7. AGAMA ADALAH NASEHAT
Dari Abu Ruqayyah Tamiim bin Aus Ad Daari ra., “Sesungguhnya Rasulullah telah
bersabda : Agama itu adalah Nasehat , Kami bertanya : Untuk Siapa ?, Beliau
bersabda : Untuk Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya, para pemimpin umat Islam, dan bagi
seluruh kaum muslim” (HR. Muslim)
Penjelasan :
Tamim Ad Daari hanya meriwayatkan hadits ini, kata nasihat merupakan sebuah kata
singkat penuh isi, maksudnya ialah segala hal yang baik. Dalam bahasa arab tidak ada
kata lain yang pengertiannya setara dengan kata nasihat, sebagaimana disebutkan oleh
para ulama bahasa arab tentang kata Al Fallaah yang tidak memiliki padanan setara,
yang mencakup makna kebaikan dunia dan akhirat.
Kalimat, “Agama adalah Nasihat” maksudnya adalah sebagai tiang dan penopang
agama, sebagaimana sabda Rasulullah, “Haji adalah arafah”, maksudnya wukuf di
arafah adalah tiang dan bagian terpenting haji.
Tentang penafsiran kata nasihat dan berbagai cabangnya, Khathabi dan ulama-ulama
lain mengatakan :
1. Nasihat untuk Allah maksudnya beriman semata-mata kepada-Nya,
menjauhkan diri dari syirik dan sikap ingkar terhadap sifat-sifat-Nya, memberikan
kepada Allah sifat-sifat sempurna dan segala keagungan, mensucikan-Nya dari segala
sifat kekurangan, menaati-Nya, menjauhkan diri dari perbuatan dosa, mencintai dan
membenci sesuatu semata karena-Nya, berjihad menghadapi orang-orang kafir,
mengakui dan bersyukur atas segala nikmat-Nya, berlaku ikhlas dalam segala urusan,
mengajak melakukan segala kebaikan, menganjurkan orang berbuat kebaikan, bersikap
lemah lembut kepada sesama manusia. Khathabi berkata : “Secara prinsip, sifat-sifat baik
Syarhul Arba’iina Haditsan an Nawawiyah 14 of 67
Ibnu Daqiqil ‘Ied
tersebut, kebaikannya kembali kepada pelakunya sendiri, karena Allah tidak memerlukan
kebaikan dari siapapun”
2. Nasihat untuk kitab-Nya maksudnya beriman kepada firman-firman Allah
dan diturunkan-Nya firman-firman itu kepada Rasul-Nya, mengakui bahwa itu semua
tidak sama dengan perkataan manusia dan tidak pula dapat dibandingkan dengan
perkataan siapapun, kemudian menghormati firman Allah, membacanya dengan
sungguh-sungguh, melafazhkan dengan baik dengan sikap rendah hati dalam
membacanya, menjaganya dari takwilan orang-orang yang menyimpang, membenarkan
segala isinya, mengikuti hokum-hukumnya, memahami berbagai macam ilmunya dan
kalimat-kalimat perumpamaannya, mengambilnya sebagai pelajaran, merenungkan
segala keajaibannya, mengamalkan dan menerima apa adanya tentang ayat-ayat
mutasyabih, mengkaji ayat-ayat yang bersifat umum, dan mengajak manusia pada hal-
hal sebagaimana tersebut diatas dan menimani Kitabullah
3. Nasihat untuk Rasul-Nya maksudnya membenarkan ajaran-ajarannya,
mengimani semua yang dibawanya, menaati perintah dan larangannya, membelanya
semasa hidup maupun setelah wafat, melawan para musuhnya, membela para
pengikutnya, menghormati hak-haknya, memuliakannya, menghidupkan sunnahnya,
mengikuti seruannya, menyebarluaskan tuntunannya, tidak menuduhnya melakukan
hal yang tidak baik, menyebarluaskan ilmunya dan memahami segala arti dari ilmu-
ilmunya dan mengajak manusia pada ajarannya, berlaku santun dalam
mengajarkannya, mengagungkannya dan berlaku baik ketika membaca sunnah-
sunnahnya, tidak membicarakan sesuatu yang tidak diketahui sunnahnya, memuliakan
para pengikut sunnahnya, meniru akhlak dan kesopanannya, mencintai keluarganya,
para sahabatnya, meninggalkan orang yang melakukan perkara bid’ah dan orang yang
tidak mengakui salah satu sahabatnya dan lain sebagainya.
4. Nasihat untuk para pemimpin umat islam maksudnya menolong mereka
dalam kebenaran, menaati perintah mereka dan memperingatkan kesalahan mereka
dengan lemah lembut, memberitahu mereka jika mereka lupa, memberitahu mereka
apa yang menjadi hak kaum muslim, tidak melawan mereka dengan senjata,
mempersatukan hati umat untuk taat kepada mereka (tidak untuk maksiat kepada
Allah dan Rasul-Nya), dan makmum shalat dibelakang mereka, berjihad bersama
mereka dan mendo’akan mereka agar mereka mendapatkan kebaikan.
