16. TIDAK MUDAH MARAH
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, bahwa ada seorang laki-laki berkata kepada
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam: “Berilah wasiat kepadaku”. Sabda Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam : “Janganlah engkau mudah marah”. Maka diulanginya permintaan
itu beberapa kali. Sabda beliau : “Janganlah engkau mudah marah”.
(HR. Bukhari)
Penjelasan :
Syarhul Arba’iina Haditsan an Nawawiyah 25 of 67
Ibnu Daqiqil ‘Ied
Pengarang kitab Al Ifshah berkata : “Boleh jadi Nabi mengetahui laki-laki tersebut
sering marah, sehingga nasihat ini ditujukan khusus kepadanya. Nabi Shallallahu
‘alaihi wa Sallam memuji orang yang dapat mengendalikan hawa nafsunya ketika
marah”. Sabda beliau : “Bukanlah dikatakan orang yang kuat karena dapat membanting
lawannya, tetapi orang yang kuat ialah orang yang mampu mengendalikan hawa
nafsunya di waktu marah”.
Allah juga memuji orang yang dapat mengendalikan nafsunya ketika marah dan suka
memberi maaf kepada orang lain. Diriwayatkan dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam
bahwa beliau bersabda : “Barang siapa menahan marahnya padahal ia sanggup untuk
melampiaskannya, maka kelak Allah akan memanggilnya pada hari kiamat di
hadapan segala makhluk, sehingga ia diberi hak memilih bidadari yang disukainya”
Tersebut pada Hadits lain : “Marah itu dari setan”.
Oleh karena itu, orang yang marah menyimpang dari keadaan normal, berkata yang
bathil, berbuat yang tercela, menginginkan kedengkian, perseteruan dan perbuatan-
perbuatan tercela. Semua itu adalah akibat dari rasa marah. Semoga Allah melindungi
kita dari rasa marah. Tersebut pada Hadits Sulaiman bin Shard : “Sesungguhnya
mengucapkan ‘a’udzuubillaahi minasy syaithanirrajiim’ dapat menghilangkan rasa
marah”.
Karena sesungguhnya setanlah yang mendorong marah. Setiap orang yang
menginginkan hal-hal yang terpuji, setan selalu membelokkannya dan menjauhkannya
dari keridhaan Allah, maka mengucapkan “a’udzuubillaahi minasy syaithanirrajiim”
merupakan senjata yang paling kuat untuk menolak tipu daya setan ini.
17. BERBUAT BAIK DALAM SEGALA URUSAN
Dari abu ya’la, Syaddad bin Aus radhiyallahu anhu, dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa Sallam beliau telah bersabda : “ Sesungguhnya Allah mewajibkan berlaku baik
pada segala hal, maka jika kamu membunuh hendaklah membunuh dengan cara
yang baik dan jika kamu menyembelih maka sembelihlah dengan cara yang baik dan
hendaklah menajamkan pisau dan menyenangkan hewan yang disembelihnya”.
(HR. Muslim)
Penjelasan :
Kalimat “hendaklah membunuh dengan cara yang baik” berlaku umum mencakup
menyembelih, membunuh dalam Qishash, ataupun hukuman pidana lainnya. Hadits ini
termasuk salah satu Hadits yang mengandung berbagai macam prinsip atau kaidah.
Membunuh dengan cara yang baik itu ialah membunuh tanpa sedikit pun unsur
penganiayaan atau penyiksaan. Menyembelih dengan cara yang baik yaitu
menyembelih hewan dengan lemah lembut, tidak merebahkannya ketanah dengan
keras dan juga tidak menyeretnya, menghadapkannya ke kiblat, membaca basmalah
dan hamdalah, memotong urat nadi lehernya dan membiarkannya sampai mati baru
dikuliti, mengakui nikmat dan mensyukuri pemberian Allah, karena Allah telah
menundukkannya kepada kita, padahal Dia berkuasa untuk menjadikannya sebagai
musuh kita dan telah menghalalkan dagingnya untuk kita, padahal Dia berkuasa untuk
mengharamkannya.
