Pengaruh terjemahan dan buku diskursif tentang Sufisme terhadap murid yang
belum mengenalnya pasti sangat kuat dan niscaya akan sulit dilupakan. Metode
pendekatan melalui penterjemahan itu akan menghadapi masalah yang pelik.
Dengan menyisihkan masalah perbedaan tingkat akurasi dan makna yang ditangkap
para penterjemah (masalah yang mengandung berbagai kekaburan meskipun
sebenarnya merupakan kegiatan yang tidak relevan), kita akan tahu bahwa karya
sastra dalam bentuk terjemahan itu mungkin membuat pembaca terpesona dan
mengalami petualangan yang asing.
Kadangkala mereka menterjemahkan irama dan rima orisinil dari puisi Timur ke
dalam bahasa Inggris, karena mereka merasa bahwa kiat ini membantu untuk
menyampaikan makna yang orisinal. Namun penterjemah lainnya mempertahankan
pandangan sebaliknya dan menghindari upaya menterjemah dengan cara tersebut,
karena mereka mengklaim bahwa hal itu tidak mungkin dicapai atau menimbulkan
makna yang berbeda. Disamping itu, beberapa naskah diterjemahkan dengan
bantuan berbagai komentar non-Sufi (pada umumnya Muslim, bahkan teolog formal
Kristen). Kemudian ada berbagai terjemahan parsial, terbitan seleksi yang telah
dipotong sehingga penterjemahnya kesulitan sendiri untuk memberikan judulnya.
Ia kurang mengetahui praktek-praktek Sufi, sehingga keberaniannya itu rupanya
menimbulkan berbagai perusakan. Karya tulis Sufi bukanlah semata-mata karya
sastra, filsafat, atau teknik.
Ada sebuah terjemahan buku Persia dalam bahasa Inggris, namun diterjemahkan
dalam bahasa Perancis. Versi bahasa Perancis ini adalah terjemahan dari bahasa
Urdu sebagai karya klasik Persia yang diikhtisarkan dari sebuah buku Arab. Banyak
versi modern dari karya sastra Persia klasik yang kadangkala disunting untuk
mengimbangi berbagai referensi yang menyerang kepercayaan agama Iran.
Disamping itu muncul penulis non-akademis dan penulis populer dari kalangan
Kristen (misionaris), Hindu, neo-Hindu Barat -- dan neo-Sufi Barat -- yang menulis
tentang Sufisme. Presentasi Sufisme di kalangan terpelajar dalam bahasa Barat itu
menghasilkan kepustakaan yang sangat berlimpah dibandingkan kepustakaan di
bidang lainnya.
Pengamatan kaleidoskopis itu mempunyai kecenderungan insidentilnya sendiri.
Tendensi berbias ini -- suatu istilah yang mungkin tidak tepat, atau sebaiknya
"polikotomi" (menurut istilah dikotomi) -- ternyata menyentuh pokok kajian yang
sangat menarik selama hampir seribu tahun yang lalu. Hal ini juga pernah terjadi
ketika pemikir Yahudi Avicebron dari Malaga (hidup kira-kira 1020-1050 atau 1070)
menulis sebuah buku berjudul Fountain of Life (Sumber Kehidupan), sebuah karya
tulis berdasarkan filsafat iluministik Sufi. Karena ia menulis dalam bahasa Arab,
maka banyak pemikir Kristen otoritatif dari madzhab Eropa Utara dan telah
www.tris.co.nr
51
Mahkota Sufi – Menembus Dunia Ekstra Dimensi
mempelajari ilmu pengetahuan "Arab", mengira bahwa ia adalah orang Arab.
Setidaknya beberapa pemikir menganggap bahwa ia beragama Kristen, sebagai
"gema ajaran," demikian kata mereka. Kalangan Franciscan (Ordo keagamaan yang
didirikan oleh Francis Assisi pada tahun 1209, pent.) menerima ajaran-ajarannya
dengan penuh semangat dan mentransmisikannya kedalam aliran pemikiran
Kristen. Sementara ajaran-ajarannya telah diseleksi dari sebuah terjemahan
bahasa Latin yang dikerjakan sekitar seabad setelah kematian Avicebron.