5. Nasihat untuk seluruh kaum muslim maksudnya memberikan bimbingan
kepada mereka apa yang dapat memberikan kebaikan bagi merela dalam urusan dunia
dan akhirat, memberikan bantuan kepada mereka, menutup aib dan cacat mereka,
menghindarkan diri dari hal-hal yang membahayakan dan mengusahakan kebaikan
bagi mereka, menyuruh mereka berbuat ma’ruf dan mencegah mereka berbuat
kemungkaran dengan sikap santun, ikhlas dan kasih sayang kepada mereka,
memuliakan yang tua dan menyayangi yang muda, memberikan nasihat yang baik
kepada mereka, menjauhi kebencian dan kedengkian, mencintai sesuatu yang menjadi
hak mereka seperti mencintai sesuatu yang menjadi hak miliknya sendiri, tidak
menyukai sesuatu yang tidak mereka sukai sebagaimana dia sendiri tidak
menyukainya, melindungi harta dan kehormatan mereka dan sebagainya baik dengan
ucapan maupun perbuatan serta menganjurkan kepada mereka menerapkan perilaku-
perilaku tersebut diatas. Wallahu a’lam
Memberi nasihat merupakan fardu kifayah, jika telah ada yang melaksanakannya, maka
yang lain terlepas dari kewajiban ini. Hal ini merupakan keharusan yang dikerjakan
sesuai kemampuan. Nasihat dalam bahasa arab artinya membersihkan atau
memurnikan seperti pada kalimat nashahtul ‘asala artinya saya membersihkan madu
Syarhul Arba’iina Haditsan an Nawawiyah 15 of 67
Ibnu Daqiqil ‘Ied
hingga tersisa yang murni, namun ada juga yang mengatakan kata nasihat memiliki
makna lain. Wallahu a’lam
8. PERINTAH MEMERANGI MANUSIA YANG TIDAK MELAKSANAKAN
SHALAT DAN MENGELUARKAN ZAKAT
Dari Ibnu ‘Umar ra, sesungguhnya Rasulullah telah bersabda : “Aku diperintah untuk
memerangi manusia sampai ia mengucapkan laa ilaaha illallaah, menegakkan shalat
dan mengeluarkan zakat. Barangsiapa telah mengucapkannya, maka ia telah
memelihara harta dan jiwanya dari aku kecuali karena alasan yang hak dan kelak
perhitungannya terserah kepada Allah ta’ala”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Penjelasan :
Hadits ini amat berharga dan termasuk salah satu prinsip Islam. Hadits yang semakna
juga diriwayatkan oleh Anas, Rasulullah bersabda : “Sampai mereka bersaksi bahwa
tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya,
menghadap kepada kiblat kita, memakan sembelihan kita dan melaksanakan shalat
kita. Jika mereka melakukan hal itu, maka darah mereka dan harta mereka haram
kita sentuh kecuali karena hak. Bagi mereka hak sebagaimana yang diperoleh kaum
muslim dam mereka memikul kewajiban sebagaimana yang menjadi kewajiban
kaum muslimin”.
Dalam Shahih Muslim dari Abu Hurairah disebutkan sabda beliau : “Sampai mereka
bersaksi tidak ada Tuhan kecuali Allah dan beriman kepadaku dan apa yang aku
bawa“.
Hal ini sesuai dengan kandungan Hadits riwayat dari ‘Umar diatas.
Tentang maksud hadits ini para ulama mengartikannya berdasarkan sejarah, yaitu
tatkala Rasulullah wafat dan Abu Bakar Ash Shiddiq diangkat sebagai khalifah untuk
menggantikannya, sebagian dari orang Arab menjadi kafir. Abu Bakar bertekad untuk
memerangi mereka sekalipun di antara mereka ada yang tidak kafir tetapi menolak
membayar zakat. Abu Bakar lalu mengemukakan alasan perbuatannya itu, tetapi ‘Umar
berkata kepadanya : “Bagaimana engkau akan memerangi manusia sedangkan mereka
mengucapakan laa ilaaha illallaah dan Rasulullah bersabda : “Aku diperintah untuk
memerangi manusia sampai ia mengucapkan laa ilaaha illallaah ... dan kelak
perhitungannya terserah kepada Allah Ta’ala”. Abu Bakar lalu menjawab :
“Sesungguhnya zakat itu adalah kewajiban yang bersifat kebendaan”. Lalu katanya :
“Demi Allah, kalau mereka merintangiku untuk mengambil seutas tali unta yang
mereka dahulu serahkan sebagai zakat kepada Rasulullah niscaya aku perangi mereka
karena penolakannya itu”.Maka kemudian Umar mengikuti jejak Abu Bakar untuk
memerangi kaum tersebut.
Kalimat "Aku diperintah untuk memerangi manusia sampai ia mengucapkan laa
ilaaha illallaah, dan barangsiapa telah mengucapkannya, maka ia telah memelihara
harta dan jiwanya dari aku kecuali karena alasan yang hak dan kelak perhitungannya
terserah kepada Allah”. Khatabi dan lain-lain bekata : “Yang dimaksud oleh Hadits ini
ialah kaum penyembah berhala dan kaum Musyrik Arab serta orang yang tidak
beriman, bukan golongan Ahli kitab dan mereka yang mengakui keesaan Allah”. Untuk
Syarhul Arba’iina Haditsan an Nawawiyah 16 of 67
Ibnu Daqiqil ‘Ied
terpeliharanya orang-orang semacam itu tidak cukup dengan mengucapkan laa ilaaha
illallaah saja, karena sebelumnya mereka sudah mengatakan kalimat tersebut semasa
masih sebagai orang kafir dan hal itu sudah menjadi keimanannya. Tersebut juga
didalam hadits lain kalimat “dan sesungguhnya aku adalah rasul Allah, mereka
melaksanakan shalat, dan mengeluarkan zakat”.