Syarhul Arba’iina Haditsan an Nawawiyah 26 of 67
Ibnu Daqiqil ‘Ied
18. SETELAH MELAKUKAN KESALAHAN DISUSUL DENGAN
KEBAIKAN
Dari Abu Dzar, Jundub bin Junadah dan Abu ‘Abdurrahman, Mu’adz bin Jabal
radhiyallahu anhu, dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, beliau bersabda :
“Bertaqwalah kepada Allah di mana saja engkau berada dan susullah sesuatu
perbuatan dosa dengan kebaikan, pasti akan menghapuskannya dan bergaullah
sesama manusia dengan akhlaq yang baik”.
(HR. Tirmidzi, ia telah berkata : Hadits ini hasan, pada lafazh lain hasan shahih)
Penjelasan :
Riwayat hidup Abu Dzar itu banyak. Ia masuk Islam ketika Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa Sallam masih di Makkah dan beliau menyuruhnya kembali kepada kaumnya.
Namun ketika Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam menyaksikan tekadnya untuk
tinggal di Makkah bersama beliau, maka Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam tidak
mampu lagi mencegahnya.
Sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam kepada Abu Dzar “Bertaqwalah kepada
Allah di mana saja engkau berada dan susullah sesuatu perbuatan dosa dengan
kebaikan, pasti akan menghapuskannya”.
Hal ini sejalan dengan firman Allah : “Sesungguhnya segala amal kebajikan
menghapus segala perbuatan dosa”. (QS. Huud : 114)
Sabda beliau “bergaullah sesama manusia dengan akhlaq yang baik” maksudnya
bergaullah dengan manusia dengan cara-cara yang kamu merasa senang bila
diperlakukan oleh mereka dengan cara seperti itu. Ketahuilah bahwa yang paling berat
timbangannya di akhirat kelak adalah akhlaq yang baik. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa Sallam bersabda : “Sesungguhnya orang yang paling aku cintai di antara kamu
dan yang paling dekat kepadaku posisinya pada hari kiamat adalah orang yang
paling baik akhlaqnya diantara kamu”.
Akhlaq yang baik adalah sifat para nabi, para rasul dan orang-orang mukmin pilihan.
Perbuatan buruk hendaklah tidak di balas dengan keburukan, tetapi dimaafkan dan
diampuni serta dibalas dengan kebaikan.
19. MINTALAH TOLONG KEPADA ALLAH
Dari Abu Al ‘Abbas, ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu anhu, ia berkata : Pada suatu
hari saya pernah berada di belakang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, beliau
bersabda : "Wahai anak muda, aku akan mengajarkan kepadamu beberapa kalimat :
Jagalah Allah, niscaya Dia akan menjaga kamu. Jagalah Allah, niscaya kamu akan
mendapati Dia di hadapanmu. Jika kamu minta, mintalah kepada Allah. Jika kamu
minta tolong, mintalah tolong juga kepada Allah. Ketahuilah, sekiranya semua umat
berkumpul untuk memberikan kepadamu sesuatu keuntungan, maka hal itu tidak akan
kamu peroleh selain dari apa yang sudah Allah tetapkan untuk dirimu. Sekiranya
mereka pun berkumpul untuk melakukan sesuatu yang membahayakan kamu, niscaya
tidak akan membahayakan kamu kecuali apa yang telah Allah tetapkan untuk dirimu.
Syarhul Arba’iina Haditsan an Nawawiyah 27 of 67
Ibnu Daqiqil ‘Ied
Segenap pena telah diangkat dan lembaran-lembaran telah kering." (HR. Tirmidzi, ia
telah berkata : Hadits ini hasan, pada lafazh lain hasan shahih. Dalam riwayat selain
Tirmidzi : “Hendaklah kamu selalu mengingat Allah, pasti kamu mendapati-Nya di
hadapanmu. Hendaklah kamu mengingat Allah di waktu lapang (senang), niscaya
Allah akan mengingat kamu di waktu sempit (susah). Ketahuilah bahwa apa yang
semestinya tidak menimpa kamu, tidak akan menimpamu, dan apa yang semestinya
menimpamu tidak akan terhindar darimu. Ketahuilah sesungguhnya kemenangan
menyertai kesabaran dan sesungguhnya kesenangan menyertai kesusahan dan
kesulitan”) .
Penjelasan :
Riwayat hidup ‘Abdullah bin ‘Abbas sudah banyak dikenal. Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa Sallam mendo’akannya dengan sabdanya :
“Ya Allah, jadikanlah dia paham tentang agamanya dan ajarkanlah kepadanya
penafsiran Al Qur’an”.
