Segala Puji bagi Allah Subhanahu wa Ta'ala , Tuhan seru sekalian alam,
Penguasa langit dan bumi, yang mengatur urusan seluruh makhluk, yang
mengutus para Rasul kepada sekalian mukalaf untuk memberikan petunjuk dan
menerangkan kepada mereka urusan-urusan agama dengan dalil-dalil yang jelas
dan bukti-bukti yang nyata. Aku bersyukur kepada-Nya atas segala nikmat-Nya
dan aku memohon tambahan karunia dan kemurahan-Nya.
Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan melainkan Allah Subhanahu wa Ta'ala
semata yang Maha Esa lagi Maha Kuasa, Maha Mulia lagi Maha Pengampun.
Dan saya bersaksi bahwa junjungan kita Muhammad Shallallahu 'alaihi wa
Sallam adalah hamba, utusan, kekasih dan kesayangan-Nya. Beliau adalah
setinggi-tinggi makhluk yang dimuliakan Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan
Al-Qur’an yang agung sebagai mukjizat yang berlaku sepanjang masa.
Keselamatan dan kesejahteraan semoga senantiasa dilimpahkan Allah
Subhanahu wa Ta'ala kepada Beliau dan kepada segenap para Rasul, para Nabi
dan keluarga mereka serta segenap orang-orang shalih.
Sesungguhnya dalam hadits yang shahih Rasululloh telah bersabda :
“Hendaklah orang yang hadir (mendengarkan pengajian) menyampaikan
kepada orang yang tidak hadir” juga sabda beliau, “Semoga Allah Subhanahu
wa Ta'ala melimpahkan nikmat kepada orang yang mendengar kata-kata
dariku, lalu ia menghafalnya, kemudian ia menyampaikannya kepada orang
lain sebagaimana yang ia dengar”
Seyogyanya setiap orang yang menginginkan kehidupan akhirat memahami
hadits-hadits ini, karena didalamnya terkandung banyak hal-hal penting serta
peringatan dalam berbagai macam ibadah. Hal ini akan semakin jelas jika
dibahas lebih lanjut. Hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala saya berharap
dan hanya kepada-Nya pula saya berlindung dan berserah diri. Segala Puji dan
Nikmat adalah kepunyaan Allah Subhanahu wa Ta'ala dan kepada-Nya kami
memohon taufiq dan perlindungan.
Syarhul Arba’iina Haditsan an Nawawiyah 2 of 67
Ibnu Daqiqil ‘Ied
1. IKHLAS
Amirul mukminin, Umar bin khathab radhiyallahu anhu, ia berkata : “Aku mendengar
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda: “Segala amal itu tergantung
niatnya, dan setiap orang hanya mendapatkan sesuai niatnya. Maka barang siapa
yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu kepada Allah dan
Rasul-Nya. Barang siapa yang hijrahnya itu Karena kesenangan dunia atau karena
seorang wanita yang akan dikawininya, maka hijrahnya itu kepada apa yang
ditujunya”.
Diriwayatkan oleh dua orang ahli hadits yaitu Abu Abdullah Muhammad bin Ismail
bin Ibrahim bin Mughirah bin Bardizbah Al Bukhari (orang Bukhara) dan Abul Husain
Muslim bin Al Hajjaj bin Muslim Al Qusyairi An Naisaburi di dalam kedua kitabnya
yang paling shahih di antara semua kitab hadits.
Penjelasan :
Hadits ini adalah Hadits shahih yang telah disepakati keshahihannya, ketinggian
derajatnya dan didalamnya banyak mengandung manfaat. Imam Bukhari telah
meriwayatkannya pada beberapa bab pada kitab shahihnya, juga Imam Muslim telah
meriwayatkan hadits ini pada akhir bab Jihad.
Hadits ini salah satu pokok penting ajaran islam. Imam Ahmad dan Imam Syafi’I
berkata : “Hadits tentang niat ini mencakup sepertiga ilmu.” Begitu pula kata imam
Baihaqi dll. Hal itu karena perbuatan manusia terdiri dari niat didalam hati, ucapan
dan tindakan. Sedangkan niat merupakan salah satu dari tiga bagian itu. Diriwayatkan
dari Imam Syafi’i, “Hadits ini mencakup tujuh puluh bab fiqih”, sejumlah Ulama’
mengatakan hadits ini mencakup sepertiga ajaran islam.
Para ulama gemar memulai karangan-karangannya dengan mengutip hadits ini. Di
antara mereka yang memulai dengan hadits ini pada kitabnya adalah Imam Bukhari.
Abdurrahman bin Mahdi berkata : “bagi setiap penulis buku hendaknya memulai
tulisannya dengan hadits ini, untuk mengingatkan para pembacanya agar meluruskan
niatnya”.
Hadits ini dibanding hadits-hadits yang lain adalah hadits yang sangat terkenal, tetapi
dilihat dari sumber sanadnya, hadits ini adalah hadits ahad, karena hanya diriwayatkan
oleh Umar bin Khaththab dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam. Dari Umar hanya
diriwayatkan oleh ‘Alqamah bin Abi Waqash, kemudian hanya diriwayatkan oleh
Muhammad bin Ibrahim At Taimi, dan selanjutnya hanya diriwayatkan oleh Yahya bin
Sa’id Al Anshari, kemudian barulah menjadi terkenal pada perawi selanjutnya. Lebih
dari 200 orang rawi yang meriwayatkan dari Yahya bin Sa’id dan kebanyakan mereka
adalah para Imam.
Pertama : Kata “Innamaa” bermakna “hanya/pengecualian” , yaitu menetapkan
sesuatu yang disebut dan mengingkari selain yang disebut itu. Kata “hanya” tersebut
terkadang dimaksudkan sebagai pengecualian secara mutlak dan terkadang
dimaksudkan sebagai pengecualian yang terbatas. Untuk membedakan antara dua
pengertian ini dapat diketahui dari susunan kalimatnya.
Misalnya, kalimat pada firman Allah : “Innamaa anta mundzirun” “Engkau
(Muhammad) hanyalah seorang penyampai ancaman”. (QS. Ar-Ra’d : 7)
Syarhul Arba’iina Haditsan an Nawawiyah 3 of 67
Ibnu Daqiqil ‘Ied
Kalimat ini secara sepintas menyatakan bahwa tugas Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam
hanyalah menyampaikan ancaman dari Allah, tidak mempunyai tugas-tugas lain.