Syaikh Muhyidin An Nawawi berkata : “Di samping mengucapkan hal semacam ini ia
juga harus mengimani semua ajaran yang dibawa Rasulullah seperti tersebut pada
riwayat lain dari Abu Hurairah, yaitu kalimat, “sampai mereka bersaksi tidak ada
Tuhan kecuali Allah, beriman kepadaku dan apasaja yang aku bawa”
Kalimat, “Dan perhitungannya terserah kepada Allah” maksudnya ialah tentang hal-
hal yang mereka rahasiakan atau mereka sembunyikan, bukan meninggalkan
perbuatan-perbuatan lahiriah yang wajib. Demikian disebutkan oleh khathabi. Khathabi
berkata : Orang yang secara lahiriah menyatakan keislamannya, sedang hatinya menyimpan
kekafiran, secara formal keislamannya diterima” ini adalah pendapat sebagian besar ulama.
Imam Malik berkata : “Tobat orang yang secara lahiriah menyatakan keislaman tetapi
menyimpan kekafiran dalam hatinya (zindiq) tidak diterima” ini juga merupakan pendapat
yang diriwayatkan dari Imam Ahmad.
Kalimat, “aku diperintah memerangi manusia sampai mereka bersaksi tidak ada
tuhan kecuali Allah dan mereka beriman kepadaku dan apa yang aku bawa” menjadi
alasan yang tegas dari mazhab salaf bahwa manusia apabila meyakini islam dengan
sungguh-sungguh tanpa sedikitpun keraguan, maka hal itu sudah cukup bagi dirinya.
Dia tidak perlu mempelajari berbagai dalil ahli ilmu kalam dan mengenal Allah dengan
dalil-dalil semacam itu. Hal ini berbeda dengan mereka yang berpendapat bahwa orang
tersebut wajib mempelajari dalil-dalil semacam itu dan dijadikannya sebagai syarat
masuk Islam. Pendapat ini jelas sekali kesalahannya, sebab yang dimaksud oleh hadits
diatas, adanya keyakinan yang sungguh-sungguh dalam diri seseorang. Hal ini sudah
dapat terpenuhi tanpa harus mempelajari dalil-dalil semacam itu, sebab Rasulullah
mencukupkan dengan mempercayai ajaran apa saja yang beliau bawa tanpa
mensyaratkan mengetahui dalil-dalilnya. Didalam hal ini terdapat beberapa hadits
shahih yang jumlah sanadnya mencapai derajat mutawatir dan bernilai pengetahuan
yang pasti. Wallahu a’lam
9. MELAKSANAKAN PERINTAH SESUAI KEMAMPUAN
Dari Abu Hurairah, ‘Abdurrahman bin Shakhr ra, ia berkata : Aku mendengar
Rasulullah bersabda : “Apa saja yang aku larang kamu melaksanakannya,
hendaklah kamu jauhi dan apa saja yang aku perintahkan kepadamu, maka
lakukanlah menurut kemampuan kamu. Sesungguhnya kehancuran umat-umat
sebelum kamu adalah karena banyak bertanya dan menyalahi nabi-nabi mereka
(tidak mau taat dan patuh)” (HR. Bukhari & Muslim)
Penjelasan :
Hadits ini terdapat dalam kitab Muslim dari Abu Hurairah, ia berkata : “Rasulullah
berkhutbah dihadapan kami, sabda beliau : Wahai manusia, Allah telah mewajibkan
kepada kamu haji, karena itu berhajilah, lalu seseorang bertanya : Wahai Rasulullah…
apakah setiap tahun ?, Rasulullah diam, sampai orang itu bertanya tiga kali, lalu
Rasulullah bersabda : Kalau aku katakana “ya” niscaya menjadi wajib dan kamu
Syarhul Arba’iina Haditsan an Nawawiyah 17 of 67
Ibnu Daqiqil ‘Ied
tidak akan sanggup melakukannya, kemudian beliau bersabda lagi :Biarkanlah aku
dengan apa yang aku diamkan, karena kehancuran umat-umat sebelum kamu adalah
karena banyak bertanya dan menyalahi nabi-nabi mereka. Maka jika aku
perintahkan melakukan sesuatu, kerjakanlah menurut kemampuan kamu, tetapi jika
aku melarang kamu melakukan sesuatu, maka tinggalkanlah. Laki-laki yang bertanya
kepada Rasulullah adalah Aqra’ bin Habits, demikianlah menurut suatu riwayat.
Para ahli ushul fiqh mempersoalkan perintah dalam agama, apakah perintah itu harus
dilakukan berulang-ulang ataukah tidak. Sebagian besar ahli fiqh dan ahli ilmu kalam
menyatakan tidak wajib berulang-ulang. Akan tetapi yang lain tidak menyatakan setuju
atau menolak, tetapi menunggu penjelasan selanjutnya. Hadits ini dijadikan dalil bagi
mereka yang bersikap menanti (netral), karena sahabat tersebut bertanya “Apakah
setiap tahun?” sekiranya perintah itu dengan sendirinya mengharuskan pelaksanaan
berulang-ulang atau tidak, tentu Rasulullah tidak menjawab dengan kata-kata “Kalau
aku katakan “ya”, niscaya menjadi wajib dan kamu tidak akan sanggup
melakukannya” Bahkan tidak ada gunanya hal tersebut ditanyakan. Akan tetapi secara
umum perintah itu mengandung pengertian tidak perlu dilaksanakan berulang-ulang.