Nabi juga mendo’akannya agar diberi hikmah dua kali. Ada riwayat yang sah dari
dirinya bahwa dia pernah melihat Jibril dua kali. Ia adalah ulama yang kaya ilmu di
kalangan umat Islam. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam melihatnya sebagai
seorang anak yang patut menerima pesan beliau.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda kepadanya : “Jagalah Allah, niscaya Dia
akan menjaga kamu”, maksudnya hendaklah kamu menjadi orang yang taat kepada
Tuhanmu, melaksanakan semua perintah-Nya, dan menjauhi semua larangan-Nya.
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam : “Jagalah Allah, niscaya kamu akan
mendapati Dia di hadapanmu”, maksudnya hendaklah beramal karena-Nya dengan
penuh ketaatan sehingga Allah tidak memandangmu sebagai orang yang menyalahi
perintah-Nya, niscaya kamu akan mendapati Allah menjadi penolongmu di saat situasi
sulit, seperti yang pernah terjadi pada kisah tiga orang yang tertimpa hujan lebat lalu
mereka berlindung di dalam gua, kemudian pintu gua tertutup batu. Pada saat itu
mereka berkata kepada sesamanya : “Ingatlah kebaikan yang pernah kamu lakukan,
lalu mohonlah kepada Allah dengan kebaikan itu supaya kamu diselamatkan”.
Kemudian masing-masing menyebut kebaikan yang pernah dilakukan, maka batu
penutup gua itu kemudian terbuka lalu mereka dapat keluar. Kisah mereka ini popular
dan terdapat pada Hadits shahih.
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam : “Jika kamu minta, mintalah kepada Allah.
Jika kamu minta tolong, mintalah tolong juga kepada Allah”, memberikan petunjuk
supaya bertawakkal kepada Allah, tidak bertuhan kepada selain-Nya, tidak
menggantungkan nasibnya kepada siapa pun baik sedikit ataupun banyak.
Allah berfirman :
“Dan barang siapa bertawakkal kepada Allah maka Allah pasti akan memberinya
kecukupan”. (QS. Ath Thalaq : 3)
Berapa besar ketergantungan seseorang kepada selain Allah baik dalam hatinya
maupun dalam angan-angannya, maka sebesar itu pula ia telah menjauhkan diri dari
Syarhul Arba’iina Haditsan an Nawawiyah 28 of 67
Ibnu Daqiqil ‘Ied
Allah untuk bergantung kepada sesuatu yang tidak kuasa memberinya manfaat atau
kerugian. Begitu juga takut kepada selain Allah.
Dalam hal ini Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menegaskan dengan sabdanya :
“Ketahuilah, sekiranya semua umat berkumpul untuk memberikan kepadamu
sesuatu keuntungan, maka hal itu tidak akan kamu peroleh selain dari apa yang
sudah Allah tetapkan untuk dirimu”.
Begitu pula dalam hal kerugian, “niscaya tidak akan membahayakan kamu kecuali
apa yang telah Allah tetapkan untuk dirimu”. Inilah yang disebut iman kepada taqdir.
Iman kepada taqdir adalah wajib, baik taqdir yang baik maupun yang buruk. Apabila
seorang mukmin telah yakin dengan hal ini, maka apa perlunya dia meminta kepada
selain Allah atau memohon pertolongan kepada yang lain. Begitu pula jawaban Nabi
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam kepada malaikat Jibril ketika ia bertanya
kepada beliau saat berada di langit (ketika mi’raj) : “Apakah engkau membutuhkan
pertolongan?” Beliau menjawab : “Kalau kepadamu tidak”.
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam : “Segenap pena telah diangkat dan
lembaran-lembaran telah kering”, menguatkan keterangan tersebut diatas, maksudnya
tidak berlawanan dengan apa yang telah dijelaskan sebelumnya.
