A. Pendahuluan
Hukum Islam sebagai sistem hukum universal memiliki sifat elastis yang menjadikannya selalu sesuai dengan kondisi manusia kapan saja dan di mana saja (mashalih fi kulli makaan wa zamani). Keuniversalam hukum Islam tercermin dari sumber hukumnya yang mencakup seluruh sendi kehidupan manusia. Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah dua sumber utama hukum Islam yang memiliki sifat holistik dan menyeluruh, dalam arti ia mengatur seluruh sendi kehidupan manusia, dari manusia itu hadir ke dunia ini hingga ia kembali kepada Ilahi.
Al-Qur’an menjadi sumber utama hukum Islam yang dijelaskan secara rinci oleh As-Sunnah (Al-Hadits), maka keduanya tidak bisa dipisahkan. Kedudukan As-Sunnah setara dengan kedudukan Al-Qur’an hal ini sebagaimana firman Allah ta’ala :
وَأَنزَلَ ٱللَّهُ عَلَيْكَ ٱلْكِتَٰبَ وَٱلْحِكْمَةَ وَعَلَّمَكَ مَا لَمْ تَكُن تَعْلَمُ
Dan (juga karena) Allah telah menurunkan Kitab dan hikmah (As-Sunnah) kepadamu, dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui. QS An-Nisaa : 113.
رَبَّنَا وَٱبْعَثْ فِيهِمْ رَسُولًۭا مِّنْهُمْ يَتْلُوا۟ عَلَيْهِمْ ءَايَٰتِكَ وَيُعَلِّمُهُمُ ٱلْكِتَٰبَ وَٱلْحِكْمَةَ وَيُزَكِّيهِمْ ۚ إِنَّكَ أَنتَ ٱلْعَزِيزُ ٱلْحَكِيمُ
Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka seorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab (Al Qur'an) dan Al-Hikmah (As-Sunnah) serta menyucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. QS Al-Baqarah : 129.
Imam Abdullah An-Nasafi (w. 710 H) berkata, “Yang dimaksud ‘membacakankepadamerekaayat-ayatMuyaitumembacakandanmenyampaikankepadamerekabukti-buktikeesaan Allah dankebenaranparanabi yang diutusberdasarkanwahyu yang diturunkan. Dan, yang dimaksud ‘mengajarimereka Al-Kitab’ yaitumengajarkan Al-Qur`ankepadamereka. Sedangkan yang maksud al-hikmah’ yaituSunnahNabidanpemahaman Al-Qur`an. Adapunmaksud ‘menyucikanmereka’ adalahmembersihkanmerekadariperbuatansyirikdansegalanajis.[1] ”Jadi, makna “al-hikmah” dalamayatiniadalahSunnah.Kedudukan As-Sunnah yang setara dengan Al-Qur’an juga ditegaskan kembali fungsinya dalam firmanNya :
وَمَآ أَنزَلْنَا عَلَيْكَ ٱلْكِتَٰبَ إِلَّا لِتُبَيِّنَ لَهُمُ ٱلَّذِى ٱخْتَلَفُوا۟ فِيهِ ۙ وَهُدًۭى وَرَحْمَةًۭ لِّقَوْمٍۢ يُؤْمِنُونَ
Dan Kami tidak menurunkan kepadamu Al Kitab (Al Qur'an) ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman. QS An-Nahl : 64.
Inilah yang menjadi tugas As-Sunnah (Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wasalam ) yaitu menjelaskan setiap ayat yang turun dari Allah ta’ala. Berkaitan dengan kedudukan As-Sunnah, disebutkan dalam sebuah hadits, beliau bersabda : “Ketahuilah, sesungguhnya aku diberikan al-Kitab (al-Qur’an) dan yang sepertinya (yaitu as-Sunnah) bersamanya.[2] Tentunya hadits yang dimaksud adalah hadits yang telah mengalami seleksi keshahihan sehingga hadits tersebut terlepas dari segala bentuk cacat dan kelemahan. Maka hadits yang telah shahih dan tidak ada ikhtilaf padanya kedudukannya sama dengan Al-Qur’an.
Namun, muncul permasalahan dari mana kita mengetahui suatu hadits itu adalah shahih dan siapa yang mengeluarkan hadits tersebut? Keshahihan suatu hadits dibahas secara panjang lebar oleh ilmu mushtahalah al-hadits sedangkan untuk mengetahui siapa yang telah mengeluarkan suatu hadits maka ilmu takhrij hadits akan menjawab semuanya. Maksudnya adalah suatu hadits akan dapat diketahui siapa yang pertama kali mencatat dan mengumpulaknnya dalam suatu himpunan hadits. Makalah ini akan membahas mengenai beberapa metode takhrij hadits yang dapat digunakan dalam mengetahui suatu hadits.