Kaum muslim sepakat bahwa menurut agama, bahwa haji itu hanya wajib dilakukan
satu kali seumur hidup.
Kalimat, “Biarkanlah aku dengan apa yang aku diamkan” secara formal menunjukkan
bahwa setiap perintah agama tidaklah wajib dilaksanakan berulang-ulang, kalimat ini
juga menunjukkan bahwa pada asalnya tidak ada kewajiban melaksanakan ibadah
sampai datang keterangan agama. Hal ini merupakan prinsip yang benar dalam
pandangan sebagian besar ahli fiqh.
Kalimat, “Kalau aku katakan “ya” tentu menjadi wajib” menjadi alasan bagi
pemahaman para salafush sholih bahwa Rasulullah mempunyai wewenang berijtihad
dalam masalah hukum dan tidak diisyaratkan keputusan hukum itu harus dengan
wahyu.
Kalimat, “apa saja yang aku perintahkan kepadamu, maka lakukanlah menurut
kemampuan kamu” merupakan kalimat yang singkat namun padat dan menjadi salah
satu prinsip penting dalam Islam, termasuk dalam prinsip ini adalah masalah-masalah
hukum yang tidak terhitung banyaknya, diantaranya adalah sholat, contohnya pada
ibadah sholat, bila seseorang tidak mampu melaksanakan sebagian dari rukun atau
sebagian dari syaratnya, maka hendaklah ia lakukan apa yang dia mampu. Begitu pula
dalam membayar zakat fitrah untuk orang-orang yang menjadi tanggungannya, bila
tidak bisa membayar semuanya, maka hendaklah ia keluarkan semampunya, juga
dalam memberantas kemungkaran, jika tidak dapat memberantas semuanya, maka
hendaklah ia lakukan semampunya dan masalah-masalah lain yang tidak terbatas
banyaknya. Pembahasan semacam ini telah populer didalam kitab-kitab fiqh. Hadits
diatas sejalan dengan firman Allah, QS. At-Taghabun 64:16, “Maka bertaqwalah
kepada Allah menurut kemampuan kamu” Adapun firman Allah, QS. Ali ‘Imraan
3:102, “Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dengan taqwa
yang sungguh-sungguh” ada yang berpendapat telah terhapus oleh ayat diatas.
Sebagian ulama berkata : Yang benar ayat tersebut tidak terhapus bahkan menjelaskan dan
menafsirkan apa yang dimaksud dengan taqwa yang sungguh-sungguh, yaitu melaksanakan
perintah Allah dan menjauhi larangan Allah, dan Allah memerintahkan melakukan sesuatu
menurut kemampuan, karena Allah berfirman, QS. Al-Baqarah 2:286, “Allah tidak
membebani seseorang diluar kemampuannya” dan firman Allah dalam QS. Al-Hajj
Syarhul Arba’iina Haditsan an Nawawiyah 18 of 67
Ibnu Daqiqil ‘Ied
22:78, “Allah tidak membebankan kesulitan kepada kamu dalam menjalankan
agama”
Kalimat, “apasaja yang aku larang kamu melaksanakannya, hendaklah kamu jauhi”
maka hal ini menunjukkan adanya sifat mutlak, kecuali apabila seseorang mengalami
rintangan /udzur dibolehkan melanggarnya, seperti dibolehkan makan bangkai dalam
keadaan darurat, dalam keadaan seperti ini perbuatan semacam itu menjadi tidak
dilarang. Akan tetapi dalam keadaan tidak darurat hal tersebut harus dijauhi karena
ada larangan. Seseorang tidak dapat dikatakan menjauhi larangan jika hanya menjauhi
larangan tersebut dalam selang waktu tertentu saja, berbeda dengan hal melaksanakan
perintah, yang mana sekali saja dilaksanakan sudah terpenuhi. Inilah prinsip yang
berlaku dalam memahami perintah secara umum, apakah suatu perintah harus segera
dilakukan atau boleh ditunda, atau cukup sekali atau berulang kali, maka hadits ini
mengandung berbagai macam pembahasan fiqh.
Kalimat, “Sesungguhnya kehancuran umat-umat sebelum kamu adalah karena
banyak bertanya dan menyalahi nabi-nabi mereka” disebutkan setelah kalimat,
“biarkanlah aku dengan apa yang aku diamkan kepada kamu” maksudnya ialah
kamu jangan banyak bertanya sehingga menimbulkan jawaban yang bermacam-macam,
menyerupai peristiwa yang terjadi pada bani Israil, tatkala mereka diperintahkan
menyembelih seekor sapi yang seandainya mereka mengikuti perintah itu dan segera
menyembelih sapi seadanya, niscaya mereka dikatakan telah menaatinya.
Akan tetapi, karena mereka banyak bertanya dan mempersulit diri sendiri, maka
mereka akhirnya dipersulit dan dicela. Rasulullah SAW khawatir hal semacam ini
terjadi pada umatnya.
