37. PAHALA KEBAIKAN BERLIPAT GANDA
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu anhu, dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam,
beliau meriwayatkan dari Tuhannya, Tabaaraka wa ta’aala. Firman-Nya :
“Sesungguhnya Allah telah menetapkan nilai kebaikan dan kejahatan, kemudian Dia
menjelaskannya. Maka barangsiapa berniat mengerjakan kebaikan tetapi tidak
dikerjakannya, Allah mencatatnya sebagai satu kebaikan yang sempurna. Jika ia berniat
untuk berbuat kebaikan lalu ia mengerjakannya, Allah mencatatnya sebagai 10 sampai
700 kali kebaikan atau lebih banyak lagi. Jika ia berniat melakukan kejahatan, tetapi ia
tidak mengerjakannya, Allah mencatatkan padanya satu kebaikan yang sempurna. Jika
ia berniat melakukan kejahatan lalu dikerjakannya, Allah mencatatnya sebagai satu
kejahatan”.
(HR. Bukhari dan Muslim dalam Kitab Shahihnya dengan lafazh ini)
Penjelasan :
Pensyarah Hadits ini berkata : Ini adalah Hadits yang sangat mulia dan berharga. Nabi
Shallallahu 'alaihi wa Sallam menjelaskan betapa banyak kelebihan yang Allah berikan
kepada makhluk-Nya. Di antaranya yaitu orang yang berniat melakukan kebaikan
sekalipun belum dilaksanakan mendapat satu pahala, sedangkan orang yang berniat
berbuat dosa tetapi tidak jadi dikerjakan, mendapat satu pahala, dan bila ia laksanakan
mendapat satu dosa. Orang yang berniat baik kemudian melaksanakannya, Allah
tetapkan baginya sepuluh kali pahala. Ini adalah suatu keutamaan yang sangat besar,
yaitu dengan melipat gandakan pahala kebaikan, tetapi tidak melipat gandakan siksa
atas perbuatan dosa. Allah tetapkan keinginan berbuat baik sebagai suatu kebaikan,
karena keinginan berbuat baik itu merupakan perbuatan hati yang ditekadkannya.
Berdasarkan sabda ini ada yang berpendapat, seharusnya orang yang berniat berbuat
dosa tetapi belum melaksanakannya dicatat sebagai satu dosa, karena keinginan
melakukan sesuatu merupakan bagian dari pekerjaan hati. Ada pula yang berpendapat
tidak seperti itu, sebab orang yang mengurungkan berbuat dosa dan menghapus
keinginannya untuk berbuat dosa dan menggantinya dengan keinginan lain yang baik.
Dengan demikian dia diberi pahala satu kebaikan. Tersebut pada Hadits lain : “ ia
meninggalkan niat jeleknya itu karena takut kepada-Ku”
Hadits ini semakna dengan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam : “Setiap muslim
punya shadaqah”. Mereka (para sahabat) bertanya : “Sekalipun dia tidak
Syarhul Arba’iina Haditsan an Nawawiyah 57 of 67
Ibnu Daqiqil ‘Ied
melakukannya?” Sabda beliau : “Hendaklah dia mengurungkan niat jahatnya, maka
hal itu menjadi sadaqah bagi dirinya”. (riwayat Bukhari dalam Kitab Adab)
Adapun orang yang meninggalkan niat jahatnya karena dipaksa atau tidak sanggup
menjalankannya, maka tidaklah dicatat sebagai suatu kebaikan (yang mendapat pahala)
dan tidak termasuk dalam pembicaraan Hadits ini.
Thabari berkata : “Hadits ini membenarkan pendapat yang mengatakan : ’Pembatalan
niat seseorang dalam melakukan kebaikan atau keburukan tetap dicatat oleh malaikat,
asalkan dia menyadari apa yang diniatkan itu”. Ia membantah pendapat yang
beranggapan bahwa malaikat hanya mencatat pembatalan pada perbuatan-perbuatan
yang zhahir atau sesuatu yang dapat didengar. Ini berarti dua malaikat yang ditugasi
mengawasi manusia mengetahui apa yang diniatkan oleh seseorang. Boleh juga Allah
memberikan cara kepada para malaikat itu untuk mengetahui hal itu sebagaimana
Allah telah memberikan jalan kepada sebagian besar nabi-Nya dalam beberapa perkara
ghaib. Allah telah berfirman berkenaan dengan Isa ketika ia berkata kepeda Bani Israil :
“Aku mengabarkan kepada kamu apa yang kamu makan dan apa yang kamu simpan
di rumah-rumah kamu”. (QS. 3 : 49)
Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam juga telah mengabarkan banyak perkara ghaib. Maka
dapat saja Allah memberikan kepada dua malaikat itu cara untuk mengetahui niat baik
atau niat buruk seseorang lalu dia mencatatnya, bila orang tersebut telah
menjadikannya sebagai tekad. Ada pula yang berpendapat malaikat mengetahuinya
dari angin yang keluar dari hati seseorang.