B. Metode Takhrij Hadits
1. Definisi Takhrij
Membahas tetang pengertian dari takhrij, maka ada tiga istilah yang berkaitan erat dengan istilah takhrij, yaitu kata takhrij (تخريج), ikhraj (إخراج), dan istikhraj (إستخراج). Kata takhrij secara etimologi berasal dari kata kharaja-yakhruju-khurujan (خَرَجَ يَخْرُجُ خُرُوجاً ومَخْرَجاً), yang berarti tampak atau jelas[3]. Kata ini memiliki pecahan kata dalam bentuk isim makan yaitu al-makhraj yang berarti tempat keluar. Bentuk lain dari kata kharaja :
Kharraja, akhraja dan akhtaraja yang bermakna lawan dari memasukan, yaitu mengeluarkan.[4]Dikatakan “akhraja al-hadits wa kharajahu” artinya menampakkan dan memperlihatkan hadits kepada orang dengan menjelaskan tempat keluarnya.[5]
Mahmud al-Thahan dalam kitabnya Usul al-Takhrij wa Dirasat al-Asanid, menjelaskan bahwa at-takhrij menurut pengertian asal bahasanya adalah “berkumpulnya dua perkara yang berlawanan pada sesuatu yang satu”. Selanjutnya ia menjelaskan bahwa ada tiga pengertian takhrij, yaitu الإستنباط (mengeluarkan dari sumbernya), التدريب (melatih atau membiasakan), dan التوجيه (mengarahkan dan menjelaskan duduk persoalan)[6].
Takhrij menurut istilah adalah menunjukkan tempat hadits pada sumber aslinya yang mengeluarkan hadits tersebut dengan sanadnya dan menjelaskan derajatnya ketika diperlukan. Dalam pengertian yang lebih lengkap disebutkan bahwa Takhrij adalah :
عَزْوُ الاحَادِيْثِ الّتِى تُذْكَرُ فِي المُصَنَّفاَتِ مُعَلَّقَةً غَيْرَ مُسْنَدَةٍ وَلا مَعْزُوَّةٍ اِلَى كِتاَبٍ اَوْ كُتُبٍ مُسْنَدَةٍ اِمَّا مَعَ الْكَلاَمِ عَلَيْهَا تَصْحِيْحاً وَتَضْعِيْفًا وَرَدًّا وَقَبُوْلاً وَبَيَانِ مَافِيْهَا مِنَ اْلعِلَلِ وَاِمَّا بِالاِقْتِصَارِ عَلَى الْعَزْوِ اِلَى الاُصُوْلِ
Mengembalikan (menelusuri kembali ke asalnya) hadits-hadits yang terdapat di dalam berbagai kitab yang tidak memakai sanad kepada kitab-kitab musnad, baik disertai dengan pembicaraan tentang status hadits-hadits tersebut dari segi sahih atau daif, ditolak atau diterima, dan penjelasan tentang kemungkinan illat yang ada padanya, atau hanya sekadar mengembalikannya kepada kitab-kitab asal (sumber) nya.[7] Sementara Mahmud al-Thahan mendefinisikan takhrij al-hadits dengan :
التخريج هو الدلالة على موضع الحديث فى مصادره الاصلية التى اخرجته بسنده ثم بيان مرتبته عند الحاجة
Takhrij ialah penunjukan terhadap tempat hadits dalam sumber aslinya yang dijelaskan sanadnya dan martabatnya sesuai dengan keperluan.[8]
Ketiga definisi tersebut saling melengkapi pengertian dari takhrij al-hadits. Intinya bahwa takhrij adalah kegiatan mencari sumber asli dari suatu hadits yang belum diketahui keshahihannya. Perluasan dari makna takhrij adalah :
a. Periwayatan (penerimaan, perawatan, pentadwinan, dan penyampaian) hadits.
b. Penukilan hadits dari kitab-kitab asal untuk dihimpun dalam suatu kitab tertentu.
c. Mengutip hadits-hadits dari kitab-kitab fan (tafsir, tauhid, fiqh, tasawuf, dan akhlak) dengan menerangkan sanad-sanadnya.
d. Membahas hadits-hadits sampai diketahui martabat kualitasnya (maqbul-mardudnya).
Dari sini kita dapat pahami bahwa takhrij hadits memiliki kedudukan yang sangat penting dalam kajian ilmu hadits. Dengannya akan diketahui siapa mukharij yang mengeluarkan hadits tersebut dan derajatnya, sehingga kita akan mengetahui apakah suatu hadits bisa diterima dan diamalkan atau tidak.
[1] Imam Abdullah bin Ahmad An-Nasafi, Madarik At-Tanzil wa Haqa`iq At-Ta`wil (Tafsir An-Nasafi /jilid I/juz 1/hlm 126/Penerbit Dar An-Nafa`is, Beirut/Cetakan I/1996 M – 1416 H
[2] HR. Abu Dawud (no. 4604), Ahmad (IV/131), dari Shahabat Miqdam bin Ma’di Kariba Radhiyallahu‘anhu
[3] Ibnu Al-Mandzur, Lisaan Al-Arab, Juz II hal. 249
[4] Ahmad Warson Munawwir, Kamus Munawwir, hal.330
[5] Ibnu Al-Mandzur, Lisaan Al-Arab, Juz II hal. 252
[6] Mahmud Thahan, Usul al-Takhrij wa Dirasat al-Asanid, Hal.97
[7] Nawir Yuslem, Ulumul Hadis,
[8] Mahmud Thahan, Usul al-Takhrij wa Dirasat al-Asanid, Hal.97
0 komentar:
Posting Komentar