10. MAKANLAH DARI REZEKI YANG HALAL
Dari Abu Hurairah ra, ia berkata : “Telah bersabda Rasululloh : “ Sesungguhnya Allah
itu baik, tidak menerima sesuatu kecuali yang baik. Dan sesungguhnya Allah telah
memerintahkan kepada orang-orang mukmin (seperti) apa yang telah diperintahkan
kepada para rasul, maka Allah telah berfirman: Wahai para Rasul, makanlah dari
segala sesuatu yang baik dan kerjakanlah amal shalih. Dan Dia berfirman: Wahai
orang-orang yang beriman, makanlah dari apa-apa yang baik yang telah Kami berikan
kepadamu.’ Kemudian beliau menceritakan kisah seorang laki-laki yang melakukan
perjalanan jauh, berambut kusut, dan berdebu menengadahkan kedua tangannya ke
langit seraya berdo’a: “Wahai Tuhan, wahai Tuhan” , sedangkan makanannya haram,
minumannya haram, pakaiannya haram dan dikenyangkan dengan makanan haram,
maka bagaimana orang seperti ini dikabulkan do’anya". (HR. Muslim)
Penjelasan :
Kata “thayyib (baik)” berkenaan dengan sifat Allah maksudnya ialah bersih dari
segala kekurangan. Hadits ini merupakan salah satu dasar dan landasan pembinaan
hukum Islam. Hadits ini berisi anjuran membelanjakan sebagian dari harta yang halal
dan melarang membelanjakan harta yang haram. Makanan, minuman, pakaian dan
sebagainya hendaknya benar-benar yang halal tanpa bercampur yang syubhat.
Orang yang ingin memohon kepada Allah hendaklah memperhatikan persyaratan yang
tersebut pada Hadits ini. Hadits ini juga menyatakan bahwa seseorang yang
Syarhul Arba’iina Haditsan an Nawawiyah 19 of 67
Ibnu Daqiqil ‘Ied
membelanjakan hartanya dalam kebaikan berarti ia telah membersihkan dan
menumbuhkan hartanya. Makanan yang enak tetapi tidak halal menjadi malapetaka
bagi yang memakannya dan Allah tidak akan menerima amal kebajikannya.
Kalimat “kemudian beliau menceritakan kisah seorang laki-laki yang melakukan
perjalanan jauh, berambut kusut, dan berdebu”, maksudnya ialah menempuh
perjalanan jauh untuk melaksanakan kebaikan seperti haji, jihad, dan perbuatan baik
lainnya. Amal kebajikan tersebut tidak akan diterima oleh Allah bila yang bersangkutan
makan, minum dan berpakaian dari hasil yang haram. Lalu bagaimana lagi nasib orang-
orang yang berbuat dosa di dunia atau berlaku zhalim kepada orang lain atau
mengabaikan ibadah dan amal kebajikan?
Kalimat “menengadahkan kedua tangannya” maksudnya berdo’a kepada Allah
memohon sesuatu, namun dia tetap berbuat dosa dan melanggar aturan agama.
Kalimat “makanannya haram…, maka bagaimana orang seperti ini dikabulkan
do’anya”, maksudnya bagaimana orang yang perbuatannya semacam itu akan
dikabulkan do’anya, karena dia bukanlah orang yang layak dikabulkan do’anya. Akan
tetapi walaupun demikian, boleh saja Allah mengabulkannya sebagai tanda kemurahan,
kasih sayang dan pemberian karunia. Wallaahu a’lam.
11. TINGGALKANLAH KERAGU-RAGUAN
Dari Abu Muhammad, Al Hasan bin ‘Ali bin Abu Thalib, cucu Rasululloh Shallallahu
‘alaihi wa Sallam dan kesayangan beliau telah berkata : “Aku telah menghafal (sabda)
dari Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa Sallam: “Tinggalkanlah apa-apa yang
meragukan kamu, bergantilah kepada apa yang tidak meragukan kamu “.
(HR. Tirmidzi dan Nasa’i, berkata Tirmidzi : Ini adalah Hadits Hasan Shahih)
Penjelasan :
Kalimat “yang meragukan kamu” maksudnya tinggalkanlah sesuatu yang menjadikan
kamu ragu-ragu dan bergantilah kepada hal yang tidak meragukan. Hadits ini kembali
kepada pengertian Hadits keenam, yaitu sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam:
“Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas, dan di antara keduanya
banyak perkara syubhat”.
Pada hadits lain disebutkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda :
“Seseorang tidak akan mencapai derajat taqwa sebelum ia meninggalkan hal-hal
yang tidak berguna karena khawatir berbuat sia-sia”.
Tingkatan sifat semacam ini lebih tinggi dari sifat meninggalkan yang meragukan.
12. MENINGGALKAN YANG TIDAK BERMANFAAT
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, ia berkata : “Telah bersabda Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa Sallam : ‘Sebagian dari kebaikan keislaman seseorang ialah
meninggalkan sesuatu yang tidak berguna baginya’ “.
(HR. Tirmidzi, Hadits Hasan)
Syarhul Arba’iina Haditsan an Nawawiyah 20 of 67
Ibnu Daqiqil ‘Ied
Penjelasan :
Hadits di atas juga diriwayatkan oleh Qurrah bin ‘abdurrahman dari Zuhri dari Abu
Salamah dari Abu Hurairah dan sanad-sanadnya ia nyatakan shahih. Tentang Hadits ini
ia berkata : “Hadits ini kalimatnya pendek tetapi padat berisi”. Semakna dengan Hadits
ini adalah ucapan Abu Dzar pada beberapa riwayatnya: “Barang siapa yang menilai
ucapan dengan perbuatannya, maka dia akan sedikit bicara dalam hal yang tidak
berguna bagi dirinya”.