Kemudian sabda beliau : “Ketahuilah sesungguhnya kemenangan menyertai
kesabaran dan sesungguhnya kesenangan menyertai kesusahan dan kesulitan”,
maksudnya beliau mengingatkan kepada manusia di dunia ini, terutama orang-orang
shalih bahwa mereka itu selalu dihadapkan kepada ujian dan cobaan sebagaimana
firman Allah :
“Sungguh Kami pasti memberi cobaan kepada kamu sekalian dengan sesuatu berupa
rasa takut, kelaparan, berkurangnya harta, jiwa dan buah-buahan. Dan
gembirakanlah orang-orang yang bersabar, yaitu mereka yang bila ditimpa musibah,
mereka berkata : ‘Sungguh kami semua adalah milik Allah dan sungguh hanya
kepada-Nyalah kami kembali’. Mereka itulah orang-orang yang mendapatkan
limpahan karunia dan rahmat dari Tuhan mereka dan mereka itulah orang-orang
yang terpimpin”. (QS. 2 : 155-157)
Allah berfirman :
“Sesungguhnya orang-orang yang bersabar itu pastilah dipenuhi pahala mereka
tanpa batas”. (QS. Az Zumar : 10)
20. MILIKILAH SIFAT MALU
Dari Abu Mas'ud, ‘Uqbah bin ‘Amr Al Anshari Al Badri radhiyallahu anhu, ia berkata :
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam telah bersabda : "Sesungguhnya diantara yang
didapat manusia dari kalimat kenabian yang pertama ialah : Jika engkau tidak malu,
berbuatlah sekehendakmu." (HR. Bukhari)
Penjelasan :
Sabdanya “kalimat kenabian yang pertama”, maksudnya ialah bahwa rasa malu
selalu terpuji dan dipandang baik, selalu diperintahkan oleh setiap nabi dan tidak
pernah dihapuskan dari syari’at para nabi sejak dahulu.
Syarhul Arba’iina Haditsan an Nawawiyah 29 of 67
Ibnu Daqiqil ‘Ied
Sabda beliau : “berbuatlah sekehendakmu”, mengandung dua pengertian, yaitu :
pertama, berarti ancaman dan peringatan keras, bukan merupakan perintah,
sebagaimana sabda beliau : “Lakukanlah sesuka kamu”
Yang juga berarti ancaman, sebab kepada mereka telah diajarkan apa yang harus
ditinggalkan. Demikian juga sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam : “Barang siapa
yang menjual khamr maka hendaklah dia memotong-motong daging babi”.
Tidak berarti bahwa beliau membenarkan melakukan hal semacam itu.
Pengertian kedua ialah hendaklah melakukan apa saja yang kamu tidak malu
melakukannya, seperti halnya sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam : “Malu itu
sebagian dari Iman”.
Maksud malu di sini adalah malu yang dapat menjauhkan dirinya dari perbuatan keji
dan mendorongnya berbuat kebajikan. Demikian juga bila malu dapat mendorong
seseorang meninggalkan perbuatan keji kemudian melakukan perbuatan-perbuatan
baik, maka malu semacam ini sederajat dengan iman karena kesamaan pengaruhnya
pada seseorang. Wallaahu a’lam.
21. BERLAKU ISTIQOMAH
Dari Abu ‘Amr ---atau Abu ‘Amrah---, Sufyan bin ‘Abdullah radhiyallahu anhu, ia
berkata : " Aku telah berkata : ‘Wahai Rasulullah, katakanlah kepadaku tentang Islam,
suatu perkataan yang aku tak akan dapat menanyakannya kepada seorang pun
kecuali kepadamu’. Bersabdalah Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa Sallam :
‘Katakanlah : Aku telah beriman kepada Allah, kemudian beristiqamalah kamu’ “.
(HR. Muslim)
Penjelasan :
Kalimat “katakanlah kepadaku tentang Islam, suatu perkataan yang aku tak akan
dapat menanyakannya kepada seorang pun kecuali kepadamu”, maksudnya adalah
ajarkanlah kepadaku satu kalimat yang pendek, padat berisi tentang pengertian Islam
yang mudah saya mengerti, sehingga saya tidak lagi perlu penjelasan orang lain untuk
menjadi dasar saya beramal. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menjawab :
“Katakanlah : ‘Aku telah beriman kepada Allah, kemudian beristiqamalah kamu’ “.
Ini adalah kalimat pendek, padat berisi yang Allah berikan kepada Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.