Para ulama salaf berselisih paham tentang dzikir manakah yang lebih baik, dzikir dalam
hati atau dzikir dengan lisan. Ini semua adalah pendapat Ibnu Khalaf yang dikenal
dengan nama Ibnu Bathal. Pengarang kitab Al Ifshah dalam salah satu pernyataannya
mengatakan : Sesungguhnya tatkala Allah mengurangi umur umat Muhammad
Shallallahu 'alaihi wa Sallam, Allah mengganti kependekan umurnya itu dengan
melipat gandakan pahala amalnya”. Barang siapa berniat berbuat baik maka dengan
niatnya itu ia mendapatkan satu kebaikan penuh, sekalipun sekadar niat. Allah jadikan
niatnya itu sebagai kebaikan penuh agar orang tidak beranggapan bahwa niat semata-
mata mengurangi kebaikan atau sia-sia. Oleh karena itu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa
Sallam menjelaskan dengan kata “kebaikan sempurna”. Jika seseorang berniat baik lalu
melaksanakannya, hal itu berarti telah keluar dari lingkup niat menjelma kepada amal.
Niat baiknya ditulis sebagai suatu kebaikan, kemudian perbuatan baiknya digandakan.
Hal ini semua tergantung pada ikhlas atau tidaknya niat pada masing-masing
perbuatan.
Selanjutnya pada kalimat “sampai dilipatgandakan banyak sekali” , digunakan bentuk
kata nakirah (tidak terbatas) yang maknanya lebih luas daripada bentuk kata ma’rifah
(terbatas). Kalimat semacam ini menunjukkan adanya pengertian pembalasan yang
tidak terhingga banyaknya.
Kalimat janji Allah semacam ini dapat mencakup pernyataan : “Apabila seorang
manusia mengeluarkan sedekah sebutir gandum, maka akan diberi pahala atas
perbuatannya itu karena rahmat Allah. Sekiranya butiran gandum tersebut
ditaburkan lalu tumbuh di tanah yang subur dan dipelihara, disiangi sesuai dengan
kebutuhannya, lalu dipanen, maka akan tampak hasilnya. Kemudian hasilnya dapat
ditanam lagi pada tanah yang subur lalu dipelihara seperti tanaman sebelumnya.
Syarhul Arba’iina Haditsan an Nawawiyah 58 of 67
Ibnu Daqiqil ‘Ied
Kemudian terus berjalan semacam itu pada tahun kedua, ketiga, keempat, dan
seterusnya. Kemudian hal ini terus berlangsung sampai hari kiamat, sehingga sebutir
gandum, sebutir biji sawi, atau sebatang rumput akhirnya dapat menjadi bertumpuk
banyak setinggi gunung. Sekiranya sadaqah yang dikeluarkan hanya sebutir jagung
karena iman, maka ia kelak akan melihat keuntungan atas sadaqahnya di waktu itu.
Dan dihitung-hitung, jika dijual di pasar yang paling laris di negeri yang paling
besar, tentulah barang semacam itu merupakan barang yang sangat laris. Kemudian
bertambah berlipat ganda dan terus berjalan sampai hari kiamat, maka sebutir
gandum tadi tumbuh sebagai benda yang besarnya sebesar dunia ini seluruhnya.
Demikianlah balasan Allah atas semua amal kebaikan yang dilakukan, jika
didasarkan pada niat yang ikhlas dan muncul dari hati yang ikhlas”.
Sesungguhnya Allah dengan rahmat-Nya berlipat ganda dalam memberi pahala kepada
seseorang yang memberikan shadaqah satu dirham kepada orang fakir, lalu si fakir itu
memberikannya kepada fakir lain yang lebih melarat dari dirinya, kemudian fakir lain
tersebut memberikannya kepada fakir yang ketiga, dan yang ketiga memberikan
kepada yang keempat, dan seterusnya. Dari kejadian seperti di atas, Allah akan
memberi pahala kepada pemberi shadaqah pertama, dengan sepuluh kali. Bila fakir
pertama yang memberikannya kepada fakir yang kedua, maka fakir pertama ini
mendapat pahala sepuluh kali, dan pemberi shadaqah pertama mendapat pahala
seratus kali (sepuluh kali sepuluh). Kemudia fakir kedua memberikannya kepada fakir
ketiga, maka fakir kedua mendapat pahala sepuluh kali, fakir pertama mendapat pahala
seratus kali, sedang pemberi shadaqah pertama pahala seratus kali, sedang pemberi
shadaqah pertama mendapat pahala seribu kali. Bila fakir ketiga menshadaqahkan
kapada fakir keempat, maka fakir ketiga mendapat sepuluh kali, fakir kedua mendapat
pahala seratus kali, pemberi shadaqah pertama mendapat pahala sepuluh ribu kali
sampai berlipat ganda sehingga tidak ada yang dapat menghitungnya kecuali Allah.