Padahal sebenarnya beliau mempunyai banyak sekali tugas, seperti menyampaikan
kabar gembira dan lain sebagainya. Begitu juga kalimat pada firman Allah : “Innamal
hayatud dunyaa la’ibun walahwun” “Kehidupan dunia itu hanyalah kesenangan
dan permainan”. (QS. Muhammad : 36)
Kalimat ini (wallahu a’lam) menunjukkan pembatasan berkenaan dengan akibat atau
dampaknya, apabila dikaitkan dengan hakikat kehidupan dunia, maka kehidupan
dapat menjadi wahana berbuat kebaikan. Dengan demikian apabila disebutkan kata
“hanya” dalam suatu kalimat, hendaklah diperhatikan betul pengertian yang
dimaksudkan.
Pada Hadits ini, kalimat “Segala amal hanya menurut niatnya” yang dimaksud dengan
amal disini adalah semua amal yang dibenarkan syari’at, sehingga setiap amal yang
dibenarkan syari’at tanpa niat maka tidak berarti apa-apa menurut agama islam.
Tentang sabda Rasulullah, “semua amal itu tergantung niatnya” ada perbedaan
pendapat para ulama tentang maksud kalimat tersebut. Sebagian memahami niat
sebagai syarat sehingga amal tidak sah tanpa niat, sebagian yang lain memahami niat
sebagai penyempurna sehingga amal itu akan sempurna apabila ada niat.
Kedua : Kalimat “Dan setiap orang hanya mendapatkan sesuai niatnya” oleh Khathabi
dijelaskan bahwa kalimat ini menunjukkan pengertian yang berbeda dari sebelumnya.
Yaitu menegaskan sah tidaknya amal bergantung pada niatnya. Juga Syaikh Muhyidin
An-Nawawi menerangkan bahwa niat menjadi syarat sahnya amal. Sehingga
seseorang yang meng-qadha sholat tanpa niat maka tidak sah Sholatnya, walahu a’lam
Ketiga : Kalimat “Dan Barang siapa berhijrah kepada Allah dan Rosul-Nya, maka
hijrahnya kepada Allah dan Rosul-Nya” menurut penetapan ahli bahasa Arab, bahwa
kalimat syarat dan jawabnya, begitu pula mubtada’ (subyek) dan khabar (predikatnya)
haruslah berbeda, sedangkan di kalimat ini sama. Karena itu kalimat syarat bermakna
niat atau maksud baik secara bahasa atau syari’at, maksudnya barangsiapa berhijrah
dengan niat karena Allah dan Rosul-Nya maka akan mendapat pahala dari hijrahnya
kepada Allah dan Rosul-Nya.
Hadits ini memang muncul karena adanya seorang lelaki yang ikut hijrah dari Makkah
ke Madinah untuk mengawini perempuan bernama Ummu Qais. Dia berhijrah tidak
untuk mendapatkan pahala hijrah karena itu ia dijuluki Muhajir Ummu Qais. –
wallahu a’lam –
2. IMAN, ISLAM DAN IHSAN
Umar ra. berkata: ketika kami tengah berada di majelis bersama Rasulullah pada suatu
hari, tiba-tiba tampak dihadapan kami seorang laki-laki yang berpakaian sangat putih,
berambut sangat hitam, tidak terlihat padanya tanda-tanda bekas perjalanan jauh dan
tidak seorangpun diantara kami yang mengenalnya. Lalu ia duduk di hadapan
Rasulullah dan menyandarkan lututnya pada lutut Rasulullah dan meletakkan
tangannya diatas paha Rasulullah, selanjutnya ia berkata," Hai Muhammad,
beritahukan kepadaku tentang Islam " Rasulullah menjawab,"Islam itu engkau bersaksi
bahwa sesungguhnya tiada Tuhan selain Alloh dan sesungguhnya Muhammad itu
utusan Alloh, engkau mendirikan sholat, mengeluarkan zakat, berpuasa pada bulan
Syarhul Arba’iina Haditsan an Nawawiyah 4 of 67
Ibnu Daqiqil ‘Ied
Romadhon dan mengerjakan ibadah haji ke Baitullah jika engkau mampu
melakukannya." Orang itu berkata,"Engkau benar," kami pun heran, ia bertanya lalu
membenarkannya Orang itu berkata lagi," Beritahukan kepadaku tentang Iman"
Rasulullah menjawab,"Engkau beriman kepada Alloh, kepada para Malaikat-Nya,
Kitab-kitab-Nya, kepada utusan-utusan Nya, kepada hari Kiamat dan kepada takdir
yang baik maupun yang buruk" Orang tadi berkata," Engkau benar" Orang itu berkata
lagi," Beritahukan kepadaku tentang Ihsan" Rasulullah menjawab,"Engkau beribadah
kepada Alloh seakan-akan engkau melihat-Nya, jika engkau tidak melihatnya,
sesungguhnya Dia pasti melihatmu." Orang itu berkata lagi,"Beritahukan kepadaku
tentang kiamat" Rasulullah menjawab," Orang yang ditanya itu tidak lebih tahu dari
yang bertanya." selanjutnya orang itu berkata lagi,"beritahukan kepadaku tentang
tanda-tandanya" Rasulullah menjawab," Jika hamba perempuan telah melahirkan tuan
puterinya, jika engkau melihat orang-orang yang tidak beralas kaki, tidak berbaju,
miskin dan penggembala kambing, berlomba-lomba mendirikan bangunan." Kemudian
pergilah ia, aku tetap tinggal beberapa lama kemudian Rasulullah berkata kepadaku,
"Wahai Umar, tahukah engkau siapa yang bertanya itu?" Saya menjawab," Alloh dan
Rosul-Nya lebih mengetahui" Rasulullah berkata," Ia adalah Jibril, dia datang untuk
mengajarkan kepadamu tentang agama kepadamu" (Imam Muslim)
Penjelasan :
Hadits ini sangat berharga karena mencakup semua fungsi perbuatan lahiriah dan
bathiniah, serta menjadi tempat merujuk bagi semua ilmu syari’at dan menjadi
sumbernya. Oleh sebab itu hadits ini menjadi induk ilmu sunnah.
