30. PATUHILAH PERINTAH DAN LARANGAN AGAMA
Dari Abu Tsa’labah Al Khusyani, jurtsum bin Nasyir radhiyallahu anhu, dari Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, beliau telah bersabda : “ Sesungguhnya Allah ta’ala telah
mewajibkan beberapa perkara, maka janganlah kamu meninggalkannya dan telah
menetapkan beberapa batas, maka janganlah kamu melampauinya dan telah
mengharamkan beberapa perkara maka janganlah kamu melanggarnya dan Dia telah
mendiamkan beberapa perkara sebagai rahmat bagimu bukan karena lupa, maka
janganlah kamu membicarakannya”.
(HR. Daraquthni, Hadits hasan)
Penjelasan:
Larangan membicarakan hal-hal yang didiamkan oleh Allah sejalan dengan sabda
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam :
“Biarkanlah aku dengan apa yang telah aku biarkan kepada kamu sekalian, karena
sesungguhnya hancurnya umat sebelum kamu disebabkan mereka banyak bertanya
dan menyalahi nabi-nabi mereka”.
Sebagian ulama berkata : “Bani Israil dahulu banyak bertanya, lalu diberi jawaban dan
mereka diberi apa yang menjadi keinginan mereka, sampai hal itu menjadi fitnah bagi
mereka , karena itulah mereka menjadi binasa. Para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
Sallam memahami hal tersebut dan menahan diri untuk tidak bertanya kecuali hal-hal
yang sangat penting. Mereka heran menyaksikan orang-orang Arab gunung bertanya
kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, lalu mereka mendengarkan
jawabannya dan memperhatikannya dengan seksama.
Ada suatu kaum yang sikapnya berlebih-lebihan, sampai mereka berkata : “Tidak boleh
bertanya kepada ulama mengenai suatu kasus sampai kasus tersebut benar-benar
terjadi”. Ulama salaf ada juga yang berpendapat seperti itu. Mereka berkata :
“Biarkanlah suatu masalah sampai benar-benar telah terjadi”. Akan tetapi, ketika para
ulama merasa khawatir ilmu agama ini lenyap, maka mereka kemudian membahas
Syarhul Arba’iina Haditsan an Nawawiyah 45 of 67
Ibnu Daqiqil ‘Ied
masalah-masalah ushul (pokok), menguraikan masalah-masalah furu’ (cabang),
memperluas dan menjelaskan berbagai hal.
Para ulama berselisih pendapat dalam banyak perkara yang agama belum menetapkan
hukumnya. Apakah perkara tersebut termasuk yang haram atau mubah atau
didiamkan. Ada tiga pendapat dalam hal ini, dan semuanya itu dibicarakan dalam
kitab-kitab Ushul.
31. JAUHILAH KESENANGAN DUNIA, NISCAYA DICINTAI ALLAH
Dari Abu ‘Abbas, Sahl bin Sa'ad As-Sa'idi radhiyallahu anhu, ia berkata: “Seorang laki-
laki datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam lalu berkata: ‘Wahai
Rasulullah, tunjukkanlah kepadaku suatu perbuatan yang jika aku mengerjakannya,
maka aku dicintai Allah dan dicintai manusia’. Maka sabda beliau : ‘Zuhudlah
engkau pada dunia, pasti Allah mencintaimu dan zuhudlah engkau pada apa yang
dicintai manusia, pasti manusia mencintaimu”.
(HR. Ibnu Majah, Hadits hasan)
Penjelasan :
Ketahuilah, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menganjurkan
supaya menahan diri dari memperbanyak harta dunia dan bersikap zuhud.
Sabda beliau :
“Jadilah kamu di dunia ini laksana orang asing atau pengembara”.
Sabda beliau pula :
“Cinta kepada dunia menjadi pangkal segala perbuatan dosa”.
Sabda beliau ;
“Orang yang zuhud dari segala kesenangan dunia menjadikan hatinya nyaman di
dunia dan di akhirat. Sedangkan orang yang mencintai dunia hatinya menjadi resah
di dunia dan di akhirat”.
Ketahuilah bahwa orang yang tinggal di dunia ini adalah tamu dan kekayaan yang di
tangannya adalah pinjaman. Sedangkan tamu itu akan pergi dan barang pinjaman
harus dikembalikan. Dunia ini bekal yang bisa digunakan oleh orang baik dan orang
jahat. Dunia ini dibenci oleh orang yang mencintai Allah, tetapi dicintai oleh para
penggemar dunia. Maka siapa yang bergabung bersama pecinta dunia, dia akan dibenci
oleh pecinta Allah.
Beliau menasihatkan kepada penanya agar menjauhkan diri dari menginginkan sesuatu
yang dimiliki orang lain. Jika seseorang ingin dicintai lalu meninggalkan kecintaannya
kepada dunia, maka mereka tidak mau berebut dan bermusuhan hanya karena
mengejar kesenangan dunia.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda :
Syarhul Arba’iina Haditsan an Nawawiyah 46 of 67
Ibnu Daqiqil ‘Ied
“Barang siapa yang menjadikan akhirat sebagai cita-citanya, maka Allah akan
menyatukan kemauannya, hatinya dijadikan merasa kaya dan dunia datang
kepadanya dengan memaksa. Sedangkan barang siapa yang bercita-cita
mendapatkan dunia, maka Allah menjadikan kemauannya berantakan, kemiskinan
senantiasa membayang di pelupuk matanya, dan dunia hanya didapatnya sekadar
apa yang telah ditaqdirkan baginya”.