Oleh karena itu, bila kelak Allah mengadili hamba-Nya yang muslim di hari kiamat,
kebaikan mereka bertingkat-tingkat nilai ketinggiannya dan ada pula yang kurang
nilainya, maka dengan kemurahan dan rahmat-Nya Allah akan memperhitungkan
semua amal kebaikannya lebih besar daripada perbedaan nilai antara dua kebaikan.
Allah berfirman : “Sungguh Kami pasti memberi pahala kepada mereka dengan yang
lebih baik dari apa yang telah mereka lakukan”. (QS. 16 : 97)
Sebagaimana seseorang yang berada di salah satu pasar kaum muslim mengucapkan
kalimat “laailaaha illallaah wahdah, laa syariikalah …” dengan suara yang tinggi,
maka Allah akan mencatat perbuatannya itu dengan memberi pahala seribu kebaikan
dan dihapuskan dari orang itu seribu dosanya, serta ia akan diberi sebuah rumah di
surga seperti yang tersebut pada sebuah Hadits. Kami terangkan di sini hanyalah apa
yang kami ketahui saja, bukan berdasarkan kadar rahmat Allah yang sebenarnya, sebab
Allah itu jauh lebih agung dari apa yang dapat digambarkan oleh makhluk. Wallahu
a’lam
38. MELAKUKAN AMAL SUNNAH MENJADIKAN KITA WALI ALLAH
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, ia berkata : Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
Sallam “Sesungguhnya Allah ta’ala telah berfirman : ‘Barang siapa memusuhi wali-Ku,
maka sesungguhnya Aku menyatakan perang terhadapnya. Hamba-Ku senantiasa
(bertaqorrub) mendekatkan diri kepada-Ku dengan suatu (perbuatan) yang Aku sukai
seperti bila ia melakukan yang fardhu yang Aku perintahkan kepadanya. Hamba-Ku
senantiasa (bertaqorrub) mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunah
Syarhul Arba’iina Haditsan an Nawawiyah 59 of 67
Ibnu Daqiqil ‘Ied
hingga Aku mencintainya. Jika Aku telah mencintainya, maka jadilah Aku sebagai
pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar, sebagai penglihatannya yang ia
gunakan untuk melihat, sebagai tangannya yang ia gunakan untuk memegang, sebagai
kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Jika ia memohon sesuatu kepada-Ku, pasti
Aku mengabulkannya dan jika ia memohon perlindungan, pasti akan Aku berikan
kepadanya." ( HR. Imam Bukhari)
Penjelasan :
Pengarang Kitab Al-Ifshah berkata : “Hadits ini mengandung pengertian bahwa Allah
menyampaikan ancaman kepada setiap orang yang memusuhi wali-Nya. Allah
mengumumkan bahwa Dia-lah yang memerangi orang yang menjadi wali-Nya. Wali
Allah yaitu orang yang mengikuti syari’at-Nya, oleh karena itu hendaklah manusia
takut untuk berbuat menyakiti hati wali-wali Allah. Memusuhi disini berarti
menjadikan wali Allah sebagai musuh, yaitu memusuhi seseorang karena dia menjadi
wali Alloh. Adapun jika terjadi perselisihan antara wali Alloh karena memperebutkan
hak, maka hal semacam ini tidak termasuk dalam makna memusuhi yang dimaksud
dalam hadits ini, sebab pernah terjadi perselisihan antara Abu Bakar dan Umar, Abbas
dan Ali dan banyak lagi sahabat yang lain, padahal mereka semua adalah wali-wali
Alloh”
Kalimat, “Hamba-Ku senantiasa (bertaqorrub) mendekatkan diri kepada-Ku dengan
suatu (perbuatan) yang Aku sukai seperti bila ia melakukan yang fardhu yang Aku
perintahkan kepadanya” menyatakan bahwa yang sunnah tidak boleh didahulukan
dari yang wajib. Suatu perbuatan sunnah mestinya dilakukan apabila yang wajib sudah
dilakukan, dan tidak disebut menjalankan yang sunnah sebelum yang wajib dilakukan. Hal
ini ditunjukkan oleh kalimat, “Hamba-Ku senantiasa (bertaqorrub) mendekatkan diri
kepada-Ku dengan amalan-amalan sunah hingga Aku mencintainya” yaitu karena ia
bertaqorrub dengan amalan yang sunnah yang mengiringi amalan yang wajib. Bila
seorang hamba selalu , mendekatkan diri dengan amalan yang sunnah, maka hal itu
akan menjadikannya orang yang dicintai Alloh.