Imam Malik menyebutkan bahwa sampai kepadanya keterangan bahwa seseorang
berkata kepada Luqman : “Apa yang menjadikan engkau mencapai derajat yang kami
saksikan sekarang?” Jawabnya : “Berkata benar, menunaikan amanat dan meninggalkan
apa saja yang tidak berguna bagi diriku”.
Diriwayatkan dari Imam Al Hasan, ia berkata : “Tanda bahwa Allah menjauh dari
seseorang yaitu apabila orang itu sibuk dengan hal-hal yang tidak berguna bagi
kepentingan akhiratnya”. Ia berkata bahwa Abu Dawud berkata : “Ada 4 Hadits yang
menjadi dasar bagi tiap-tiap perbuatan, salah satunya adalah Hadits ini”.
13. MENCINTAI MILIK ORANG LAIN SEPERTI MENCINTAI MILIKNYA
SENDIRI
Dari Abu Hamzah, Anas bin Malik radhiyallahu anhu, pelayan Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa Sallam, dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Tidak
beriman seseorang di antara kamu sehingga ia mencintai milik saudaranya (sesama
muslim) seperti ia mencintai miliknya sendiri”.
(HR. Bukhari dan Muslim)
Penjelasan :
Demikianlah di dalam Shahih Bukhari, digunakan kalimat “milik saudaranya” tanpa
kata yang menunjukkan keraguan. Di dalam Shahih Muslim disebutkan “milik
saudaranya atau tetangganya” dengan kata yang menunjukkan keraguan.
Para ulama berkata bahwa “tidak beriman” yang dimaksudkan ialah imannya tidak
sempurna karena bila tidak dimaksudkan demikian, maka berarti seseorang tidak
memiliki iman sama sekali bila tidak mempunyai sifat seperti itu. Maksud kalimat
“mencintai milik saudaranya” adalah mencintai hal-hal kebajikan atau hal yang
mubah. Hal ini ditunjukkan oleh riwayat Nasa’i yang berbunyi :
“Sampai ia mencintai kebaikan untuk saudaranya seperti mencintainya untuk
dirinya sendiri”.
Abu ‘Amr bin Shalah berkata : “ Perbuatan semacam ini terkadang dianggap sulit
sehingga tidak mungkin dilakukan seseorang. Padahal tidak demikian, karena yang
dimaksudkan ialah bahwa seseorang imannya tidak sempurna sampai ia mencintai
kebaikan untuk saudaranya sesama muslim seperti mencintai kebaikan untuk dirinya
sendiri. Hal tersebut dapat dilaksanakan dengan melakukan sesuatu hal yang baik bagi
diriya, misalnya tidak berdesak-desakkan di tempat ramai atau tidak mau mengurangi
kenikmatan yang menjadi milik orang lain. Hal-hal semacam itu sebenarnya gampang
Syarhul Arba’iina Haditsan an Nawawiyah 21 of 67
Ibnu Daqiqil ‘Ied
dilakukan oleh orang yang berhati baik, tetapi sulit dilakukan orang yang berhati
jahat”. Semoga Allah memaafkan kami dan saudara kami semua.
Abu Zinad berkata : “Secara tersurat Hadits ini menyatakan hak persaman, tetapi
sebenarnya manusia itu punya sifat mengutamakan dirinya, karena sifat manusia suka
melebihkan dirinya. Jika seseorang memperlakukan orang lain seperti memperlakukan
dirinya sendiri, maka ia merasa dirinya berada di bawah orang yang diperlakukannya
demikian. Bukankah sesungguhnya manusia itu senang haknya dipenuhi dan tidak
dizhalimi? Sesungguhnya iman yang dikatakan paling sempurna ketika seseorang
berlaku zhalim kepada orang lain atau ada hak orang lain pada dirinya, ia segera
menginsafi perbuatannya sekalipun hal itu berat dilakukan.
Diriwayatkan bahwa Fudhail bin ‘Iyadz, berkata kepada Sufyan bin ‘Uyainah : “Jika
anda menginginkan orang lain menjadi baik seperti anda, mengapa anda tidak
menasihati orang itu karena Allah. Bagaimana lagi kalau anda menginginkan orang itu
di bawah anda?” (tentunya anda tidak akan menasihatinya).
Sebagian ulama berpendapat : “Hadits ini mengandung makna bahwa seorang mukmin
dengan mukmin lainnya laksana satu tubuh. Oleh karena itu, ia harus mencintai
saudaranya sendiri sebagai tanda bahwa dua orang itu menyatu”.
Seperti tersebut pada Hadits lain :
“Orang-orang mukmin laksana satu tubuh, bila satu dari anggotanya sakit, maka
seluruh tubuh turut mengeluh kesakitan dengan merasa demam dan tidak bisa tidur
malam hari”.
14. LARANGAN BERZINA, MEMBUNUH DAN MURTAD
Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu anhu, ia berkata : “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
Sallam bersabda : ‘Tidak halal darah seorang muslim kecuali Karena salah satu di
antara tiga perkara : orang yang telah kawin berzina, jiwa dengan jiwa, dan orang
yang meninggalkan agamanya yaitu merusak jama’ah’ “.
(HR. Bukhari dan Muslim)
Penjelasan :
Pada beberapa riwayat disebutkan :
“Tidak halal darah seorang muslim yang telah bersaksi bahwa tiada Tuhan kecuali
Allah dan sesungguhnya aku adalah rasul Allah, kecuali karena salah satu dari tiga
hal”.