Hadits ini menunjukkan adanya contoh berpakaian yang bagus, berperilaku yang baik
dan bersih ketika datang kepada ulama, orang terhormat atau penguasa, karena jibril
datang untuk mengajarkan agama kepada manusia dalam keadaan seperti itu.
Kalimat “ Ia meletakkan kedua telapak tangannya diatas kedua paha beliau, lalu ia
berkata : Wahai Muhammad…..” adalah riwayat yang masyhur. Nasa’i meriwayatkan
dengan kalimat, “Dan ia meletakkan kedua tangannya pada kedua lutut
Rasulullah….” Dengan demikian yang dimaksud kedua pahanya adalah kedua
lututnya.
Dari hadits ini dipahami bahwa islam dan iman adalah dua hal yang berbeda, baik
secara bahasa maupun syari’at. Namun terkadang, dalam pengertian syari’at, kata islam
dipakai dengan makna iman dan sebaliknya.
Kalimat, “Kami heran, dia bertanya tetapi dia sendiri yang membenarkannya” mereka
para shahabat Rasulullah menjadi heran atas kejadian tersebut, karena orang yang
datang kepada Rasulullah hanya dikenal oleh beliau dan orang itu belum pernah
mereka ketahui bertemu dengan Rasulullah dan mendengarkan sabda beliau.
Kemudian ia mengajukan pertanyaan yang ia sendiri sudah tahu jawabannya bahkan
membenarkannya, sehingga orang-orang heran dengan kejadian itu.
Kalimat, “Engkau beriman kepada Allah, kepada para malaikat-Nya, dan kepada
kitab-kitab-Nya….” Iman kepada Allah yaitu mengakui bahwa Allah itu ada dan
mempunyai sifat-sifat Agung serta sempurna, bersih dari sifat kekurangan,. Dia
tunggal, benar, memenuhi segala kebutuhan makhluk-Nya, tidak ada yang setara
dengan Dia, pencipta segala makhluk, bertindak sesuai kehendak-Nya dan melakukan
segala kekuasaan-Nya sesuai keinginan-Nya.
Syarhul Arba’iina Haditsan an Nawawiyah 5 of 67
Ibnu Daqiqil ‘Ied
Iman kepada Malaikat, maksudnya mengakui bahwa para malaikat adalah hamba Allah
yang mulia, tidak mendahului sebelum ada perintah, dan selalu melaksanakan apa
yang diperintahkan-Nya.
Iman kepada Para Rasul Allah, maksudnya mengakui bahwa mereka jujur dalam
menyampaikan segala keterangan yang diterima dari Allah dan mereka diberi mukjizat
yang mengukuhkan kebenarannya, menyampaikan semua ajaran yang diterimanya,
menjelaskan kepada orang-orang mukalaf apa-apa yang Allah perintahkan kepada
mereka. Para Rasul Allah wajib dimuliakan dan tidak boleh dibeda-bedakan.
Iman kepada hari Akhir, maksudnya mengakui adanya kiamat, termasuk hidup setelah
mati, berkumpul dipadang Mahsyar, adanya perhitungan dan timbangan amal,
menempuh jembatan antara surga dan neraka, serta adanya Surga dan Neraka, dan juga
mengakui hal-hal lain yang tersebut dalam Qur’an dan Hadits Rosululloh.
Iman kepada taqdir yaitu mengakui semua yang tersebut diatas, ringkasnya tersebut
dalam firman Allah QS. Ash-Shaffaat : 96, “Allah menciptakan kamu dan semua
perbuatan kamu” dan dalam QS. Al-Qamar : 49, “Sungguh segala sesuatu telah kami
ciptakan dengan ukuran tertentu” dan di ayat-ayat yang lain. Demikian juga dalam
Hadits Rasulullah, Dari Ibnu Abbas, “Ketahuilah, sekiranya semua umat berkumpul
untuk memberikan suatu keuntungan kepadamu, maka hal itu tidak akan kamu
peroleh selain dari apa yang Allah telah tetapkan pada dirimu. Sekiranya merekapun
berkumpul untuk melakukan suatu yang membahayakan dirimu, niscaya tidak akan
membahayakan dirimu kecuali apa yang telah Allah tetapkan untuk dirimu. Segenap
pena diangkat dan lembaran-lembaran telah kering”
Para Ulama mengatakan, Barangsiapa membenarkan segala urusan dengan sungguh-sungguh
lagi penuh keyakinan tidak sedikitpun terbersit keraguan, maka dia adalah mukmin sejati.
Kalimat, “Engkau menyembah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya….” Pada
pokoknya merujuk pada kekhusyu’an dalam beribadah, memperhatikan hak Allah dan
menyadari adanya pengawasan Allah kepadanya serta keagungan dan kebesaran Allah
selama menjalankan ibadah.
Kalimat, “Beritahukan kepadaku tanda-tandanya ? sabda beliau : Budak perempuan
melahirkan anak tuannya” maksudnya kaum muslimin kelak akan menguasai negeri
kafir, sehingga banyak tawanan, maka budak-budak banyak melahirkan anak tuannya
dan anak ini akan menempati posisi majikan karena kedudukan bapaknya. Hal ini
menjadi sebagian tanda-tanda kiamat. Ada juga yang mengatakan bahwa itu
menunjukkan kerusakan umat manusia sehingga orang-orang terhormat menjual budak
yang menjadi ibu dari anak-anaknya, sehingga berpindah-pindah tangan yang mungkin
sekali akan jatuh ke tangan anak kandungnya tanpa disadarinya.
Hadits ini juga menyatakan adanya larangan berlomba-lomba membangun bangunan
yang sama sekali tidak dibutuhkan. Sebagaimana sabda Rasulullah,” Anak adam diberi
pahala untuk setiap belanja yang dikeluarkannya kecuali belanja untuk mendirikan
bangunan”
Kalimat, “Penggembala Domba” secara khusus disebutkan karena merekalah yang
merupakan golongan badui yang paling lemah sehingga umumnya tidak mampu
mendirikan bangunan, berbeda dengan para pemilik onta yang umumnya orang
terhormat.
Kalimat, “Saya tetap tinggal beberapa lama” maksudnya Umar ra tetap tinggal
ditempat itu beberapa lama setelah orang yang bertanya pergi, dalam riwayat yang lain
yang dimaksud tetap tinggal adalah Rosululloh.