Orang yang beruntung yaitu orang yang memilih kenikmatan abadi daripada
kehancuran yang ternyata adzabnya tiada habis-habisnya.
32. TIDAK BOLEH BERBUAT KERUSAKAN
Dari Abu Sa'id, Sa’ad bin Malik bin Sinan Al Khudri radhiyallahu anhu, sesungguhnya
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam telah bersabda : “Janganlah engkau
membahayakan dan saling merugikan”.
(HR. Ibnu Majah, Daraquthni dan lain-lainnya, Hadits hasan. Hadits ini juga
diriwayatkan oleh Imam Malik dalam Al Muwaththa sebagai Hadits mursal dari Amr
bin Yahya dari bapaknya dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tanpa menyebut Abu
Sa’id. Hadits ini mempunyai beberapa jalan yang saling menguatkan)
Penjelasan:
Ketahuilah,
bahwa orang yang merugikan saudaranya dikatakan telah
menzhaliminya. Sedangkan berbuat zhalim adalah haram, sebagaimana telah dijelaskan
pada Hadits Abu Dzar :
“Wahai hamba-Ku, sesungguhnya Aku telah mengharamkan diriku berbuat zhalim
dan menjadikannya haram juga diantara kamu, maka janganlah kamu berbuat
zhalim”
Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda :
“Sesungguhnya darah kamu, harta kamu dan kehormatan kamu adalah haram bagi
kamu”adapun sabda beliau : “Janganlah engkau saling membahayakan dan saling
merugikan” sebagian ulama mengatakan “Dua kata tersebut sebenarnya semakna
dan kebanyakan dari mereka menyatakan bahwa penggunaan dua kata tersebut
berarti penegasan”.
Al Mahasini berkata : “Bahwa yang dimaksud dengan merugikan adalah melakukan
sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya, tetapi menyebabkan orang lain mendapatkan
mudharat”. Ini adalah pendapat yang benar.
Sebagian ulama berkata : “Yang dimaksud dengan kamu membahayakan yaitu engkau
merugikan orang yang tidak merugikan kamu. Sedangkan yang dimaksud saling
merugikan yaitu engkau membalas orang yang merugikan kamu dengan hal yang
tidak setara dan tidak untuk membela kebenaran”.
Syarhul Arba’iina Haditsan an Nawawiyah 47 of 67
Ibnu Daqiqil ‘Ied
Hadits ini sama dengan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam : “Tunaikanlah
amanat kepada orang yang memberi amanat kepadamu, dan janganlah kamu
berkhianat kepada orang yang berkhianat kepadamu”.
Menurut sebagian ulama, Hadits ini maksudnya adalah janganlah kamu berkhianat
kepada orang yang mengkhianati kamu setelah kamu mendapat kemenangan atas
pengkhianatannya. Seolah-olah larangan ini berlaku terhadap orang yang memulai,
sedangkan bagi orang yang melakukan pembalasan yang setimpal dan menuntut
haknya tidak dikatakan berkhianat. Yang dikatakan berkhianat hanyalah orang yang
mengambil sesuatu yang bukan haknya atau mengambil lebih dari haknya.
Para ahli fiqih berselisih paham tentang orang yang mengingkari hak orang lain,
kemudian fihak yang diingkari mengambil harta yang diamanatkan pengingkar
kepadanya atau hal lain yang serupa. Sebagian ahli fiqih berkata : “Orang semacam itu
tidak berhak mengambil haknya dari orang tersebut, karena zhahir sabda Nab
Shallallahu 'alaihi wa Sallam “tunaikanlah amanat dan janganlah engkau berkhianat
kepada orang yang mengkhianatimu”. Yang lain berpendapat: “Dia boleh mengambil
haknya dan berhak mendapatkan pertolongan dalam rangka mengambilnya dari orang
yang menguasainya”. Mereka berdalil dengan Hadits ‘Aisyah dalam kasus Hindun
dengan suaminya, Abu Sufyan. Para ahli fiqih dalam masalah ini mempunyai berbagai
pendapat dan alasan yang tidak tepat untuk dibicarakan di sini. Akan tetapi, pendapat
yang benar ialah seseorang tidak boleh membahayakan saudaranya baik hal itu
merugikan atau tidak, namun dia berhak untuk diberi pembelaan dan pelakunya diberi
hukuman sesuai dengan ketentuan hukum. Hal itu tidak dikatakan zhalim atau
membahayakan selama sesuai dengan ketentuan yang dibenarkan oleh Sunnah.
Syaikh Abu ‘Amr bin Shalah berkata : “ Daraquthni menyebutkan sanad Hadits ini dari
beberapa jalan yang secara keseluruhan menjadikan hadits ini kuat dan hasan. Sejumlah
besar ulama menukil Hadits ini dan menjadikannya sebagai hujah. Dari Abu Dawud, ia
berkata : “Fiqih itu berkisar pada lima Hadits dan ia menyebut Hadits ini adalah salah
satu di antaranya”. Syaikh Abu ‘Amr berkata : “Hadits diriwayatkan Abu Dawud ini
termasuk dalam lima Hadits itu”. Ucapannya ini mengisyaratkan bahwa menurut
pendapatnya Hadits ini tidak dha’if.
