Karena aliran darah
menuju ginjal menurun selama anestesi umum, meskipun tekanan prfusi dipertahankan
atau dinaikan, autoregulasi dari aliran darah menuju ginjal memiliki
kemungkinan dapat mengalami kegagalan.
- Efek terhadap hati
Semua anastetika inhalasi mempunyai efek
menurunkan aliran darah menuju hati, berkisar antara 15%-45% dari aliran darah
praanastesi. Meskipun secara inoperatif terjadi perubahan mendadak, jarang
terjadi perubahan permanen dari fungsi hati akibat penggunaan senyawa
anastetika tersebut.
Dalam hal ini kami melakukan ujicoba anastesi umum dengan menggunakan hewan
percobaan mencit, sesuai dengan langkah kerja kita memlih dua buah mencit yang
sama jenis kelamin dan berat yang hampir sama agar terhindar dari human error dalam
percobaan dan tidak terpengaruh dosis akibat perbedaan berat badan.
Mencit A yang kita masukan dalam ruang tertutup yang berisi gas kloroform.
Dalam jangka waktu 27,11 detik, mencit mulai memasuki fase anastesi disertai
dengan gerak denyut jantung dan nafas yang semakin cepat. Kemudian pada detik
ke 47,90 keseimbangan mencit mulai berkurang (jalan oleng). Pada saat percobaan
memasuki usia 1 menit 7 detik, Mencit mengalami ataksia (kegagalan kontrol otot pada tangan dan
kaki). Faseini disebut dengan fase exitement. Lalu
mencit dikeluarkan dari ruang tertutup tadi. Pada saat menit ke 1 lebih 28
detik, mencit tersebut mencoba untuk melakukan aktifitas kembali. Dan akhirnya,
saat menit ke 2 lebih 13 detik, mencit tersebut mengalami fase pemulihan dari
pengaruh anastesi.
Sedangkan pada mencit B yang kita masukan dalam ruang tertutup berisi gas eter (diethyl eter) dalam
waktu 1,11 menit, mencit mulai
teranastesi serta denyut jantung dan nafasnya mulai bergerak cepat. Setelah
itu, pada waktu 1 menit 22 detik, keseimbangan
mencit berkurang (berjalan oleng). Fase ini disebut fase exitement. Kemudian mencit
dikeluarkan dari tempat tertutup tadi. Dan untuk kembali ke kondisi normal
(fase pemulihan), mencit membutuhkan waktu 2 menit 13 detik.
Dari 2 pengamatan diatas dapat diketahui bahwa kloroform lebih cepat
memberikan efek anastesi terhadap mencit daripada eter, dan range waktu dari
fase anastesi ke fase pemulihan kloroform lebih lama dari eter.
Dalam hal ini dosis tidak diperhitungkan karena pemberiannya tidak
dilakukan secara oral maupun injeksi, melainkan dilakukan secara inhalasi.
BAB II
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
v Anastetika umum dapat diberikan secara
inhalasi ataupun injeksi intravena, dan dalam praktikum kali ini, hanya
dilakukan secara inhalasi.
v Kloroform lebih cepat memberikan efek anastesi
terhadap mencit daripada eter
v Range
waktu dari fase anastesi ke fase pemulihan kloroform lebih lama dari
eter.
v Dalam praktikum ini dosis tidak diperhitungkan karena
pemberiannya tidak dilakukan secara oral maupun injeksi, melainkan dilakukan
secara inhalasi.
v Dalam pengamatan anastesi umum yang dilakukan
secara inhalasi diperlukan kecermatan dalam mengamati fase-fase anastesi umum,
agar mencit tidak mati.
3.2 Saran
ü Lebih cermat dalam melakukan pengamatan
anastesi umum secara inhalasi ini, supaya mencit tak mati
ü Selain dengan inhalasi, anastesi umum juga
dapat dilakukan dengan cara injeksi intravena.
DAFTAR PUSTAKA
Ø
Katzung,
Bertram. G. 2001. Farmakologi Dasar dan
Klinik. Salemba Medika : Jakarta.
Ø
Ernst Mutschler. 1986. Dinamika Obat,
Farmakologi dan Toksikologi (terjemahan), ITB : Bandung
0 komentar:
Posting Komentar