Syarhul Arba’iina Haditsan an Nawawiyah 6 of 67
Ibnu Daqiqil ‘Ied
Kalimat, “Ia datang kepada kamu sekalian untuk mengajarkan agamamu”
maksudnya mengajarkan pokok-pokok agamamu, demikian kata Syaikh Muhyidin An
Nawawi dalam syarah shahih muslim. Isi hadits ini yang terpenting adalah penjelasan
islam, iman dan ihsan, serta kewajiban beriman kepada Taqdir Allah SWT.
Sesungguhnya keimanan seseorang dapat bertambah dan berkurang, QS. Al-Fath : 4,
“Untuk menambah keimanan mereka pada keimanan yang sudah ada sebelumnya”.
Imam Bukhari menyebutkan dalam kitab shahihnya bahwa ibnu Abu Mulaikah berkata,
“Aku temukan ada 30 orang shahabat Rasulullah yang khawatir ada sifat kemunafikan dalam
dirinya. Tidak ada seorangpun dari mereka yang berani mengatakan bahwa ia memiliki keimanan
seperti halnya keimanan Jibril dan Mikail ‘alaihimus salaam”
Kata iman mencakup pengertian kata islam dan semua bentuk ketaatan yang tersebut
dalam hadits ini, karena semua hal tersebut merupakan perwujudan dari keyakinan
yang ada dalam bathin yang menjadi tempat keimanan. Oleh karena itu kata Mukmin
secara mutlak tidak dapat diterapkan pada orang-orang yang melakukan dosa-dosa
besar atau meninggalkan kewajiban agama, sebab suatu istilah harus menunjukkan
pengertian yang lengkap dan tidak boleh dikurangi, kecuali dengan maksud tertentu.
Juga dibolehkan menggunakan kata Tidak beriman sebagaimana pengertian hadits
Rasulullah, “Seseorang tidak berzina ketika dia beriman dan tidak mencuri ketika dia
beriman” maksudnya seseorang dikatakan tidak beriman ketika berzina atau ketika dia
mencuri.
Kata islam mencakup makna iman dan makna ketaatan, syaikh Abu ‘Umar berkata,
“kata iman dan islam terkadang pengertiannya sama terkadang berbeda. Setiap mukmin adalah
muslim dan tidak setiap muslim adalah mukmin” ia berkata, “pernyataan seperti ini sesuai
dengan kebenaran” Keterangan-keterangan Al-Qur’an dan Assunnah berkenaan dengan
iman dan islam sering dipahami keliru oleh orang-orang awam. Apa yang telah kami
jelaskan diatas telah sesuai dengan pendirian jumhur ulama ahli hadits dan lain-lain.
Wallahu a’lam
3. RUKUN ISLAM
Abu Abdurrahman, Abdullah bin Umar bin Khathab ra berkata : saya mendengar
Rasulullah bersabda: "Islam didirikan diatas lima perkara yaitu bersaksi bahwa tiada
Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat,
mengeluarkan zakat, mengerjakan haji ke baitullah dan berpuasa pada bulan
ramadhan". (HR. Bukhari dan Muslim)
Penjelasan :
Abul ‘Abbas Al-Qurtubi berkata : “Lima hal tersebut menjadi asas agama Islam dan
landasan tegaknya Islam. Lima hal tersebut diatas disebut secara khusus tanpa
menyebutkan Jihad Padahal Jihad adalah membela agama dan mengalahkan
penentang-penentang yang kafir Karena kelima hal tersebut merupakan kewajiban
yang abadi, sedangkan jihad merupakan salah satu fardhu kifayah, sehingga pada saat
tertentu bisa menjadi tidak wajib.
Syarhul Arba’iina Haditsan an Nawawiyah 7 of 67
Ibnu Daqiqil ‘Ied
Pada beberapa riwayat disebutkan, Haji lebih dahulu dari Puasa Romadhon. Hal ini
adalah keraguan perawi. Wallahu A’lam (Imam Muhyidin An Nawawi dalam
mensyarah hadits ini berkata, “Demikian dalam riwayat ini, Haji disebutkan lebih dahulu
dari puasa. Hal ini sekedar tertib dalam menyebutkan, bukan dalam hal hukumnya, karena puasa
ramadhon diwajibkan sebelum kewajiban haji. Dalam riwayat lain disebutkan puasa disebutkan
lebih dahulu daripada haji”) Oleh karena itu, Ibnu Umar ketika mendengar seseorang
mendahulukan menyebut haji daripada puasa, ia melarangnya lalu ia mendahulukan
menyebut puasa daripada haji. Ia berkata : “Begitulah yang aku dengar dari Rosululloh
”
Pada salah satu riwayat Ibnu ‘Umar disebutkan “Islam didirikan atas pengakuan
bahwa engkau menyembah Allah dan mengingkari sesembahan selain-Nya dan
melaksanakan Sholat….” Pada riwayat lain disebutkan : seorang laki-laki berkata
kepada Ibnu ‘Umar, “Bolehkah kami berperang ?” Ia menjawab : “Aku mendengar
Rosululloh bersabda, “Islam didirikan atas lima hal ….” Hadits ini merupakan dasar
yang sangat utama guna mengetahui agama dan apa yang menjadi landasannya. Hadits
ini telah mencakup apa yang menjadi rukun-rukun agama.
4. NASIB MANUSIA TELAH DITETAPKAN
Abu Abdurrahman Abdullah bin Mas'ud ra. berkata : bahwa Rasulullah telah bersabda,
"Sesungguhnya tiap-tiap kalian dikumpulkan penciptaannya dalam rahim ibunya
selama 40 hari berupa nutfah, kemudian menjadi 'Alaqoh (segumpal darah) selama
itu juga lalu menjadi Mudhghoh (segumpal daging) selama itu juga, kemudian
diutuslah Malaikat untuk meniupkan ruh kepadanya lalu diperintahkan untuk
menuliskan 4 kata : Rizki, Ajal, Amal dan Celaka/bahagianya. maka demi Alloh yang
tiada Tuhan selainnya, ada seseorang diantara kalian yang mengerjakan amalan ahli
surga sehingga tidak ada jarak antara dirinya dan surga kecuali sehasta saja.