Kalimat “telah bersaksi bahwa tiada Tuhan kecuali Allah dan sesungguhnya aku adalah
rasul Allah” merupakan penjelasan dari kata “muslim”. Kalimat “yang merusak
jama’ah” adalah penjelasan dari kata “yang meninggalkan agamanya”.
Ketiga golongan ini darahnya dihalalkan berdasarkan nash. Yang dimaksud dengan
“jama’ah” adalah kaum muslim dan yang dimaksud dengan “merusak jama’ah” adalah
keluar dari agama. Inilah yang menyebabkan darahnya dihalalkan.
Syarhul Arba’iina Haditsan an Nawawiyah 22 of 67
Ibnu Daqiqil ‘Ied
Kalimat “yang meninggalkan agamanya yaitu merusak jama’ah” adalah kalimat
umum yang mencakup setiap orang yang keluar dari agama Islam dalam bentuk
apapun, maka ia wajib dibunuh kalau tidak mau kembali kepada Islam.
Para ulama berkata : “Kalimat tersebut juga mencakup setiap orang yang
menyimpang dari kaum muslim dengan berbuat bid’ah, merusak, atau lainnya”.
Wallahu a‘lam.
Secara tersurat, kalimat yang umum tersebut dikhususkan kepada orang yang
melakukan penyerangan atau semacamnya terhadap kaum muslim, maka untuk
mengatasi gangguannya itu dia boleh dibunuh, karena perbuatan semacam itu
termasuk kategori merusak kaum muslim. Juga yang dimaksud oleh Hadits di atas
ialah seorang muslim tidak boleh dengan sengaja dibunuh terkecuali karena dia
melakukan salah satu dari tiga hal di atas.
Sebagian ulama menjadikan Hadits ini sebagai dalil bahwa orang yang meninggalkan
shalat boleh dibunuh, karena perbuatannya itu termasuk salah satu dari tiga perbuatan
di atas. Dalam masalah ini para ulama berbeda pendapat, sebagian menyatakannya
kafir dan sebagian lagi menyatakan tidak kafir. Pendapat yang menyatakan kafir
berdalil dengan Hadits lain yaitu sabda Rasululah Shalallahu ‘alaihi wasallam : “Aku
diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi tidak ada Tuhan
kecuali Allah dan sesungguhnya aku adalah rasul Allah, mereka melakukan shalat
dan mengeluarkan zakat”.
Maksud dari dalil ini ialah bahwa perlindungan itu diberikan kepada orang yang
mengucapakan syahadat, melaksanakan shalat dan mengeluarkan zakat secara utuh
dan meninggalkan salah satunya berarti membatalkannya. Pemahaman seperti ini
berlaku jika dalil diatas di pegang secara harfiah, yaitu kalimat “aku diperintah untuk
memerangi manusia….” Dipahami bahwa perintah memerangi ini berlaku bagi semua
yang melanggar apa yang disebutkan. Pemahaman seperti ini dianggap lemah Karena
tidak membedakan antara memerangi dan membunuh, sedangkan memerangi berarti
tindakan dua pihak yang saling membunuh. Kewajiban memerangi orang yang
meninggalkan shalat tidak dengan sendirinya menyatakan kewajiban membunuh
selama orang itu tidak memerangi kita. Wallaahu a’lam.
Kalimat “orang yang telah kawin berzina” mencakup laki-laki dan perempuan. Hadits
ini menjadi dasar kesepakatan kaum muslim bahwa orang yang berzina semacam itu
dirajam dengan syarat-syarat yang dijelaskan dalam kitab fiqih.
Kalimat “jiwa dengan jiwa” sejalan dengan firman Allah: “Dan Kami telah tetapkan
mereka di dalam Taurat bahwa jiwa dengan jiwa”. (QS. Al Maidah : 45)
Yaitu berlaku sepadan antara orang-orang yang sama-sama Islam atau sama-sama
merdeka. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam : “Seorang
muslim tidak dibunuh karena membunuh seorang kafir”.
Begitu juga syarat merdeka, berlaku sebagaimana pendapat Imam Malik, Imam Syafi’I
dan Imam Ahmad. Akan tetapi, para pengikut ahli ra’yu (Imam Abu Hanifah)
berpendapat seorang muslim dihukum bunuh karena membunuh kafir dzimmi dan
orang merdeka dibunuh karena membunuh budak, dan mereka berdalil dengan Hadits
ini juga. Akan tetapi kebanyakan ulama berbeda dengan pendapat tersebut.
Syarhul Arba’iina Haditsan an Nawawiyah 23 of 67
Ibnu Daqiqil ‘Ied
15. BERKATA YANG BAIK ATAU DIAM
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
Sallam telah bersabda : “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat,
maka hendaklah ia berkata baik atau diam, barang siapa yang beriman kepada Allah
dan hari akhirat, maka hendaklah ia memuliakan tetangga dan barang siapa yang
beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia memuliakan tamunya”.
(HR. Bukhari dan Muslim)
Penjelasan :
Kalimat “barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat”, maksudnya
adalah barang siapa beriman dengan keimanan yang sempurna, yang (keimanannya
itu) menyelamatkannya dari adzab Allah dan membawanya mendapatkan ridha Allah,
“maka hendaklah ia berkata baik atau diam” karena orang yang beriman kepada Allah
dengan sebenar-benarnya tentu dia takut kepada ancaman-Nya, mengharapkan pahala-
Nya, bersungguh-sungguh melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan-Nya.