Kemudian kalimat, “Jika Aku telah mencintainya, maka jadilah Aku sebagai
pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar, sebagai penglihatannya yang ia
gunakan untuk melihat, sebagai tangannya yang ia gunakan untuk memegang,
sebagai kakinya yang ia gunakan untuk berjalan” Hal ini merupakan tanda kecintaan
Alloh terhadap orang yang dicintai-Nya, maksudnya orang itu tidak akan mau
mendengar hal-hal yang dilarang oleh syari’at, tidak mau melihat hal-hal yang tidak
dibenarkan oleh syari’at, tidak mau mengulurkan tangannya memegang sesuatu yang
tidak dibenarkan oleh syari’at dan tidak mau melangkahkan kakinya kecuali hanya
kepada hal-hal yang dibenarkan oleh syari’at. Inilah pokok permasalahannya.
Akan tetapi, seringkali ketika seseorang menyebut nama Alloh hingga disebut sebagai
ahli dzikir, sampai ia tidak mau mendengar perkataan orang yang berbicara dengannya,
kemudian orang yang bukan ahli dzikir berusaha mendekat kepada orang yang ahli
dzikir ini, karena ingin menjadikannya sebagai perantara, agar Alloh mendengarkan
permohonan mereka. Begitu pula dengan mubashirot (orang yang merasa dirinya bisa
melihat Alloh), mutanawilat (orang yang merasa dirinya mampu menjangkau Alloh)
dan mas’aa ilaih (orang yang merasa dirinya telah melangkah menuju Alloh)
Syarhul Arba’iina Haditsan an Nawawiyah 60 of 67
Ibnu Daqiqil ‘Ied
Semuanya itu adalah sifat yang mulia. Kita memohon kepada Alloh semoga kita
termasuk kedalam golongan (yang dicintai Alloh) ini.
Kalimat, “Jika ia memohon sesuatu kepada-Ku, pasti Aku mengabulkannya dan jika
ia memohon perlindungan, pasti akan Aku berikan kepadanya” menunjukkan bahwa
seseorang yang telah menjadi golongan yang dicintai Alloh, maka permohonan kepada
Alloh tidak akan terintangi dan Alloh akan memberikan perlindungan kepadanya dari
siapa saja yang menakutinya. Alloh Maha Kuasa untuk memberikan sesuatu kepadanya
sebelum ia memintanya dan memberi perlindungan sebelum ia memohon. Akan tetapi
Alloh senantiasa mendekat kepada hamba-Nya dengan memberi sesuatu kepada orang-
orang yang meminta dan melindungi orang-orang yang meminta perlindungan.
Kalimat pada awal hadits, “maka sesungguhnya Aku menyatakan perang
terhadapnya” maksudnya Aku menyatakan kepada orang yang seperti itu bahwa dia
telah memerangi Aku. Wallahu a’lam.
39.PERILAKU YANG DIAMPUNI
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma, sesungguhnya Rasululloh Shallallahu 'alaihi wa
Sallam telah bersabda : " Sesungguhnya Allah telah mema’afkan kesalahan-kesalahan
uamt-Ku yang tidak disengaja, karena lupa dan yang dipaksa melakukannya" (HR.
Ibnu Majah, Baihaqi dll, hadits hasan)
Penjelasan :
Hadits ini disebutkan dalam tafsir ayat : “Jika kamu melahirkan apa yang ada dihati
kamu atau kamu sembunyikan, maka Allah akan mengadili kamu dengan apa yang
kamu lakukan itu” (QS. 2 : 284)
Ayat ini menyebabkan para sahabat merasa tertekan. Oleh karena itu, Abu Bakar,
‘Umar, ‘Abdurrahman bin ‘Auf, dan Mu’adz bin Jabal beberapa orang mendatangi
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam dan mereka berkata : “Kami dibebani amal
yang tak sanggup kami memikulnya. Sesungguhnya seseorang di antara kami dalam
hatinya ada bisikan yang tidak disenanginya, sekalipun bisikan itu menjanjikan dunia.
Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam lalu menjawab : “Boleh jadi kamu mengucapkan
kalimat seperti yang diucapkan Bani Israil, yaitu kami mau mendengar tetapi kami
akan menentangnya. Karena itu katakanlah : ‘Kami mau mendengar dan mau
menaati”. Hal itu membuat mereka merasa tertekan dan mereka diam untuk sementara.
Lalu Allah memberikan kelonggaran dan rahmat-Nya dengan berfirman : “Allah tidak
membebani seseorang kecuali sesuai kemampuannya. Ia akan mendapatkan pahala
atas usahanya dan mendapatkan siksa atas kesalahannya, (lalu ia berdo’a) : ‘Ya Tuhan
kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau tersalah”. (QS. 2 : 286)
Allah memberikan keringanan dan mansukh (terhapus)lah ayat yang pertama di atas.
Imam Baihaqi berkata bahwa Imam Syafi’i berkata : “Allah berfirman : Kecuali orang
yang dipaksa, sedang hatinya merasa tentram dengan imannya (maka orang semacam
ini tidak berdosa)”.