kemudian ia didahului oleh ketetapan Alloh lalu ia melakukan perbuatan ahli
neraka dan ia masuk neraka. Ada diantara kalian yang mengerjakan amalan ahli
neraka sehingga tidak ada lagi jarak antara dirinya dan neraka kecuali sehasta saja.
kemudian ia didahului oleh ketetapan Alloh lalu ia melakukan perbuatan ahli surga
dan ia masuk surga. (Muttafaqun Alaihi)
Penjelasan :
Kalimat, “Sesungguhnya tiap-tiap kalian dikumpulkan penciptaannya dalam rahim
ibunya ” maksudnya yaitu Air mani yang memancar kedalam rahim, lalu Allah
pertemukan dalam rahim tersebut selama 40 hari. Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud
bahwa dia menafsirkan kalimat diatas dengan menyatakan, “Nutfah yang memancar
kedalam rahim bila Allah menghendaki untuk dijadikan seorang manusia, maka nutfah tersebut
mengalir pada seluruh pembuluh darah perempuan sampai kepada kuku dan rambut kepalanya,
kemudian tinggal selama 40 hari, lalu berubah menjadi darah yang tinggal didalam rahim. Itulah
yang dimaksud dengan Allah mengumpulkannya” Setelah 40 hari Nutfah menjadi ‘Alaqah
(segumpal darah)
Kalimat, “kemudian diutuslah Malaikat untuk meniupkan ruh kepadanya” yaitu
Malaikat yang mengurus rahim
Syarhul Arba’iina Haditsan an Nawawiyah 8 of 67
Ibnu Daqiqil ‘Ied
Kalimat "Sesungguhnya ada seseorang diantara kamu melakukan amalan ahli
surga....... " secara tersurat menunjukkan bahwa orang tersebut melakukan amalan yang
benar dan amal itu mendekatkan pelakunya ke surga sehingga dia hampir dapat masuk
ke surga kurang satu hasta. Ia ternyata terhalang untuk memasukinya karena taqdir
yang telah ditetapkan bagi dirinya di akhir masa hayatnya dengan melakukan
perbuatan ahli neraka. Dengan demikian, perhitungan semua amal baik itu tergantung
pada apa yang telah dilakukannya. Akan tetapi, bila ternyata pada akhirnya tertutup
dengan amal buruk, maka seperti yang dikatakan pada sebuah hadits: "Segala amal
perbuatan itu perhitungannya tergantung pada amal terakhirnya." Maksudnya,
menurut kami hanya menyangkut orang-orang tertentu dan keadaan tertentu.
Adapun hadits yang disebut oleh Imam Muslim dalam Kitabul Iman dari kitab
shahihnya bahwa Rasulullah berkata: " Seseorang melakukan amalan ahli surga dalam
pandangan manusia, tetapi sebenarnya dia adalah ahli neraka." Menunjukkan bahwa
perbuatan yang dilakukannya semata-mata untuk mendapatkan pujian/popularitas.
Yang perlu diperhatikan adalah niat pelakunya bukan perbuatan lahiriyahnya, orang
yang selamat dari riya' semata-mata karena karunia dan rahmat Allah SWT.
Kalimat " maka demi Allah yang tiada Tuhan selain Dia, sesungguhnya ada seseorang
diantara kamu melakukan amalan ahli surga sehingga tidak ada jarak antara dirinya
dan surga kecuali sehasta saja. kemudian ia didahului oleh ketetapan Alloh lalu ia
melakukan perbuatan ahli neraka dan ia masuk neraka. " Maksudnya bahwa, hal
semacam ini bisa saja terjadi namun sangat jarang dan bukan merupakan hal yang
umum. Karena kemurahan, keluasan dan rahmat Allah kepada manusia. Yang banyak
terjadi manusia yang tidak baik berubah menjadi baik dan jarang orang baik menjadi
tidak baik.
Firman Allah, “Rahmat-Ku mendahului kemurkaan-Ku” menunjukkan adanya
kepastian taqdir sebagaimana pendirian ahlussunnah bahwa segala kejadian
berlangsung dengan ketetapan Allah dan taqdir-Nya, dalam hal keburukan dan
kebaikan juga dalam hal bermanfaat dan berbahaya. Firman Allah, QS. Al-Anbiya’ : 23,
“Dan Dia tidak dimintai tanggung jawab atas segala tindakan-Nya tetapi mereka
akan dimintai tanggung jawab” menyatakan bahwa kekuasaan Allah tidak tertandingi
dan Dia melakukan apa saja yang dikehendaki dengan kekuasaa-Nya itu.
Imam Sam’ani berkata : “Cara untuk dapat memahami pengertian semacam ini adalah dengan
menggabungkan apa yang tersebut dalam Al Qur’an dan Sunnah, bukan semata-mata dengan
qiyas dan akal. Barang siapa yang menyimpang dari cara ini dalam memahami pengertian di
atas, maka dia akan sesat dan berada dalam kebingungan, dia tidak akan memperoleh kepuasan
hati dan ketentraman. Hal ini karena taqdir merupakan salah satu rahasia Allah yang tertutup
untuk diketahui oleh manusia dengan akal ataupun pengetahuannya. Kita wajib mengikuti saja
apa yang telah dijelaskan kepada kita tanpa boleh mempersoalkannya. Allah telah menutup
makhluk dari kemampuan mengetahui taqdir, karena itu para malaikat dan para nabi sekalipun
tidak ada yang mengetahuinya”.
Ada pendapat yang mengatakan : “Rahasia taqdir akan diketahui oleh makhluk ketika
mereka menjadi penghuni surga, tetapi sebelumnya tidak dapat diketahui”.
Beberapa Hadits telah menetapkan larangan kepada seseorang yang tdak mau
melakukan sesuatu amal dengan alasan telah ditetapkan taqdirnya. Bahkan, semua
amal dan perintah yang tersebut dalam syari’at harus dikerjakan. Setiap orang akan
diberi jalan yang mudah menuju kepada taqdir yang telah ditetapkan untuk dirinya.
Syarhul Arba’iina Haditsan an Nawawiyah 9 of 67
Ibnu Daqiqil ‘Ied
Orang yang ditaqdirkan masuk golongan yang beruntung maka ia akan mudah
melakukan perbuatan-perbuatan golongan yang beruntung sebaliknya orang-orang
yang ditaqdirkan masuk golongan yang celaka maka ia akan mudah melakukan
perbuatan-perbuatan golongan celaka sebagaimana tersebut dalam Firman Allah :
“Maka Kami akan mudahkan dia untuk memperoleh keberuntungan”.