Yang terpenting dari semuanya itu ialah mengendalikan gerak-gerik seluruh anggota
badannya karena kelak dia akan dimintai tanggung jawab atas perbuatan semua
anggota badannya, sebagaimana tersebut pada firman Allah :
“Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati semuanya kelak pasti akan
dimintai tanggung jawabnya”. (QS. Al Isra’ : 36)
dan firman-Nya:
“Apapun kata yang terucap pasti disaksikan oleh Raqib dan ‘Atid”. (QS. Qaff : 18)
Bahaya lisan itu sangat banyak. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam juga bersabda:
“Bukankah manusia terjerumus ke dalam neraka karena tidak dapat mengendalikan
lidahnya”.
Beliau juga bersabda :
“Tiap ucapan anak Adam menjadi tanggung jawabnya, kecuali menyebut nama
Allah, menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah kemungkaran”.
Barang siapa memahami hal ini dan beriman kepada-Nya dengan keimanan yang
sungguh-sungguh, maka Allah akan memelihara lidahnya sehingga dia tidak akan
berkata kecuali perkataan yang baik atau diam.
Sebagian ulama berkata: “Seluruh adab yang baik itu bersumber pada empat Hadits,
antara lain adalah Hadits “barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat,
maka hendaklah ia berkata baik atau diam”. Sebagian ulama memaknakan Hadits ini
dengan pengertian; “Apabila seseorang ingin berkata, maka jika yang ia katakan itu
baik lagi benar, dia diberi pahala. Oleh karena itu, ia mengatakan hal yang baik itu. Jika
tidak, hendaklah dia menahan diri, baik perkataan itu hukumnya haram, makruh, atau
mubah”. Dalam hal ini maka perkataan yang mubah diperintahkan untuk ditinggalkan
atau dianjurkan untuk dijauhi Karena takut terjerumus kepada yang haram atau
makruh dan seringkali hal semacam inilah yang banyak terjadi pada manusia.
Allah berfirman :
“Apapun kata yang terucapkan pasti disaksikan oleh Raqib dan ‘Atid”. (QS.Qaaf : 18)
Syarhul Arba’iina Haditsan an Nawawiyah 24 of 67
Ibnu Daqiqil ‘Ied
Para ulama berbeda pendapat, apakah semua yang diucapkan manusia itu dicatat oleh
malaikat, sekalipun hal itu mubah, ataukah tidak dicatat kecuali perkataan yang akan
memperoleh pahala atau siksa. Ibnu ‘Abbas dan lain-lain mengikuti pendapat yang
kedua. Menurut pendapat ini maka ayat di atas berlaku khusus, yaitu pada setiap
perkataan yang diucapkan seseorang yang berakibat orang tersebut mendapat
pembalasan.
Kalimat “hendaklah ia memuliakan tetangganya…….., maka hendaklah ia
memuliakan tamunya” , menyatakan adanya hak tetangga dan tamu, keharusan
berlaku baik kepada mereka dan menjauhi perilaku yang tidak baik terhadap mereka.
Allah telah menetapkan di dalam Al Qur’an keharusan berbuat baik kepada tetangga
dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda :
“Jibril selalu menasehati diriku tentang urusan tetangga, sampai-sampai aku
beranggapan bahwa tetangga itu dapat mewarisi harta tetangganya”.
Bertamu itu merupakan ajaran Islam, kebiasaan para nabi dan orang-orang shalih.
Sebagian ulama mewajibkan menghormati tamu tetapi sebagian besar dari mereka
berpendapat hanya merupakan bagian dari akhlaq yang terpuji.
Pengarang kitab Al Ifshah mengatakan : “Hadits ini mengandung hukum, hendaklah
kita berkeyakinan bahwa menghormati tamu itu suatu ibadah yang tidak boleh
dikurangi nilai ibadahnya, apakah tamunya itu orang kaya atau yang lain. Juga anjuran
untuk menjamu tamunya dengan apa saja yang ada pada dirinya walaupun sedikit.
Menghormati tamu itu dilakukan dengan cara segera menyambutnya dengan wajah
senang, perkataan yang baik, dan menghidangkan makanan. Hendaklah ia segera
memberi pelayanan yang mudah dilakukannya tanpa memaksakan diri”. Pengarang
juga menyebutkan perkataan dalam menyambut tamu.
Selanjutnya ia berkata : Adapun sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam “maka
hendaklah ia berkata baik atau diam” , menunjukkan bahwa perkatan yang baik itu
lebih utama daripada diam, dan diam itu lebih utama daripada berkata buruk.
Demikian itu karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dalam sabdanya
menggunakan kata-kata “hendaklah untuk berkata benar” didahulukan dari perkataan
“diam”. Berkata baik dalam Hadits ini mencakup menyampaikan ajaran Allah dan
rasul-Nya dan memberikan pengajaran kepada kaum muslim, amar ma’ruf dan nahi
mungkar berdasarkan ilmu, mendamaikan orang yang berselisih, berkata yang baik
kepada orang lain. Dan yang terbaik dari semuanya itu adalah menyampaikan
perkataan yang benar di hadapan orang yang ditakuti kekejamannya atau diharapkan
pemberiannya.
0 komentar:
Posting Komentar