Sementara seorang akademisi perempuan terkemuka, penulis otoritatif tentang
mistisisme Timur Tengah telah menyentuh lebih dari satu bagian gajah. Dalam
sebuah bukunya, ia menyatakan bahwa Sufisme "mungkin dipengaruhi secara
langsung oleh pemikiran Budhisme." Ia mengimbuhkan bahwa para Sufi paling awal
"mungkin mempunyai sedikit hubungan dengan kepustakaan Hellenistik" -- namun
pemikiran mereka ternyata diturunkan dari sumber-sumber Hellenistik. Akan tetapi
di akhir kajiannya tentang Sufisme, ia menyatakan bahwa "asal-usul dan sumber
Sufisme yang sejati terdapat dalam hasrat abadi dari jiwa manusia untuk bertemu
Tuhan."
Aktivitas Sufi mempunyai pengaruh sangat luas terhadap Barat Kristen, sehingga
kenyataan ini lebih baik dari kasus umum yang bisa dikemukakan tentang Sufi
bahwa kebenaran obyektif dari Sufisme adalah suatu dinamika yang hampir tidak
dapat disangkal. Namun kekuatan vitalistik ini, yaitu ungkapannya yang benar,
tergantung pada pemahaman manusia secara benar. Bila tahap persiapan ini tidak
ada, maka besar kemungkinan aliran Sufi menjalankan perubahan tertentu. Yang
sangat rentan dari bias ini adalah aktivitas Sufi tertentu atau fragmentaris.
Ilustrasi yang sangat khas dapat dikemukakan melalui nasib karya al-Ghazali di
Eropa.
Al-Ghazali dari Asia Tengah (1058-1111) menulis sebuah buku yang berjudul
Tahafutul-Falasifah (Kerancuan Para Filosuf). Buku ini telah diterjemahkan
sebagian dan digunakan oleh para apolog Katholik untuk menentang madzhab-
madzhab pemikiran Muslim maupun Kristen. Namun karya tulisnya yang diterima di
Barat ini hanyalah semacam pengantar filsafat. Karya al-Ghazali harus dibaca
secara keseluruhan. Demikian pula maksud latihan para Sufi harus diikuti jika ingin
dipahami secara benar. Karya al-Ghazali ini ditanggapi oleh filosuf Arab lainnya,
yaitu Ibnu Rusyd dari Cordoba (1126-1198). Dengan nama Averroes, karyanya juga
diterjemahkan. Ibnu Rusyd sebenarnya tidak sepenuhnya menyangkal al-Ghazali
melalui metode skolastik. Namun ia telah merasa melakukan hal itu. Meskipun
demikian, Averroeisme telah mendominasi pemikiran skolastik Barat dan Kristen,
setidaknya selama empat abad -- dari abad kedua belas sampai akhir abad keenam
belas. Secara bersamaan, karya-karya al-Ghazali dan Aristotelianisme telah
membentuk dua aliran ganda Sufi (aksi dan reaksi) yang telah menjaga ajaran
Kristen secara keseluruhan. Namun sumber awalnya, yaitu Ghazallisme dan
Averroeisme, kemudian diabaikan (selama menyangkut pemikiran skolastik).
"Perlu dicatat," kata Rumi, "bahwa hal-hal yang bertentangan bekerja secara
bersamaan, meskipun secara nominal bertentangan." (Fihi Ma Fihi).
Secara fundamental, Sufi menyadari bahwa Sufisme adalah suatu ajaran dan
sekaligus sebuah bagian dari evolusi organis yang jarang dimasukkan dalam kajian
www.tris.co.nr
52
Mahkota Sufi – Menembus Dunia Ekstra Dimensi
oleh mereka yang memusatkan perhatian pada penelitian sistem tersebut.