Ada beberapa hukum bagi sikap kekafiran ketika Allah menyatakan bahwa kekufuran
tidak terdapat pada orang yang dipaksa, maksudnya bahwa menyatakan kekufuran
Syarhul Arba’iina Haditsan an Nawawiyah 61 of 67
Ibnu Daqiqil ‘Ied
secara lisan karena dipaksa tidak dianggap kufur. Jika sesuatu yang lebih berat
dianggap gugur, maka yang lebih ringan lebih patut untuk gugur. Kemudian
disebutkan adanya riwayat dari Ibnu ‘Abbas dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
Sallam : “Sesungguhnya Allah membebaskan umatku (dari dosa) karena keliru atau
lupa atau dipaksa”.
Dan diriwayatkan dari ‘Aisyah, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam, bahwa beliau
bersabda : “Tidak ada thalaq dan pembebasan budak karena pemaksaan”.
Demikianlah pendapat ‘Umar, Ibnu ‘Umar dan Ibnu Zubai.
Tsabit bin Al Ahnaf menikahi perempuan budak yang melahirkan anak milik
‘Abdurrahman bin Zaid bin Khathab. Lalu ‘Abdurrahman memaksa Tsabit dengan teror
dan cemeti untuk menceraikan istrinya pada masa khalifah Ibnu Zubair. Ibnu ‘Umar
berkata kepadanya : “Perempuan itu belum terthalaq dari kamu, karena itu kembalilah
kepada istrimu”. Saat itu Ibnu Zubair di Makkah, maka ia disusul, lalu ia menulis surat
kepada gubernurnya di Madinah. Isi surat tersebut, supaya Tsabit dikembalikan kepada
istrinya dan ‘Abdurrahman bin Zaid dikenai hukuman. Kemudian Shafiyah binti Abu
‘Ubaid, istri ‘Abdullah bin ‘Umar, mempersiapkan upacara walimahnya dan ‘Abdullah
bin ‘Umar menghadiri walimah ini. Wallaahu a’lam.
40. HIDUPLAH LAKSANA SEORANG PENGEMBARA
Dari Ibnu Umar radhiyallahu anhuma, ia berkata : “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
Sallam memegang pundakku, lalu bersabda : Jadilah engkau di dunia ini seakan-akan
sebagai orang asing atau pengembara. Lalu Ibnu Umar radhiyallahu anhuma berkata :
“Jika engkau di waktu sore, maka janganlah engkau menunggu pagi dan jika engkau di
waktu pagi, maka janganlah menunggu sore dan pergunakanlah waktu sehatmu
sebelum kamu sakit dan waktu hidupmu sebelum kamu mati”.
(HR. Bukhari)
Penjelasan :
Imam Abul Hasan Ali bin Khalaf dalam syarah Bukhari berkata bahwa Abu Zinad
berkata : “Hadits ini bermakna menganjurkan agar sedikit bergaul dan sedikit
berkumpul dengan banyak orang serta bersikap zuhud kepada dunia”. Abul Hasan
berkata : “Maksud dari Hadits ini ialah orang asing biasanya sedikit berkumpul dengan
orang lain sehingga dia terasing dari mereka, karena hampir-hampir dia hanya
berkumpul dan bergaul dengan orang ini saja. Ia menjadi orang yang merasa lemah dan
takut. Begitu pula seorang pengembara, ia hanya mau melakukan perjalanan sebatas
kekuatannya. Dia hanya membawa beban yang ringan agar dia tidak terbebani untuk
menempuh perjalanannya. Dia hanya membawa bekal dan kendaraan sebatas untuk
mencapai tujuannya. Hal ini menunjukkan bahwa sikap zuhud terhadap dunia
dimaksudkan untuk dapat sampai kepada tujuan dan mencegah kegagalan, seperti
halnya seorang pengembara yang hanya membawa bekal sekadarnya agar sampai ke
tempat yang dituju. Begitu pula halnya dengan seorang mukmin dalam kehidupan di
dunia ini hanyalah membutuhkan sekadar untuk mencapai tujuan hidupnya.
Syarhul Arba’iina Haditsan an Nawawiyah 62 of 67
Ibnu Daqiqil ‘Ied
Al ‘Iz ‘Ala’uddin bin Yahya bin Hubairah berkata : “Hadits ini menunjukkan bahwa
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam menganjurkan untuk meniru perilaku orang
asing, karena orang asing yang baru tiba di suatu negeri tidaklah mau berlomba di
tempat yang disinggahinya dengan penghuninya dan tidak ingin mengejutkan orang
lain dengan melakukan hal-hal yang menyalahi kebiasaan mereka misalnya dalam
berpakaian, dan tidak pula menginginkan perselisihan dengan mereka. Begitu pula para
pengembara tidak mau membuat rumah atau tidak pula mau membuat permusuhan
dengan orang lain, karena ia menyadari bahwa dia tinggal bersama mereka hanya
beberapa hari. Keadaan orang merantau dan pengembara semacam ini dianjurkan
untuk menjadi sikap seorang mukmin ketika hidup di dunia, karena dunia bukan
merupakan tanah air bagi dirinya, juga karena dunia membatasi dirinya dari negerinya
yang sebenarnya dan menjadi tabir antara dirinya dengan tempat tinggalnya yang
abadi.