Dalam dua kalimat ini telah terpenuhi pengertian iman dan Islam secara utuh. Beliau
menyuruh orang tersebut untuk selalu memperbarui imannya dengan ucapan lisan dan
mengingat di dalam hati, serta menyuruh dia secara teguh melaksanakan amal-amal
shalih dan menjauhi semua dosa. Hal ini karena seseorang tidak dikatakan istiqamah
jika ia menyimpang walaupun hanya sebentar. Hal ini sejalan dengan firman Allah :
“Sesungguhnya mereka yang berkata : Allah adalah Tuhan kami kemudian mereka
istiqamah……”.(QS. Fushshilat : 30)
yaitu iman kepada Allah semata-mata kemudian hatinya tetap teguh pada
keyakinannya itu dan taat kepada Allah sampai mati.
Syarhul Arba’iina Haditsan an Nawawiyah 30 of 67
Ibnu Daqiqil ‘Ied
‘Umar bin khaththab berkata : “Mereka (para sahabat) istiqamah demi Allah dalam
menaati Allah dan tidak sedikit pun mereka itu berpaling, sekalipun seperti
berpalingnya musang”. Maksudnya, mereka lurus dan teguh dalam melaksanakan
sebagian besar ketaatannya kepada Allah, baik dalam keyakinan, ucapan, maupun
perbuatan dan mereka terus-menerus berbuat begitu (sampai mati). Demikianlah
pendapat sebagian besar para musafir. Inilah makna hadits tersebut, Insya Allah.
Begitu pula firman Allah : “Maka hendaklah kamu beristiqamah seperti yang
diperintahkan kepadamu”.(QS. Hud : 112)
Menurut Ibnu ‘Abbas, tidak satu pun ayat Al Qur’an yang turun kepada Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa Sallam yang dirasakan lebih berat dari ayat ini. Oleh karena itu,
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam pernah bersabda :
“Aku menjadi beruban karena turunnya Surat Hud dan sejenisnya”.
Abul Qasim Al Qusyairi berkata : “Istiqamah adalah satu tingkatan yang menjadi
penyempurna dan pelengkap semua urusan. Dengan istiqamah, segala kebaikan
dengan semua aturannya dapat diwujudkan. Orang yang tidak istiqamah di dalam
melakukan usahanya, pasti sia-sia dan gagal”. Ia berkata pula : “Ada yang berpendapat
bahwa istiqamah itu hanyalah bisa dijalankan oleh orang-orang besar, karena istiqamah
adalah menyimpang dari kebiasaan, menyalahi adat dan kebiasaan sehari-hari, teguh di
hadapan Allah dengan kesungguhan dan kejujuran. Oleh karena itu, Nabi Shallallahu
‘alaihi wa Sallam bersabda : ‘Istiqamahlah kamu sekalian, maka kamu akan selalu
diperhitungkan orang’.
Al Washiti berkata : “Istiqamah adalah sifat yang dapat menyempurnakan kepribadian
seseorang dan tidak adanya sifat ini rusaklah kepribadian seseorang”. Wallaahu a’lam.
22. MELAKSANAKAN SYARI’AT ISLAM DENGAN SEBENARNYA
Dari Abu ‘Abdullah, Jabir bin ‘Abdullah Al Anshari radhiyallahu anhuma, sungguh ada
seorang laki-laki bertanya kepada Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa Sallam :
“Bagaimana pendapatmu jika aku melakukan shalat fardhu, puasa pada bulan
Ramadhan, menghalalkan yang halal (melaksanakannya dengan penuh keyakinan),
mengharamkan yang haram (menjauhinya) dan aku tidak menambahkan selain itu
sedikit pun, apakah aku akan masuk surga?" Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam
menjawab : " Ya" (HR. Muslim)
Penjelasan :
Sahabat yang bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam ini bernama
Nu’man bin Qauqal Abu ‘Amr bin Shalah mengatakan bahwa secara zhahir yang
dimaksud dengan perkataan “aku mengharamkan yang haram” mencakup dua hal,
yaitu meyakini bahwa sesuatu itu benar-benar haram dan tidak melanggarnya. Hal ini
berbeda dengan perkataan “menghalalkan yang halal”, yang mana cukup meyakini
bahwa sesuatu benar-benar halal saja.