Konsekuensinya, hampir tidak ada kemungkinan bagi pengamat untuk memberikan
kesimpulan akurat. Dengan bersandar pada kemampuan diskursifnya semata, ia
tidak akan mampu mengkaji sebelum memulainya. Rumi mengalamatkan syair
dalam Matsnawi-nya berikut ini kepada kalangan Eksternalis-literalis (Zhahiriyah)
masa lalu maupun masa kini:
Dia yang telah tercerahkan (Sufi);
Mengetahui bahwa cara berpikir sesat berasal dari Iblis,
sementara cinta dari Adam.
Para Sufi telah membingungkan sarjana karena perilaku mereka tampak tidak
konsisten dan kadangkala memaksanya untuk menyimpulkan dengan berbagai
kualifikasi dari inti ajaran mereka. Namun mereka juga bisa membangkitkan ghirah
keagamaan para teolog. Cinta sebagai prinsip aktif dari perkembangan dan
pengalaman Sufi, baik sebagai mekanisme maupun sebagai tujuan akhir, tidak bisa
dianggap sebagai asal-usul Sufisme. Namun yang Terhormat Profesor W.R. Inge
dalam bukunya Christian Mysticism segera terseret pada target yang diacunya itu.
"Para Sufi atau mistik Muhammad menggunakan bahasa erotis dengan sangat bebas
dan seperti aliran mistik Asia yang sejati, mereka hadir dalam upaya memberikan
karakter sakramental atau simbolik atas kegairahan nafsu mereka."
Contoh klasik ini telah mengaburkan pandangan dari beberapa sarjana Barat yang
telah akrab dengan Sufisme. Contoh ini juga mengungkapkan imitasi Sufi terhadap
mistik Asia yang kecanduan pada bahasa erotis (secara rahasia, karena mereka
tidak mempublikasikannya). Bahasa erotis ini sebenarnya bertujuan merahasiakan
kegemaran nafsu mereka. Akan tetapi, mereka dapat merasa terhibur dengan
sebuah opini dari seorang profesor Universitas Cambridge yang memandang
Sufisme secara lebih hormat sebagai "perkembangan agama primordial bangsa
Arya". Jika simbolisme Sufi tidak bermakna demikian, namun lebih
merepresentasikan pengalaman hidup aktual, maka kita mungkin akan menemukan
bahwa para Sufi lebih mempunyai banyak fungsi dibandingkan apa yang diketahui
pendukung demokrat mereka. Ahli sastra Sufi mungkin mampu mereguk seratus
samudera, yaitu berhala-berhala ketika semuanya tidak disembah, merantau ke
Cina dalam keadaan mabuk -- hidup di dunia namun tidak larut di dalamnya --
belum lagi disebutkan seratus bulan dan mentarinya.
Para pendukung penafsiran literal atas ungkapan mistik tentu saja secara memadai
ditanggapi oleh pakar bahasa seperti Evelyn Underhill:
"Simbol -- dalam persoalan spiritual meminjam dari bidang material -- adalah
sebuah ungkapan artistik. Hal itu berarti bahwa simbol tidak literal namun
sugestif, meskipun seniman yang menggunakannya kadangkala mungkin tidak
melihat pembedaan ini. Oleh karena itu, orang-orang yang menganggap bahwa
'perkawinan spiritual' dari St. Catherine atau St. Teresa merahasiakan suatu
skandal seksual, bahwa mimpi Hati Suci mengandung suatu pengalaman anatomia
atau bahwa pengalaman Ilahiyah dari para Sufi adalah kemabukan Ilahiyah, tentu
saja menunjukkan ketidaktahuan mereka tentang mekanisme seni: seperti sang
nona yang menganggap bahwa Blake pasti gila karena berkata bahwa ia menyentuh
langit dengan jemarinya."4
www.tris.co.nr
53
0 komentar:
Posting Komentar