33. ORANG YANG MENUDUH WAJIB MENUNJUKKAN BUKTI
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu anhuma, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
Sallam bersabda : “Sekiranya setiap tuntutan orang dikabulkan begitu saja, niscaya
orang-orang akan menuntut darah orang lain atau hartanya. Akan tetapi, haruslah
ada bukti atau saksi bagi yang menuntut dan bersumpah bagi yang mengingkari
(dakwaan)”.
(HR. Baihaqi, hadits Hasan, sebagian lafazhnya ada pada riwayat Bukhari dan Muslim)
Penjelasan :
Hadits ini pada riwayat Bukhari dan Muslim disebutkan bahwa Ibnu Abu Mulaikah
mengatakan :
Syarhul Arba’iina Haditsan an Nawawiyah 48 of 67
Ibnu Daqiqil ‘Ied
“Ibnu ‘Abbas menulis bahwa sesungguhnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam telah
menetapkan sumpah untuk orang yang menyangkal dakwaan”.
Pada riwayat lain disebutkan sesungguhnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam
bersabda :
“Sekiranya manusia dikabulkan apa saja yang menjadi pengakuannya, niscaya
orang-orang akan mudah menuntut darah orang lain, harta orang lain. Akan tetapi,
sumpah itu untuk orang yang menyangkal dakwaan”.
Penulis kitab Al Arbain berkata : “Hadits ini diriwayatkan Bukhari dan Muslim dalam
Kitab Shahihnya dengan sanad bersambung dari riwayat Ibnu ‘Abbas. Begitu pula
riwayat para penyusun Kitab Sunnan dan lain-lainnya”. Ushaili berkata : “Bila
marfu’nya Hadits ini dengan kesaksian Imam Bukhari dan Imam Muslim, maka
tidaklah ada artinya anggapan bahwa Hadits ini mauquf”. Penilain semacam itu tidak
berarti berlawanan dan tidak juga menyalahi.
Hadits ini merupakan salah satu pokok hukum Islam dan sumber pegangan yang
terpenting di kala terjadi perselisihan dan permusuhan antara orang-orang yang
bersengketa. Suatu perkara tidak boleh diputuskan semata-mata berdasarkan
pengakuan atau tuntutan dari seseorang.
Sabda beliau “niscaya orang-orang akan menuntut darah orang lain atau hartanya”
dipakai oleh sebagian orang sebagai dasar untuk membatalkan pendapat Imam Malik,
yang mengatakan perlunya mendengarkan pengaduan korban yang mengatakan bahwa
seseorang telah melukai saya atau saya mempunyai tuntutan darah kepada seseorang.
Sebab, jika orang yang sedang sakit mengadu “Seseorang mempunyai pinjaman
kepadaku satu dinar atau satu dirham” Tidak boleh diperhatikan, maka pengaduan
korban “Saya mempunyai tuntutan darah kepada orang lain” lebih patut untuk tidak
diperhatikan. Dengan demikian, alasan tersebut tidak benar untuk membantah
pendapat Imam Malik dalam masalah ini karena Imam Malik tidak mendasarkan
pelaksaan qishash atau denda hanya pada perkataan penggugat atau sumpah korban,
tetapi menjadikan pengakuan korban “Saya mempunyai tuntutan darah kepada
sseorang” sebagai keterangan tambahan yang menguatkan bukti penggugat, sampai
orang yang digugat berani bersumpah ketika ia mengingkarinya, sebagaimana yang
berlaku pada berbagai macam keterangan tambahan.
Sabda beliau : “Akan tetapi, sumpah itu untuk orang yang menyangkal (dakwaan)”
menjadi kesepakatan para ulama untuk menyumpah penyangkalan orang yang
didakwa dalam urusan harta. Akan tetapi, dalam urusan lain mereka masih berbeda
pendapat. Sebagian ulama menyatakan hal ini wajib berlaku kepada setiap orang yang
menyangkal dakwaan di dalam sesuatu hak, dalam thalaq, dalam pernikahan, atau
dalam pembebasan budak berdasarkan pada keumuman Hadits ini. Jika orang yang
didakwa tidak mau bersumpah, maka tuduhannya dipenuhi.
Abu Hanifah berkata : “Sumpah itu diberlakukan dalam kasus thalaq, nikah, dan
pembebasan budak. Jika tidak mau bersumpah, maka tuduhannya dipenuhi”. Dan dia
berkata : “Dalam kasus pidana tidak boleh digunakan sumpah (sebagai alat bukti)”.
Syarhul Arba’iina Haditsan an Nawawiyah 49 of 67
Ibnu Daqiqil ‘Ied
34. KEWAJIBAN MEMBERANTAS KEMUNGKARAN
Dari Abu Sa'id Al Khudri radhiyallahu anhu, ia berkata : Aku mendengar Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda : “Barang siapa di antaramu melihat
kemungkaran, hendaklah ia merubahnya (mencegahnya) dengan tangannya
(kekuasaannya) ; jika ia tak sanggup, maka dengan lidahnya (menasihatinya) ; dan
jika tak sanggup juga, maka dengan hatinya (merasa tidak senang dan tidak setuju) ,
dan demikian itu adalah selemah-lemah iman”.
(HR. Muslim)
Penjelasan :
Muslim meriwayatkan Hadits ini dari jalan Thariq bin Syihab, ia berkata : Orang yang
pertama kali mendahulukan khutbah pada hari raya sebelum shalat adalah Marwan.