Adapun perkataan Ibnu Umar “Jika engkau di waktu sore, maka janganlah engkau
menunggu pagi dan jika engkau di waktu pagi, maka janganlah menunggu sore”
merupakan anjuran agar setiap mukmin senantiasa siap menghadapi kematian, dan
kematian itu dihadapi dengan bekal amal shalih. Ia juga menganjurkan untuk
mempersedikit angan-angan. Janganlah menunda amal yang dapat dilakukan pada
malam hari sampai datang pagi hari, tetapi hendaklah segera dilaksanakan. Begitu pula
jika berada di pagi hari, janganlah berbiat menunda sampai datang sore hari dan
menunda amal di pagi hari samapi datang malam hari.
Kalimat “pergunakanlah waktu sehatmu sebelum kamu sakit” menganjurkan agar
mempergunakan saat sehatnya dan berusaha dengan penuh kesungguhan selama masa
itu karena khawatir bertemu dengan masa sakit yang dapat merintangi upaya beramal.
Begitu pula “waktu hidupmu sebelum kamu mati” mengingatkan agar
mempergunakan masa hidupnya, karena angan-angannya lenyap, serta akan muncul
penyesalan yang berat karena kelengahannya sampai dia meninggalkan kebaikan.
Hendaklah ia menyadari bahwa dia akan menghadapi masa yang panjang di alam
kubur tanpa dapat beramal apa-apa dan tidak mungkin dapat mengingat Allah. Oleh
karena itu, hendaklah ia memanfaatkan seluruh masa hidupnya itu untuk berbuat
kebajikan. Alangkah padatnya Hadits ini, karena mengandung makna-makna yang baik
dan sangat berharga.
Sebagian ulama berkata : “Allah mencela angan-angan dan orang yang panjang angan-
angan”.
Firman-Nya : “Biarkanlah mereka (orang-orang kafir) makan dan bersenang-senang
serta dilengahkan oleh angan-angan, maka kelak mereka akan mengetahui
akibatnya”. (QS. 15 : 3)
Ali bin Abu Thalib berkata : “Dunia berjalan meninggalkan (manusia) sedangkan
akhirat berjalan menjemput (manusia) dan masing-masingnya punya penggemar,
karena itu jadilah kamu penggemar akhirat dan jangan menjadi penggemar dunia.
Sesungguhnya masa ini (hidup di dunia) adalah masa beramal bukan masa peradilan,
sedangkan besok (hari akhirat) adalah masa peradilan bukan masa beramal”.
Anas berkata bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam pernah membuat beberapa
garis, lalu beliau bersabda : “Ini adalah mannusia dan ini adalah angan-angannya dan
Syarhul Arba’iina Haditsan an Nawawiyah 63 of 67
Ibnu Daqiqil ‘Ied
ini adalah ajalnya ketika ia berada dalam angan-angan tiba-tiba datang kepadanya
garisnya yang paling dekat (yaitu ajalnya)”.
Hadits ini memperingatkan agar orang mempersedikit angan-angan karena takut
kedatangan ajalnya yang tiba-tiba dan selalu ingat bahwa ajalnya telah dekat. Barang
siapa yang mengabaikan ajalnya, maka patutlah dia didatangi ajalnya dengan tiba-tiba
dan diserang ketika ia dalam keadaan terperdaya dan lengah, karena manusia itu sering
terperdaya oleh angan-angannya.
Abdullah bin Umar berkata : “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam melihat aku
ketika aku dan ibuku sedang memperbaiki salah satu pagar milikku. Beliau bertanya:
‘sedang melakukan apa ini wahai Abdullah?’
Saya jawab : ‘Wahai Rasulullah, telah rapuh pagar ini, karena itu kami
memperbaikinya’. Lalu beliau bersabda : ‘Kehidupan ini lebih cepat dari rapuhnya
pagar ini’.
Kita memohon kepada Allah semoga kita dirahmati dan dijadikan orang yang zuhud
terhadap kehidupan dunia dan menjadikan kita bersemangat mengejar apa yang ada di
sisi-Nya dan menjadikan kita memperoleh kesenangan di hari kiamat. Sesungguhnya
Dia adalah Tuhan yang Maha Dermawan, Maha Pemurah, Maha Pengampun dan Maha
Belaskasih.