Pengarang kitab Al Mufhim mengatakan secara umum bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa Sallam tidak mengatakan kepada penanya di dalam Hadits ini sesuatu yang bersifat
Syarhul Arba’iina Haditsan an Nawawiyah 31 of 67
Ibnu Daqiqil ‘Ied
tathawwu’ (sunnah). Hal ini menunjukkan bahwa secara umum boleh meninggalkan
yang sunnah. Akan tetapi, orang yang meninggalkan yang sunnah dan tidak mau
melakukannya sedikit pun, maka ia tidak memperoleh keuntungan yang besar dan
pahala yang banyak. Akan tetapi, barang siapa terus-menerus meninggalkan hal-hal
yang sunnah, berarti telah berkurang bobot agamanya dan berkurang pula nilai
kesungguhannya dalam beragama. Barang siapa meninggalkan yang sunnah karena
sikap meremehkan atau membencinya, maka hal itu merupakan perbuatan fasik yang
patut dicela.
Para ulama kita berpendapat : “Bila penduduk suatu negeri bersepakat meninggalkan
hal yang sunnah, maka mereka itu boleh diperangi sampai mereka sadar. Hal ini karena
pada masa sahabat dan sesudahnya, mereka sangat tekun melakukan perbuatan-
perbuatan sunnah dan perbuatan-perbuatan yang dipandang utama untuk
menyempurnakan perbuatan-perbuatan wajib. Mereka tidak membedakan antara yang
sunnah dan yang fiqih dalam memperbanyak pahala. Para imam ahli fiqih perlu
menjelaskan perbedaan antara sunnah dan wajib hanya untuk menjelaskan konsekuensi
hukum antara yang sunnah dan yang wajib jika hal itu ditinggalkan. Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tidak menjelaskan perbedaan sunnah dan wajib adalah
untuk memudahkan dan melapangkan, karena kaum muslim masih baru dengan
Islamnya sehingga dikhawatirkan membuat mereka lari dari Islam. Ketika telah
diketahui kemantapannya di dalam Islam dan kerelaan hatinya berpegang kepada
agama ini, barulah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menggalakkan perbuatan-
perbuatan sunnah. Demikian juga dengan urusan yang lain. Atau dimaksudkan agar
orang tidak beranggapan bahwa amalan tambahan dan amalan utama keduanya
merupakan hal yang wajib, sehingga jika meninggalkan konsekuensinya sama.
Sebagaimana yang diriwayatkan pada Hadits lain bahwa ada seorang sahabat bertanya
kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tentang shalat, kemudian Nabi Shallallahu
‘alaihi wa Sallam memberitahukan bahwa shalat itu lima waktu. Lalu orang itu
bertanya : “Apakah ada kewajiban bagiku selain itu?” Beliau menjawab : “Tidak,
kecuali engkau melakukan (shalat yang lain) dengan kemauan sendiri”.
Orang itu kemudian bertanya tentanng puasa, haji dan beberapa hukum lain, lalu beliau
jawab semuanya. Kemudian, di akhir pembicaraan orang itu berkata : “Demi Allah, aku
tidak akan menambah atau mengurangi sedikitpun dari semua itu”. Nabi Shallallahu
‘alaihi wa Sallam lalu bersabda :
“Dia akan beruntung jika benar”.
“Jika ia berpegang dengan apa yang telah diperintahkan kepadanya, niscaya ia
masuk surga”.
Artinya, bila ia memelihara hal-hal yang diwajibkan, melaksanakan dan mengerjakan
tepat pada waktunya, tanpa mengubahnya, maka dia mendapatkan keselamatan dan
keberuntungan yang besar. Alangkah baiknya bila kita dapat berbuat seperti itu. Barang
siapa dapat mengerjakan yang wajib lalu diiringi dengan yang sunnah, niscaya dia akan
mendapatkan keberuntungan yang lebih besar.
Perbuatan sunnah yang disyari’atkan untuk menyempurnakan yang wajib. Sahabat
yang bertanya tersebut dan sahabat lain sebelumnya, dibiarkan Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa Sallam dalam keadaan seperti itu untuk memberikan kemudahan kepada kedua
Syarhul Arba’iina Haditsan an Nawawiyah 32 of 67
Ibnu Daqiqil ‘Ied
orang itu sampai hatinya mantap dan terbuka memahaminya dengan baik serta
memiliki semangat kuat untuk melaksanakan hal-hal yang sunnah, sehingga dirinya
menjadi ringan melaksanakannya.
0 komentar:
Posting Komentar