Lalu seorang laki-laki datang kepadanya, kemudian berkata : “Shalat sebelum
khutbah?”. Lalu (laki-laki tersebut) berkata : “Orang itu (Marwan) telah meninggalkan
yang ada di sana (Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam)”. Abu Sa’id berkata :
“Adapun dalam hal semacam ini telah ada ketentuannya. Saya mendengar Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda : ‘Barang siapa di antaramu melihat
kemungkaran hendaklah ia merubahnya (mencegahnya) dengan tangannya
(kekuasaannya) ; jika ia tak sanggup, maka dengan lidahnya (menasihatinya); dan jika
tak sanggup juga, maka dengan hatinya (merasa tidak senang dan tidak setuju), dan
demikian itu adalah selemah-lemah iman’ “. Hadits ini menunjukkan bahwa perbuatan
semacam itu belum pernah dilakukan oleh siapa pun sebelum Marwan.
Jika ada yang bertanya : “Mengapa Abu Sa’id terlambat mencegah kemungkaran ini,
sampai laki-laki tersebut mencegahnya?” Ada yang menjawab : “Mungkin Abu Sa’id
belum hadir ketika Marwan berkhutbah sebelum shalat. Lelaki itu tidak menyetujui
perbuatan tersebut, lalu Abu Sa’id datang ketika kedua orang tersebut sedang berdebat.
Atau mungkin Abu Sa’id sudah hadir tetapi ia merasa takut untuk mencegahnya,
karena khawatir timbul fitnah akibat pencegahannya itu, sehingga tidak dilakukan.
Atau mungkin Abu Sa’id sudah berniat mencegah, tetapi lelaki itu mendahuluinya,
kemudian Abu Sa’id mendukungnya”.
Wallaahu a’lam.
Pada Hadits lain yang disepakati oleh Bukhari dan Muslim dalam Bab Shalat Hari Raya,
disebutkan bahwa Abu Sa’id menarik tangan Marwan ketika ia hendak naik ke atas
mimbar. Ketika keduanya berhadapan, Marwan menolak peringatan Abu Sa’id
sebagaimana penolakannya terhadap seorang laki-laki seperti yang dikisahkan pada
Hadits di atas, atau mungkin kasus ini terjadinya berlainan waktu.
Kalimat “hendaklah ia merubahnya (mencegahnya)” dipahami sebagai perintah wajib
oleh segenap kaum muslim. Dalam Al Qur’an dan Sunnah telah ditetapkan kewajiban
amar ma’ruf dan nahi mungkar. Ini termasuk nasihat dan merupakan urusan agama.
Adapun firman Allah :
“Jagalah diri kamu sekalian, tidaklah merugikan kamu orang yang sesat, jika kamu
telah mendapat petunjuk”. (QS. Al Maidah : 105)
tidaklah bertentangan dengan apa yang telah kami jelaskan, karena paham yang benar
menurut para ulama ahli tahqiq adalah bahwa makna ayat tersebut ialah jika kamu
Syarhul Arba’iina Haditsan an Nawawiyah 50 of 67
Ibnu Daqiqil ‘Ied
sekalian melaksanakan apa yang dibebankan kepadamu, maka kamu tidak akan
menjadi rugi bila orang lain menyalahi kamu.
Hal ini semakna dengan firman Allah :
“Seseorang tidaklah menanggung dosa orang lain”. (QS. 6 : 164)
Dengan demikian, amar ma’ruf dan nahi mungkar yang dibebankan kepada setiap
muslim, jika ia telah menjalankannya, sedangkan orang yang diperingatkan tidak
melaksanakannya, maka pemberi peringatan telah terlepas dari celaan, sebab ia hanya
diperintah menjalankan amar ma’ruf dan nahi mungkar, tidak harus sampai bisa
diterima oleh yang diberi peringatan. Wallaahu a’lam.
Kemudian, amar ma’ruf dan nahi mungkar merupakan perbuatan wajib kifayah,
sehingga jika telah ada yang menjalankannya, maka yang lain terbebas. Jika semua
orang meninggalkannya, maka berdosalah semua orang yang mampu
melaksanakannya, terkecuali yang ada udzur. Kemudian ada kalanya menjadi wajib
‘ain bagi seseorang. Misalnya, jika di suatu tempat yang tidak ada orang lain yang
mengetahui kemungkaran itu selain dia, atau kemungkaran itu hanya bisa dicegah oleh
dia sendiri, misalnya seseorang yang melihat istri, anak, atau pembantunya melakukan
kemungkaran atau kurang dalam melaksanakan kewajibannya.
Para ulama berkata : “Tanggung jawab amar ma’ruf dan nahi mungkar itu tidaklah
terlepas dari diri seseorang hanya Karena ia beranggapan bahwa peringatannya tidak
akan diterima. Dalam keadaan demikian ia tetap saja wajib menjalankannya. Allah
berfirman :
“Berilah peringatan, karena peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang mukmin”.
(QS. 51 : 55)
Telah disebutkan di atas bahwa setiap orang berkewajiban melakukan amar ma’ruf nahi
mungkar, tetapi tidak diwajibkan sampai peringatannya itu diterima.