(QS. Al Lail :7)
“Kemudian Kami akan mudahkan dia untuk memperoleh kesusahan”.
(QS.Al Lail :10)
Para ulama berkata : “Al Qur’an, lembaran, dan penanya, semuanya wajib diimani begitu saja,
tanpa mempersoalkan corak dan sifat dari benda-benda tersebut, karena hanya Allah yang
mengetahui”.
Allah berfirman : “Manusia tidak sedikit pun mengetahui ilmu Allah, kecuali yang
Allah kehendaki”.(QS. Al Baqarah : 255)
5. PERBUATAN BID’AH TERTOLAK
Ummul mukminin, ummu Abdillah, ‘Aisyah ra. berkata bahwa Rasulullah bersabda:
“Barangsiapa yang mengada-adakan sesuatu dalam urusan agama kami ini yang
bukan dari kami, maka dia tertolak".
(Bukhari dan Muslim Dalam riwayat Muslim : “Barangsiapa melakukan suatu amal
yang tidak sesuai urusan kami, maka dia tertolak”)
Penjelasan:
Kata “Raddun” menurut ahli bahasa maksudnya tertolak atau tidak sah. Kalimat
“bukan dari urusan kami” maksudnya bukan dari hukum kami.
Hadits ini merupakan salah satu pedoman penting dalam agama Islam yang
merupakan kalimat pendek yang penuh arti yang dikaruniakan kepada Rasulullah.
Hadits ini dengan tegas menolak setiap perkara bid’ah dan setiap perkara (dalam
urusan agama) yang direkayasa. Sebagian ahli ushul fiqih menjadikan hadits ini sebagai
dasar kaidah bahwa setiap yang terlarang dinyatakan sebagai hal yang merusak.
Pada riwayat imam muslim diatas disebutkan, “Barangsiapa melakukan suatu amal
yang tidak sesuai urusan kami, maka dia tertolak” dengan jelas menyatakan
keharusan meninggalkan setiap perkara bid’ah, baik ia ciptakan sendiri atau hanya
mengikuti orang sebelumnya. Sebagian orang yang ingkar (ahli bid’ah) menjadikan
hadits ini sebagai alas an bila ia melakukan suatu perbuatan bid’ah, dia mengatakan :
“Bukan saya yang menciptakannya” maka pendapat tersebut terbantah oleh hadits diatas.
Hadits ini patut dihafal, disebarluaskan, dan digunakan sebagai bantahan terhadap kaum
yang ingkar karena isinya mencakup semua hal. Adapun hal-hal yang tidak merupakan
pokok agama sehingga tidak diatur dalam sunnah, maka tidak tercakup dalam larangan
ini, seperti menulis Al-Qur’an dalam Mushaf dan pembukuan pendapat para ahli fiqih
yang bertaraf mujtahid yang menerangkan permasalahan-permasalahan furu’ dari
pokoknya, yaitu sabda Rosululloh . Demikian juga mengarang kitab-kitab nahwu, ilmu
hitung, faraid dan sebagainya yang semuanya bersandar kepada sabda Rasulullah dan
perintahnya. Kesemua usaha ini tidak termasuk dalam ancamanhadits diatas.Wallahu
a’lam
Syarhul Arba’iina Haditsan an Nawawiyah 10 of 67
Ibnu Daqiqil ‘Ied
6. DALIL HALAL DAN HARAM TELAH JELAS
Dari Abu Abdullah An-Nu'man bin Basyir ra berkata,"Aku mendengar Rasulullah
bersabda: “Sesungguhnya yang Halal itu jelas dan yang haram itu jelas, dan diantara
keduanya ada perkara yang samar-samar, kebanyakan manusia tidak mengetahuinya,
maka barangsiapa menjaga dirinya dari yang samar-samar itu, berarti ia telah
menyelamatkan agama dan kehormatannya, dan barangsiapa terjerumus dalam
wilayah samar-samar maka ia telah terjerumus kedalam wilayah yang haram, seperti
penggembala yang menggembala di sekitar daerah terlarang maka hampir-hampir
dia terjerumus kedalamnya. Ingatlah setiap raja memiliki larangan dan ingatlah
bahwa larangan Alloh apa-apa yang diharamkan-Nya. Ingatlah bahwa dalam jasad
ada sekerat daging jika ia baik maka baiklah seluruh jasadnya dan jika ia rusak maka
rusaklah seluruh jasadnya. Ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati”. (HR.
Bukhari dan Muslim)
Penjelasan :
Hadits ini merupakan salah satu pokok syari’at Islam. Abu Dawud As Sijistani berkata,
“Islam bersumber pada empat (4) hadits.” Dia sebutkan diantaranya adalah hadits ini. Para
ulama telah sepakat atas keagungan dan banyaknya manfaat hadits ini.
Kalimat, “Sesungguhnya yang Halal itu jelas dan yang haram itu jelas, dan diantara
keduanya ada perkara yang samar-samar” maksudnya segala sesuatu terbagi kepada
tiga macam hokum. Sesuatu yang ditegaskan halalnya oleh Allah, maka dia adalah
halal, seperti firman Allah (QS. Al-Maa’idah 5 : 5),”Aku Halalkan bagi kamu hal-hal
yang baik dan makanan (sembelihan) ahli kitab halal bagi kamu” dan firman-Nya
dalam (QS. An-Nisaa 4:24), “Dan dihalalkan bagi kamu selain dari yang tersebut itu”
dan lain-lainnya. Adapun yang Allah nyatakan dengan tegas haramnya, maka dia
menjadi haram, seperti firman Allah dalam (QS. An-Nisaa’ 4:23), “Diharamkan bagi
kamu (menikahi) ibu-ibu kamu, anak-anak perempuan kamu …..” dan firman Allah
(QS. Al-Maa’idah 5:96), “Diharamkan bagi kamu memburu hewan didarat selama
kamu ihram”. Juga diharamkan perbuatan keji yang terang-terangan maupun yang
tersembunyi. Setiap perbuatan yang Allah mengancamnya dengan hukuman
tertentuatau siksaan atau ancaman keras, maka perbuatan itu haram.