Wallahu a’lam
41. MENUNDUKKAN HAWA NAFSU
Dari Abu Muhammad, Abdullah bin Amr bin Al ‘Ash radhiyallahu anhuma, ia berkata :
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam telah bersabda : “Tidak sempurna iman
seseorang di antara kamu sehingga hawa nafsunya tunduk kepada apa yang telah
aku sampaikan”. (Hadits hasan shahih dalam kitab Al Hujjah)
Penjelasan :
Hadits ini semakna dengan firman Allah : “Demi Tuhanmu, mereka tidak dikatakan
beriman sebelum mereka berhukum kepada kamu mengenai perselisihan sesama
mereka dan mereka tidak merasa berat hati atas keputusan kamu serta menerima
dengan pasrah sepenuhnya”. (QS. 4 : 65)
Sebab turunnya ayat ini ialah karena Zubair bersengketa dengan seorang sahabat dari
golongan Anshar dalam perkara air. Kedua orang ini datang kepada Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa Sallam untuk mendapatkan keputusan. Lalu Nabi Shallallahu
'alaihi wa Sallam bersabda : “Wahai Zubair, alirkanlah dan tuangkanlah air kepada
tetanggamu itu”.
Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam menganjurkan kepada Zubair untuk bersikap
memudahkan dan toleransi. Akan tetapi, sahabat Anshar itu berkata : “Apakah karena
dia anak bibimu?” Maka merahlah wajah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam
Syarhul Arba’iina Haditsan an Nawawiyah 64 of 67
Ibnu Daqiqil ‘Ied
kemudian sabda beliau : “Wahai Zubair, tutuplah alirannya sampai airnya naik ke
atas pagar kemudian biarkanlah hingga tumpah”.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam melakukan hal semacam itu untuk memberi
isyarat kepada Zubair bahwa apa yang diputuskan beliau mengandung mashlahat bagi
golongan Anshar. Tatkala orang Ashar memahami sabda Nab Shallallahu 'alaihi wa
Sallam itu, maka Zubair menyadari apa yang menjadi hak dan kewajibannya. Karena
kejadian itulah ayat ini turun.
Hadits yang shahih dari Nabi , beliau bersabda : “Demi diriku yang ada di dalam
kekuasaan-Nya, seseorang di antara kamu tidak dikatakan beriman sebelum ia
mencintai aku lebih dari cintanya kepada bapaknya, anaknya, dan semua manusia”.
Abu Zinad berkata : “Hadits ini termasuk kalimat pendek yang padat berisi, karena di
dalam kalimat ini digunakan kalimat yang singkat tetapi maknanya luas. Cinta itu ada
tiga macam, yaitu cinta yang didorong oleh rasa menghormati dan memuliakan seperti
cinta kepada orang tua, cinta didorong oleh kasih sayang seperti mencintai anak dan
cinta karena saling mengharapkan kebaikan seperti mencintai orang lain”.
Ibnu Bathal berkata : “Hadits di atas maksudnya ---Wallaahu a’lam--- adalah barang
siapa yang ingin imannya menjadi sempurna, maka ia harus mengetahui bahwa hak
dan keutamaan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam lebih besar daripada hak
bapaknya, anaknya dan semua manusia, karena melalui Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa Sallam inilah Allah menyelamatkan dirinya dari neraka dan memberinya petunjuk
sehingga terjauh dari kesesatan. Jadi, maksud Hadits di atas adalah mengorbankan diri
dan jiwa untuk membela Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam berperang melawan
bapak mereka atau anak mereka atau saudara mereka (yang melawan Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa Sallam). Abu Ubaidah telah membunuh bapaknya karena
menyakiti Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam. Abu Bakar menghadapi anaknya,
Abdurrahman, dalam perang Badar dan hampir saja anak itu dibunuhnya. Barang siapa
melakukan hal semacam ini, sungguh ia dapat dikatakan kemauan-kemauannya
tunduk kepada apa yang diajarkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam kepadanya.
42. ALLAH MENGAMPUNI SEGALA DOSA ORANG YANG TIDAK
BERBUAT SYIRIK
Dari Anas radhiyallahu anhu, ia berkata : Saya telah mendengar Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa Sallam bersabda : Allah ta’ala telah berfirman : “Wahai anak Adam, selagi
engkau meminta dan berharap kepada-Ku, maka Aku akan mengampuni dosamu
dan Aku tidak pedulikan lagi. Wahai anak Adam, walaupun dosamu sampai setinggi
langit, bila engkau mohon ampun kepada-Ku, niscaya Aku memberi ampun
kepadamu. Wahai anak Adam, jika engkau menemui Aku dengan membawa dosa
sebanyak isi bumi, tetapi engkau tiada menyekutukan sesuatu dengan Aku, niscaya
Aku datang kepadamu dengan (memberi) ampunan sepenuh bumi pula”. (HR.
Tirmidzi, Hadits hasan shahih)
Penjelasan :
Hadits ini berisikan kabar gembira, belas kasih dan kemurahan yang besar. Tidak
terhitung banyaknya karunia, kebaikan, belas kasih dan pemberian Allah kepada
Syarhul Arba’iina Haditsan an Nawawiyah 65 of 67
Ibnu Daqiqil ‘Ied
hamba-Nya. Yang semakna dengan Hadits ini adalah sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa
Sallam : “Allah lebih bergembira atas tobat seorang hamba-Nya daripada (kegembiraan)
seseorang di antara kamu yang menemukan kembali hewannya yang hilang”.