Allah berfirman :
“Tiadalah kewajiban bagi seorang Rasul melainkan hanya menyampaikan
peringatan”. (QS. 5 : 99)
Para ulama berkata : “Orang yang menyampaikan amar ma’ruf nahi mungkar tidaklah
diharuskan dirinya telah sempurna melaksanakan semua yang menjadi perintah agama
dan meninggalkan semua yang menjadi larangannya. Ia tetap wajib menjalankan amar
ma’ruf nahi mungkar sekalipun perbuatannya sendiri menyalahi hal itu. Hal ini Karena
seseorang wajib melakukan dua perkara, yaitu menjalankan amar ma’ruf nahi mungkar
kepada diri sendiri dan kepada orang lain. Jika yang satu (amar ma’ruf nahi mungkar
kepada diri sendiri) dikerjakan, tidak berarti yang satunya (amar ma’ruf nahi mungkar
kepada orang lain) gugur”.
Para ulama berkata : “Tugas amar ma’ruf dan nahi mungkar tidak hanya menjadi
kewajiban para penguasa, tetapi tugas setiap muslim”. Yang diperintahkan melakukan
amar ma’ruf nahi mungkar adalah orang mengetahui tentang apa yang dinilai sebagai
hal yang ma’ruf atau mungkar. Bila berkaitan dengan hal-hal yang jelas, seperti shalat,
puasa, zina, minum khamr, dan semacamnya, maka setiap muslim wajib mencegahnya
karena ia sudah mengetahui hal ini. Akan tetapi, dalam perbuatan atau perkataan yang
rumit dan hal-hal yang berkaitan dengan ijtihad yang golongan awam tidak banyak
mengetahuinya, maka mereka tidaklah punya wewenang untuk melakukan nahi
mungkar. Hal ini menjadi wewenang ulama. Dan para ulama hanya dapat mencegah
Syarhul Arba’iina Haditsan an Nawawiyah 51 of 67
Ibnu Daqiqil ‘Ied
kemungkaran yang sudah jelas ijma’nya. Adapun dalam hal yang masih
diperselisihkan, maka dalam hal semacam ini tidak dapat dilakukan nahi mungkar,
sebab setiap orang berhak memilih salah satu dari dua macam paham hasil ijtihad.
Sedang pendapat setiap mujtahid itu dinilai benar sesuai keyakinannya masing-masing.
Inilah pendapat yang dipilih oleh sebagian besar ulama tahqiq. Pendapat lain
mengatakan bahwa yang benar itu hanya satu dan yang salah bisa banyak, tetapi
mujtahid yang salah itu tidak berdosa. Sekalipun demikian, dinasihatkan supaya kita
menjauhi persoalan yang diperselisihkan. Hal ini adalah satu sikap yang baik. Kita
dianjurkan untuk melaksanakan nahi mungkar ini dengan santun.
Syaikh Muhyidin berkata : “Ketahuilah bahwa sejak lama amar ma’ruf nahi mungkar
ini oleh sebagian besar orang telah diabaikan. Pada masa-masa ini hanyalah tinggal
dalam tulisan yang amat sedikit, padahal ini merupakan hal yang amat besar
peranannya bagi tegaknya urusan umat dan kekuasaan. Apabila perbuatan-perbuatan
buruk merajalela, maka orang-orang shalih maupun orang-orang jahat semuanya akan
tertimpa adzab. Jika orang yang shalih tidak mau menahan tangan orang yang zhalim,
maka nyaris adzab Allah akan menimpa mereka semua. Allah berfirman :
“Hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah rasul-Nya khawatir tertimpa
fitnah atau adzab yang pedih”. (QS. 24 : 63)
Oleh karena itu, sepatutnya para pencari akhirat dan orang yang berusaha
mendapatkan keridhaan Allah memperhatikan masalah ini. Hal ini karena
kemanfaatannya amat besar, apalagi sebagian besar orang sudah tidak peduli, dan
orang yanng melakukan pencegahan kemungkaran tidak lagi ditakuti, karena
martabatnya yang rendah. Allah berfirman :
“Sungguh, Allah pasti menolong orang yang menolong-Nya”. (QS. 22 :40)
Oleh karena itu, ketahuilah bahwa pahala itu diberikan sesuai dengan usahanya dan
tidak boleh meninggalkan nahi mungkar ini hanya karena ikatan persahabatan atau
kecintaan, sebab sahabat yang jujur ialah orang yang membantu saudaranya untuk
memajukan kepentingan akhiratnya, sekalipun hal itu dapat menimbulkan kerugian
dalam urusan dunianya. Adapun orang yang menjadi musuh ialah orang yang
berusaha merugikan usaha untuk kepentingan akhiratnya atau menguranginya
sekalipun sikapnya seperti dapat membawa keuntungan duniawinya.
Bagi orang yang melakukan amar ma’ruf nahi mungkar seyogyanya dilakukan dengan
sikap santun agar dapat lebih mendekatkan kepada tujuan. Imam Syafi’i berkata :
“Orang yang menasihati saudaranya dengan cara tertutup, maka orang itu telah benar-
benar menasihatinya dan berbuat baik kepadanya. Akan tetapi orang yang
menasihatinya secara terbuka, maka sesungguhnya ia telah menistakannya dan
merendahkannya”.