Adapun yang syubhat (samar) yaitu setiap hal yang dalilnya masih dalam pembicaraan
atau pertentangan, maka menjauhi perbuatan semacam itu termasuk wara’. Para Ulama
berbeda pendapat mengenai pengertian syubhat yang diisyaratkan oleh Rasulullah .
Pada hadits tersebut, sebagian Ulama berpendapat bahwa hal semacam itu haram
hukumnya berdasarkan sabda Rasulullah, “barangsiapa menjaga dirinya dari yang
samar-samar itu, berarti ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya”.
Barangsiapa tidak menyelamatkan agama dan kehormatannya, berarti dia telah
terjerumus kedalam perbuatan haram. Sebagian yang lain berpendapat bahwa hal yang
syubhat itu hukumnya halal dengan alas an sabda Rasulullah, “seperti penggembala
yang menggembala di sekitar daerah terlarang” kalimat ini menunjukkan bahwa
syubhat itu halal, tetapi meninggalkan yang syubhat adalah sifat yang wara’. Sebagian
lain lagi berkata bahwa syubhat yang tersebut pada hadits ini tidak dapat dikatakan
halal atau haram, karena Rasulullah menempatkannya diantara halal dan haram, oleh
karena itu kita memilih diam saja, dan hal itu termasuk sifat wara’ juga.
Syarhul Arba’iina Haditsan an Nawawiyah 11 of 67
Ibnu Daqiqil ‘Ied
Dalam shahih Bukhari dan Muslim disebutkan sebuah hadits dari ‘Aisyah, ia berkata :
“Sa’ad bin Abu Waqash dan ‘Abd bin Zam’ah mengadu kepada Rasulullah tentang
seorang anak laki-laki. Sa’ad berkata : Wahai Rasulullah anak laki-laki ini adalah anak
saudara laki-lakiku.’Utbah bin Abu Waqash. Ia (‘Utbah) mengaku bahwa anak laki-laki itu
adalah anaknya. Lihatlah kemiripannya” sedangkan ‘Abd bin Zam’ah berkata; “ Wahai
Rasulullah, Ia adalah saudara laki-lakiku, Ia dilahirkan ditempat tidur ayahku oleh budak
perempuan milik ayahku”, lalu Rasulullah memperhatikan wajah anak itu (dan melihat
kemiripannya dengan ‘Utbah) maka beliau Rasulullah bersabda : “Anak laki-laki ini
untukmu wahai ‘Abd bin Zam’ah, anak itu milik laki-laki yang menjadi suami
perempuan yang melahirkannya dan bagi orang yang berzina hukumannya rajam.
Dan wahai Saudah, berhijablah kamu dari anak laki-laki ini” sejak saat itu Saudah
tidak pernah melihat anak laki-laki itu untuk seterusnya.
Rasulullah telah menetapkan bahwa anak itu menjadi hak suami dari perempuan yang
melahirkannya, secara formal anak laki-laki itu menjadi anak Zam’ah. ‘Abd bin Zam’ah
adalah saudara laki-laki Saudah, istri Rasulullah , karena Saudah putrid Zam’ah.
Ketetapan semacam ini berdasarkan suatu dugaan yang kuat bukan suatu kepastian.
Kemudian Rasulullah menyuruh Saudah untuk berhijab dari anak laki-laki itu karena
adanya syubhat dalam masalah itu. Jadi tindakan ini bersifat kehati-hatian. Hal itu
termasuk perbuatan takut kepada Allah SWT, sebab jika memang pasti dalam
pandangan Rasulullah anak laki-laki itu adalah anak Zam’ah, tentulah Rasulullah tidak
menyuruh Saudah berhijab dari saudara laki-lakinya yang lain, yaitu ‘Abd bin Zam’ah
dan saudaranya yang lain.
Pada Hadits ‘Adi bin Hatim, ia berkata : “Wahai Rasulullah, saya melepas anjing saya
dengan ucapan Bismillah untuk berburu, kemudian saya dapati ada anjing lain yang
melakukan perburuan” Rasulullah bersabda, “Janganlah kamu makan (hewan buruan
yang kamu dapat) karena yang kamu sebutkan Bismillah hanyalah anjingmu saja,
sedang anjing yang lain tidak”. Rasulullah memberi fatwa semacam ini dalam masalah
syubhat karena beliau khawatir bila anjing yang menerkam hewan buruan tersebut
adalah anjing yang dilepas tanpa menyebut Bismillah. Jadi seolah-olah hewan itu
disembelih dengan cara diluar aturan Allah. Allah berfirman, “Sesungguhnya hal itu
adalah perbuatan fasiq” (QS. Al-An’am 6:121)
Dalam fatwa ini Rasulullah menunjukkan sifat kehati-hatian terhadap hal-hal yang
masih samar tentang halal atau haramnya, karena sebab-sebab yang masih belum jelas.
Inilah yang dimaksud dengan sabda Rasulullah , “Tinggalkanlah sesuatu yang
meragukan kamu untuk berpegang pada sesuatu yang tidak meragukan kamu”
Sebagian Ulama berpendapat, syubhat itu ada tiga macam :
1. Sesuatu yang sudah diketahui haramnya oleh manusia tetapi orang itu ragu
apakah masih haram hukumnya atau tidak. misalnya makan daging hewan yang
tidak pasti cara penyembelihannya, maka daging semacam ini haram hukumnya
kecuali terbukti dengan yakin telah disembelih (sesuai aturan Allah). Dasar dari sikap
ini adalah hadits ‘Adi bin Hatim seperti tersebut diatas.
2. Sesuatu yang halal tetapi masih diragukan kehalalannya, seperti seorang laki-
laki yang punya istri namun ia ragu-ragu, apakah dia telah menjatuhkan thalaq kepada
istrinya atau belum, ataukah istrinya seorang perempuan budak atau sudah
dimerdekakan. Hal seperti ini hukumnya mubah hingga diketahui kepastian haramnya,
dasarnya adalah hadits ‘Abdullah bin Zaid yang ragu-ragu tentang hadats, padahal
sebelumnya ia yakin telah bersuci.