Dari Abu Ayyub ketika ia hendak wafat ia berkata : Saya telah merahasiakan dari kalian
sesuatu yang pernah aku dengar dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam, yaitu
saya mendengar beliau bersabda : “Sekiranya kamu sekalian tidak mau berbuat dosa,
niscaya Allah akan menggantinya dengan makhluk lain yang mau berbuat dosa, lalu
Allah memberi ampun kepada mereka”.
Juga banyak Hadits lain yang semakna dengan Hadits ini.
Sabda beliau “wahai anak Adam, selagi engkau meminta dan berharap kepada-Ku”
semakna dengan sabda beliau : “Aku senantiasa mengikuti anggapan hamba-Ku
kepada-Ku. Oleh karena itu, hendaknya ia mempunyai anggapan kepada-Ku sesuai
kesukaannya”.
Telah disebutkan bahwa bila seorang hamba (manusia) telah berbuat dosa kemudian
menyesal, misalnya dengan mengatakan : “Wahai Tuhanku, aku telah berbuat dosa,
karena itu ampunilah aku. Tidak ada yang dapat mengampuni dosa-dosaku kecuali
Engkau”. Maka Allah akan menjawab : “Hamba-Ku mengakui bahwa dia mempunyai
Tuhan yang mengampuni dosanya dan menghukum kesalahannya, karena itu Aku
persaksikan kepada kamu sekalian bahwa Aku telah memberikan ampunan
kepadanya”. Kemudian hamba itu berbuat seperti itu kedua atau ketiga kalinya, lalu
Allah menjawab seperti itu setiap kali terulang kejadian itu. Kemudian Allah berfirman:
“Berbuatlah sesukamu, karena Aku telah mengampuni kamu” maksudnya ketika
kamu berbuat dosa kemudian kamu mohon ampun.
Ketahuilah, syarat bertobat itu ada tiga, yaitu meninggalkan perbuatan maksiatnya,
menyesali yang sudah terjadi dan bertekad tidak akan mengulangi. Jika kesalahan itu
berkaitan dengan sesama manusia, maka hendaklah ia segera menunaikan apa yang
menjadi hak orang lain atau minta dihalalkan. Jika berkaitan dengan Allah, sedangkan
di dalam urusan tersebut ada sanksi kafarat, maka hendaklah ia segera menunaikan
pembayaran kafarat. Ini adalah syarat keempat. Sekiranya seseorang mengulangi
dosanya berkali-kali dalam satu hari dan ia melakukan tibat sesuai dengan syarat
tersebut, maka Allah akan mengampuni dosanya.
Sabda beliau (Allah berfirman) : “maka Aku akan mengampuni dosamu dan Aku tidak
pedulikan lagi” maksudnya engkau mengulangi perbuatan dosa kamu dan Aku tidak
mempermasalahkan dosa-dosamu itu.
Sabda beliau (Allah berfirman) : “Wahai anak Adam, walaupun dosamu sampai
setinggi langit, bila engkau mohon ampun kepada-Ku, niscaya Aku memberi ampun
kepadamu” maksudnya adalah sekiranya dosa beberapa orang dikumpulkan,
kemudian memenuhi ruang antara langit dan bumi. Hal ini menunjukkan seberapa pun
besarnya dosa, tetapi kemurahan, belas kasih Allah pengampunan-Nya jauh lebih luas
dan lebih besar, sehingga tidak berimbang antara dosa dan pengampunan dan siat
keagungan Allah ini tidak terhingga, sehingga dosa yang memenuhi alam ini tidak
mengalahkan sifat pemurah dan pengampunan-Nya.
Syarhul Arba’iina Haditsan an Nawawiyah 66 of 67
Sabda beliau (Allah berfirman) : “Wahai anak Adam, jika engkau menemui Aku
dengan membawa dosa sebanyak isi bumi, tetapi engkau tiada menyekutukan
sesuatu dengan Aku, niscaya Aku datang kepadamu dengan (memberi) ampunan
sepenuh bumi pula” maksudnya adalah engkau datang kepada-Ku dengan membawa
dosa-dosa sebesar bumi.
Kalimat “kemudian engkau menemui Aku” maksudnya engkau mati dalam keadaan
beriman, tanpa sedikit pun menyekutukan Aku dengan apa pun tiada rasa senang bagi
orang mukmin yang melebihi rasa senangnya saat ia bertemu Tuhannya. Allah
berfirman : “Sungguh, Allah tidak mengampuni orang yang menyekutukan-Nya,
tetapi mengampuni dosa selain dari itu kepada siapa yang dikehendaki”. (QS 4 : 48)
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda : “Tidaklah dikatakan terus-menerus
berbuat dosa orang yang mau meminta ampun, sekalipun dia mengulangi tujuh
puluh kali dalam sehari”.
Abu Hurairah berkata bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda :
“Mempunyai anggapan baik kepada Allah termasuk beribadah yang baik kepada
Allah”.
0 komentar:
Posting Komentar