Hal yang sering diabaikan orang dalam hal ini, yaitu ketika mereka melihat seseorang
menjual barang atau hewan yang mengandung cacat tetapi ia tidak mau
menjelaskannya, ternyata mereka tidak mau menegur dan memberitahukan kepada
pembeli atas cacat yang ada pada barang itu. Orang-orang semacam itu bertanggung
jawab terhadap kemungkaran tersebut, karena agama itu adalah nasihat (kejujuran),
maka barang siapa tidak mau berlaku jujur atau memberi nasihat, berarti ia telah
berlaku curang.
Syarhul Arba’iina Haditsan an Nawawiyah 52 of 67
Ibnu Daqiqil ‘Ied
Kalimat “hendaklah ia merubahnya (mencegahnya) dengan tangannya
(kekuasaannya) ; jika ia tak sanggup, maka dengan lidahnya (menasihatinya) ; dan
jika tak sanggup juga, maka dengan hatinya” , maksudnya hendaklah ia mengingkari
perbuatan itu dalam hatinya. Hal semacam itu tidaklah dikatakan telah merubah atau
melenyapkan, tetapi itulah yang sanggup ia kerjakan. Dan kalimat “demikian itu adalah
selemah-lemah iman” maksudnya ialah – Wallaahu a’lam – paling sedikit hasilnya
(pengaruhnya).
Orang yang melakukan amar ma’ruf dan nahi mungkar tidaklah punya hak untuk
mencari-cari, mengontrol, memata-matai, dan menyebarkan prasangka, tetapi jika ia
menyaksikan orang lain berbuat mungkar, hendaklah ia mencegahnya. Al Mawardi
berkata : “Orang yang melakukan amar ma’ruf nahi mungkar tidaklah punya hak untuk
menyebarkan praduga atau memata-matai, kecuali memberitahukan kepada orang
yang bisa dipercaya”. Bila ada seseorang yang membawa orang lain ke tempat sunyi
untuk dibunuh, atau membawa seorang perempuan ke tempat sunyi untuk dizinai,
maka dalam keadaan semacam ini, bolehlah ia memata-matai, mengawasi dan
mengintai karena khawatir terdahului oleh kejadiannya.
Disebutkan bahwa kalimat “demikian itu adalah selemah-lemah iman” maksudnya
ialah hasilnya (pengaruhnya) sangat sedikit. Tersebut dalam riwayat lain :
“Selain dari itu tidak lagi ada iman sekalipun sebesar biji sawi”.
Artinya selain dari tiga macam sikap tersebut tidak lagi ada sikap lain yang ada nilainya
dari segi keimanan. Iman yang dimaksud dalam Hadits ini adalah dengan makna islam.
Hadits ini menyatakan bahwa orang yang takut pembunuhan atau pemukulan, ia
terbebas dari melakukan pencegahan kemungkaran. Inilah pendapat para ulama ahli
tahqiq zaman salaf maupun khalaf. Sebagian dari golongan yang ekstrim berpendapat
bahwa sekalipun seseorang takut, tidaklah ia terbebas dari kewajiban mencegah
kemungkaran.
35. JANGAN SALING MENDENGKI
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, ia berkata : “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
Sallam bersabda : “Kamu sekalian, satu sama lain Janganlah saling mendengki, saling
menipu, saling membenci, saling menjauhi dan janganlah membeli barang yang
sedang ditawar orang lain. Dan jadilah kamu sekalian hamba-hamba Allah yang
bersaudara. Seorang muslim itu adalah saudara bagi muslim yang lain, maka tidak
boleh menzhaliminya, menelantarkannya, mendustainya dan menghinakannya.
Taqwa itu ada di sini (seraya menunjuk dada beliau tiga kali). Seseorang telah
dikatakan berbuat jahat jika ia menghina saudaranya sesama muslim. Setiap muslim
haram darahnya bagi muslim yang lain, demikian juga harta dan kehormatannya”.
(HR. Muslim)
Penjelasan:
Kalimat “janganlah saling mendengki” maksudnya jangan mengharapkan hilangnya
nikmat dari orang lain. Hal ini adalah haram. Pada Hadits lain disebutkan:
Syarhul Arba’iina Haditsan an Nawawiyah 53 of 67
Ibnu Daqiqil ‘Ied
“Jauhilah olehmu sekalian sifat dengki, karena dengki itu memakan segala kebaikan
seperti api memakan kayu”.
Adapun iri hati ialah tidak ingin orang lain mendapatkan nikmat, tetapi ada maksud
untuk menghilangkannya. Terkadang kata denngki dipakai dengan arti iri hati, karena
kedua kata ini memang pengertiannya hampir sama, seperti sabda Nabi Shallallahu
'alaihi wa Sallam dalam sebuah Hadits riwayat Bukhari dan Muslim dari Ibnu Mas’ud :
“Tidaklah boleh ada dengki kecuali dalam dua perkara”.
Dengki yang dimaksud dalam Hadits ini adalah iri hati.
Kalimat “jangan kamu saling menipu” , yaitu memperdaya. Seorang pemburu disebut
penipu, karena dia memperdayakan mangsanya.
Kalimat “jangan kamu saling membenci” maksudnya jangan saling melakukan hal-hal
yang dapat menimbulkan kebencian. Cinta dan benci adalah hal yang berkenaan
dengan hati, da manusia tidak sanggup untuk mengendalikannya sendiri. Hal itu
sebagaimana sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam :
“Ini adalah bagianku yang aku tidak sanggup menguasainya, Karena itu janganlah
Engkau menghukumku dalam urusan yang Engkau kuasai tetapi aku tidak
menguasainya”.