3. Seseorang ragu-ragu tentang sesuatu dan tidak tahu apakah hal itu haram atau
halal, dan kedua kemungkinan ini bisa terjadi sedangkan tidak ada petunjuk yang
Syarhul Arba’iina Haditsan an Nawawiyah 12 of 67
Ibnu Daqiqil ‘Ied
menguatkan salah satunya. Hal semacam ini sebaiknya dihindari, sebagaimana
Rasulullah pernah melakukannya pada kasus sebuah kurma yang jatuh yang beliau
temukan dirumahnya, lalu Rasulullah bersabda : “Kalau saya tidak takut kurma ini
dari barang zakat, tentulah saya telah memakannya”
Adapun orang yang mengambil sikap hati-hati yang berlebihan, seperti tidak
menggunakan air bekas yang masih suci karena khawatir terkena najis, atau tidak mau
sholat disuatu tempat yang bersih karena khawatir ada bekas air kencing yang sudah
kering, mencuci pakaian karena khawatir pakaiannya terkena najis yang tidak
diketahuinya dan sebagainya, sikap semacam ini tidak perlu diikuti, sebab kehati-hatian
yang berlebihan tanda adanya halusinasi dan bisikan setan, karena dalam masalah
tersebut tidak ada masalah syubhat sedikitpun. Wallahu a’lam.
Kalimat, “kebanyakan manusia tidak mengetahuinya” maksudnya tidak mengetahui
tentang halal dan haramnya, atau orang yang mengetahui hal syubhat tersebut didalam
dirinya masih tetap menghadapi keraguan antara dua hal tersebut, jika ia mengetahui
sebenarnya atau kepastiannya, maka keraguannya menjadi hilang sehingga hukumnya
pasti halal atau haram. Hal ini menunjukkan bahwa masalah syubhat mempunyai
hokum tersendiri yang diterangkan oleh syari’at sehingga sebagian orang ada yang
berhasil mengetahui hukumnya dengan benar.
Kailmat, “maka barangsiapa menjaga dirinya dari yang samar-samar itu, berarti ia
telah menyelamatkan agama dan kehormatannya” maksudnya menjaga dari perkara
yang syubhat.
Kalimat, “barangsiapa terjerumus dalam wilayah samar-samar maka ia telah
terjerumus kedalam wilayah yang haram” hal ini dapat terjadi dalam dua hal :
1. Orang yang tidak bertaqwa kepada Allah dan tidak memperdulikan perkara
syubhat maka hal semacam itu akan menjerumuskannya kedalam perkara haram, atau
karena sikap sembrononya membuat dia berani melakukan hal yang haram, seperti kata
sebagian orang : “Dosa-dosa kecil dapat mendorong perbuatan dosa besar dan dosa besar
mendorong pada kekafiran”
2. Orang yang sering melakukan perkara syubhat berarti telah menzhalimi
hatinya, karena hilangnya cahaya ilmu dan sifat wara’ kedalam hatinya, sehingga tanpa
disadari dia telah terjerumus kedalam perkara haram. Terkadang hal seperti itu
menjadikan perbuatan dosa jika menyebabkan pelanggaran syari’at.
Rasulullah bersabda : “seperti penggembala yang menggembala di sekitar daerah
terlarang maka hampir-hampir dia terjerumus kedalamnya” ini adalah kalimat
perumpamaan bagi orang-orang yang melanggar larangan-larangan Allah. Dahulu
orang arab biasa membuat pagar agar hewan peliharaannya tidak masuk ke daerah
terlarang dan membuat ancaman kepada siapapun yang mendekati daerah terlarang
tersebut. Orang yang takut mendapatkan hukuman dari penguasa akan menjauhkan
gembalaannya dari daerah tersebut, karena kalau mendekati wilayah itu biasanya
terjerumus. Dan terkadang penggembala hanya seorang diri hingga tidak mampu
mengawasi seluruh binatang gembalaannya. Untuk kehati-hatian maka ia membuat
pagar agar gembalaannya tidak mendekati wilayah terlarang sehingga terhindar dari
hukuman. Begitu juga dengan larangan Allah seperti membunuh, mencuri, riba, minum
khamr, qadzaf, menggunjing, mengadu domba dan sebagainya adalah hal-hal yang
tidak patut didekati karena khawatir terjerumus dalam perbuatan itu.
Kalimat, “Ingatlah bahwa dalam jasad ada sekerat daging jika ia baik maka baiklah
seluruh jasadnya” yang dimaksud adalah hati, betapa pentingnya daging ini walaupun
Syarhul Arba’iina Haditsan an Nawawiyah 13 of 67
Ibnu Daqiqil ‘Ied
bentuknya kecil, daging ini disebut Al-Qalb (hati) yang merupakan anggota tubuh yang
paling terhormat, karena ditempat inilah terjadi perubahan gagasan, sebagian penyair
bersenandung, “Tidak dinamakan hati kecuali karena menjadi tempat terjadinya perubahan
gagasan, karena itu waspadalah terhadap hati dari perubahannya”
Allah menyebutkan bahwa manusia dan hewan memiliki hati yang menjadi pengatur
kebaikan-kebaikan yang diinginkan. Hewan dan manusia dalam segala jenisnya
mampu melihat yang baik dan buruk, kemudian Allah mengistimewakan manusia
dengan karunia akal disamping dikaruniai hati sehingga berbeda dari hewan. Allah
berfirman, “Tidakkah mereka mau berkelana dimuka bumi karena mereka
mempunyai hati untuk berpikir, atau telinga untuk mendengar…” (QS. Al-Hajj 22:46).
Allah telah melengkapi dengan anggota tubuh lainnya yang dijadikan tunduk dan
patuh kepada akal. Apa yang sudah dipertimbangkan akal, anggota tubuh tinggal
melaksanakan keputusan akal itu, jika akalnya baik maka perbuatannya baik, jika
akalnya jelek, perbuatannya juga jelek.
Bila kita telah memahami hal diatas, maka kita bisa menangkap dengan jelas sabda
Rasulullah , “Ingatlah bahwa dalam jasad ada sekerat daging jika ia baik maka
baiklah seluruh jasadnya dan jika ia rusak maka rusaklah seluruh jasadnya.
Ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati”.
Kita memohon kepada Allah semoga Dia menjadikan hati kita yang jelek menjadi baik,
wahai Tuhan pemutar balik hati, teguhkanlah hati kami pada agama-Mu, wahai Tuhan
pengendali hati, arahkanlah hati kami untuk taat kepada-Mu.
0 komentar:
Posting Komentar