Yaitu berkenaan dengan cinta dan benci.
Kalimat “jangan kamu saling menjauh” dalam bahasa arab adalah tadaabur, yaitu
saling bermusuhan atau saling memutus tali persaudaraan. Antara satu dengan yang
lain saling membelakangi atau menjauhi.
Kalimat “janganlah membeli barang yang sudah ditawar orang lain” yaitu berkata
kepada pembeli barang pada saat sedang terjadi transaksi barang, misalnya dengan
kata-kata : “Batalkanlah penjualan ini dan aku akan membelinya dengna harga yang
sama atau lebih mahal”. Atau dua orang yang melakukan jual beli telah sepakat dengan
suatu harga dan tinggal akad saja, lalu salah satunya meminta tambahan atau
pengurangan harga. Perbuatan semacam ini haram, karena penetapan harga sudah
disepakati. Adapun sebelum ada kesepakatan, tidak haram.
Kalimat “jadilah kamu sekalian hamba-hamba Allah yang bersaudara” maksudnya
hendaklah kamu saling bergaul dan memperlakukan orang lain sebagai saudara dalam
kecintaan, kasih sayang, keramahan, kelembutan, dan tolong-menolong dalam kebaikan
dengan hati ikhlas dan jujur dalam segala hal.
Kalimat “seorang muslim itu adalah saudara bagi muslim yang lain, maka tidak boleh
menzhaliminya, menelantarkannya, mendustainya dan menghinakannya”. Yang
dimaksud menelantarkan yaitu tidak memberi bantuan dan pertolongan. Maksudnya
jika ia meminta tolong untuk melawan kezhaliman, maka menjadi keharusan
saudaranya sesama muslim untuk menolongnya jika mampu dan tidak ada halangan
syar’i.
Kalimat “tidak menghinakannya” yaitu tidak menyombongkan diri pada orang lain
dan tidak menganggap orang lain rendah. Qadhi ‘Iyadh berkata : “Yang dimaksud
Syarhul Arba’iina Haditsan an Nawawiyah 54 of 67
Ibnu Daqiqil ‘Ied
dengan menghinakannya yaitu tidak mempermainkan atau membatalkan janji
kepadanya”. Pendapat yang benar adalah pendapat yang pertama.
Kalimat “taqwa itu ada di sini (seraya menunjuk dada beliau tiga kali)”. Pada riwayat
lain disebutkan :
“Allah tidak melihat jasad kamu dan rupa kamu, tetapi melihat hati kamu”.
Maksudnya, perbuatan-perbuatan lahiriyah tidak akan mendapatkan pahala tanpa
taqwa. Taqwa itu adalah rasa yang ada dalam hati terhadap keagungan Allah, takut
kepada-Nya, dan merasa selalu diawasi. Pengertian, “Allah melihat” ialah Allah
mengetahui segala-galanya. Maksud Hadits ini ialah Allah akan memberinya balasan
dan mengadili, dan semua perbuatan itu dinilai berdasarkan niatnya di dalam hati.
Wallaahu a’lam.
Kalimat “seseorang telah dikatakan berbuat jahat jika ia menghina saudaranya sesama
muslim” berisikan peringatan keras terhadap perbuatan menghina. Allah tidak
menghinakan seorang mukmin karena telah menciptakannya dan memberinya rezeki,
kemudian Allah ciptakan dalam bentuk yang sebaik-baiknya, dan semua yang ada di
langit dan bumi ditundukkan bagi kepentingannya. Apabila ada peluang bagi orang
mukmin dan orang bukan mukmin, maka orang mukmin diprioritaskan. Kemudian
Allah, menamakan seorang manusia dengan muslim, mukmin, dan hamba, kemudian
mengirimkan Rasul Muhammad Shallallahu 'alaihi wa Sallam kepadanya. Maka siapa
pun yang menghinakan seorang muslim, berarti dia telah menghinakan orang yang
dimuliakan Allah.
Termasuk perbuatan menghinakan seorang muslim ialah tidak memberinya salam
ketika bertemu, tidak menjawab salam bila diberi salam, menganggapnya sebagai orang
yang tidak akan dimasukkan ke dalam surga oleh Allah atau tidak akan dijauhkan dari
siksa neraka. Adapun kecaman seorang muslim yang berilmu terhadap orang muslim
yang jahil, orang adil terhadap orang fasik tidaklah termasuk menghina seorang
muslim, tetapi hanya menyatakan sifatnya saja. Jika orang itu meninggalkan kejahilan
atau kefasikannya, maka ketinggian martabatnya kembali.
36. MEMBANTU KESULITAN SESAMA MUSLIM
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam, beliau
bersabda : “Barang siapa yang melepaskan satu kesusahan seorang mukmin, pasti Allah
akan melepaskan darinya satu kesusahan pada hari kiamat. Barang siapa yang
menjadikan mudah urusan orang lain, pasti Allah akan memudahkannya di dunia dan
di akhirat. Barang siapa yang menutup aib seorang muslim, pasti Allah akan menutupi
aibnya di dunia dan di akhirat. Allah senantiasa menolong hamba-Nya selama hamba-
Nya itu suka menolong saudaranya. Barang siapa menempuh suatu jalan untuk
mencari ilmu, pasti Allah memudahkan baginya jalan ke surga. Apabila berkumpul
suatu kaum di salah satu masjid untuk membaca Al Qur’an secara bergantian dan
mempelajarinya, niscaya mereka akan diliputi sakinah (ketenangan), diliputi rahmat,
dan dinaungi malaikat, dan Allah menyebut nama-nama mereka di hadapan makhluk-
makhluk lain di sisi-Nya. Barangsiapa yang lambat amalannya, maka tidak akan
dipercepat kenaikan derajatnya”. (HR. Muslim)
Syarhul Arba’iina Haditsan an Nawawiyah 55 of 67
Ibnu Daqiqil ‘Ied
Penjelasan :
Hadits
ini amat berharga, mencakup berbagai ilmu, prinsip-prinsip agama, dan
akhlaq. Hadits ini memuat keutamaan memenuhi kebutuhan-kebutuhan orang
mukmin, memberi manfaat kepada mereka dengan fasilitas imu, harta, bimbingan atau
petunjuk yang baik, atau nasihat dan sebagainya.
Kalimat “barang siapa yang menutup aib seorang muslim” , maksudnya menutupi
kesalahan orang-orang yang baik, bukan orang-orang yang sudah dikenal suka berbuat
kerusakan. Hal ini berlaku dalam menutup perbuatan dosa yang terjadi. Adapun bila
diketahui seseorang berbuat maksiat, tetapi dia meragukan kemaksiatannya, maka
hendaklah ia segera dicegah dan dihalangi. Jika tidak mampu mencegahnya, hendaklah
diadukan kepada penguasa, sekiranya langkah ini tidak menimbulkan kerugian yang
lebih besar. Adapun orang yang sudah tahu bahwa hal itu maksiat tetapi tetap
melanggarnya, hal itu tidak perlu ditutupi, Karena menutup kesalahannya dapat
mendorong dia melakukan kerusakan dan tindakan menyakiti orang lain serta
melanggar hal-hal yang haram dan menarik orang lain untuk berbuat serupa. Dalam hal
semacam in dianjurkan untuk mengadukannya kepada penguasa, jika yang
bersangkutan tidak khawatir terjadi bahaya. Begitu pula halnya dengan tindakan
mencela rawi hadits, para saksi, pemungut zakat, pengurus waqaf, pengurus anak
yatim, dan sebagainya, wajib dilakukan jika diperlukan. Tidaklah dibenarkan menutupi
cacat mereka jika terbukti mereka tercela kejujurannya. Perbuatan semacam itu
bukanlah termasuk menggunjing yang diharamkan, tetapi termasuk nasihat yang
diwajibkan.
Kalimat “Allah senantiasa menolong hamba-Nya selama hamba-Nya itu suka
menolong saudaranya”. Kalimat umum ini maksudnya ialah bahwa seseorang apabila
punya keinginan kuat untuk menolong saudaranya, maka sepatutnya harus dikerjakan,
baik dalam bentuk kata-kata ataupunpembelaan atas kebenaran, didasari rasa iman
kepada Allah ketika melaksanakannya. Dalam sebuah hadits disebutkan tentang
keutamaan memberikan kemudahan kepada orang yang berada dalam kesulitan dan
keutamaan seseorang yang menuntut ilmu. Hal itu menyatakan keutamaan orang yang
menyibukkan diri menuntut ilmu. Adapun ilmu yang dimaksud disini adalah ilmu
syar’i dengan syarat niatnya adalah mencari keridhaan Allah, sekalipun syarat ini juga
berlaku dalam setiap perbuatan ibadah.
Kalimat “Apabila berkumpul suatu kaum disalah satu masjid untuk membaca Al-
Qur’an secara bergantian dan mempelajarinya” menunjukkan keutamaan berkumpul
untuk membaca Al-Qur’an bersama-sama di Masjid.
Kata-kata “sakinah” dalam hadits, ada yang berpendapat maksudnya adalah rahmat,
akan tetapi pendapat ini lemah karena kata rahmat juga disebutkan dalam hadits ini.
Pada kalimat “Apabila berkumpul suatu kaum” kata “kaum” disebutkan dalam
bentuk nakiroh, maksudnya kaum apasaja yang berkumpul untuk melakukan hal
seperti itu, akan mendapatkan keutamaan. Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam tidak
mensyaratkan kaum tertentu misalnya ulama, golongan zuhud atau orang-orang yeng
berkedudukan terpandang. Makna kalimat “Malaikat menaungi mereka” maksudnya
mengelilingi dan mengitari sekelilingnya, seolah-olah para malaikat dekat dengan
mereka sehingga menaungi mereka, tidak ada satu celah pun yang dapat disusupi
Syarhul Arba’iina Haditsan an Nawawiyah 56 of 67
Ibnu Daqiqil ‘Ied
setan. Kalimat “diliputi rahmat “ maksudnya dipayungi rahmat dari segala segi. Syaikh
Syihabuddin bin Faraj berkata : “menurut pendapatku diliputi rahmat itu maksudnya
ialah dosa-dosa yang telah lalu diampuni, Insya Allah”
Kalimat “Allah menyebut nama-nama mereka di hadapan makhluk-makhluk lain
disisi-Nya” mengisyaratkan bahwa, Allah menyebutkan nama-nama mereka
dilingkungan para Nabi dan para Malaikat yang utama. Wallaahu a’lam.
0 komentar:
Posting Komentar