Pola pemikiran Sufi itu terutama sesuai dengan bidang komunikasi massa, karena
setiap upayanya bertujuan meyakinkan masyarakat bahwa mereka menginginkan
atau membutuhkan beberapa hal, bahwa mereka seharusnya mempercayai
beberapa hal. Akibatnya mereka seharusnya melakukan beberapa hal yang
diinginkan oleh para manipulator mereka.
Sang Sufi berbicara tentang sari anggur, hasil dari buah anggur dan potensi
rahasianya, sebagai sarana baginya untuk mencapai "kemabukan". Buah anggur
dipandang sebagai bahan mentah minuman anggur. Sementara buah-buah anggur
itu adalah ibarat dari agama biasa dan minuman anggur adalah inti agama. Oleh
karena itu, empat pengembara itu dianggap sebagai manusia biasa dengan agama
yang berbeda-beda. Sufi menunjukkan kepada mereka bahwa dasar agama
sebenarnya sama. Namun ia tidak menawarkan saripati anggur kepada mereka,
yaitu esensi agama, ajaran batiniah yang ditangguhkan pengajarannya dan hanya
digunakan dalam mistisisme. Ini adalah suatu bidang yang lebih matang
dibandingkan agama yang mapan. Bidang ini berada di jenjang berikutnya. Namun
peran Sufi sebagai pelayan kemanusiaan ditunjukkan bahwa meskipun ia berada
pada tingkat lebih tinggi, ia membantu agamawan formal semampunya, dengan
menunjukkan identitas fundamental dari kepercayaan agama. Tentu saja ia
melanjutkan pada pembahasan tentang berbagai manfaat saripati anggur itu.
Namun apa yang dibutuhkan para pengembara itu adalah buah anggur, sehingga
mereka hanya menerima buah anggur. Menurut Sufi, bilamana pertikaian tentang
persoalan-persoalan yang lebih kecil mereda, maka pengajaran yang lebih agung
bisa diberikan. Untuk itu beberapa ajaran awal harus diberikan.
Sementara orang yang belum tercerahkan tidak pernah begitu memahami dengan
jelas apa dasar utama mistisisme itu.
Dalam sebuah versi kisahnya (Matsnawi, Buku II), Rumi menyinggung sistem latihan
Sufi itu ketika ia menyatakan bahwa anggur-anggur yang diperas bersama-sama
akan menghasilkan satu sari buah -- anggur Sufisme.
www.tris.co.nr
38
Mahkota Sufi – Menembus Dunia Ekstra Dimensi
Para Sufi seringkali memulai ajarannya dari sudut pandang non-religius.6 Menurut
mereka, jawabannya ada di dalam pikiran manusia sendiri. Pikiran ini harus
dibebaskan, sehingga melalui pengetahuan-diri, intuisi menjadi pemandu bagi
penyempurnaan manusia. Langkah lain yaitu metode latihan, hanya akan menekan
dan menenangkan intuisi. Kemanusiaan ini dibawa ke dalam kondisi binatang oleh
sistem non-Sufi, bila dikatakan bahwa seseorang yang mempunyai pilihan berbuat
dan berpikir adalah manusia bebas.
Sufi adalah individu yang percaya bahwa melalui ketakberpihakan yang lentur dan
identifikasi kehidupan, ia akan menjadi bebas. Ia adalah seorang mistikus, karena
percaya bahwa dirinya bisa menyesuaikan diri dengan tujuan kehidupan. Ia adalah
praktisi, karena percaya bahwa proses itu harus dijalankan dalam masyarakat
biasa. Ia harus melayani kemanusiaan karena ia adalah bagian darinya. At-Tughrai
yang agung, tokoh Sufi sezaman dengan Omar Khayyam, menulis peringatan
berikut ini pada tahun 1111 M.: "Wahai manusia, ilmu itu banyak sekali
mengandung informasi untuk memahami rahasia-rahasia; simaklah, karena diam
berarti selamat -- 'Mereka telah membantumu mencapai sebuah tujuan, sehingga
engkau benar-benar memahaminya. Hati-hatilah terhadap mereka sendiri, agar
engkau tidak memberi makan kambing yang hilang'." Bagian ini diterjemahkan
Edward Pococke pada tahun 1661.
Agar upaya itu berhasil, ia harus mengikuti metode yang telah dipikirkan oleh para
guru terdahulu, yaitu metode melepaskan berbagai latihan yang mengungkung
sebagian besar masyarakat dalam lingkungan dan dampak pengalaman mereka
sendiri. Latihan-latihan dari para Sufi itu dikembangkan melalui interaksi dua hal --
intuisi dan perubahan aspek-aspek kehidupan manusia. Sementara
keanekaragaman metode intuitif itu mengesankan kemandiriannya dalam berbagai
masyarakat dan setiap zaman. Ini bukan tidak konsisten, karena intuisi sejati itu
sendiri selalu konsisten.
Sufi dapat hidup di zaman dan tempat manapun. Mereka tidak perlu meninggalkan
dunia, berbagai gerakan terorganisir atau dogma. Kehidupan mereka menyatu
dengan kemanusiaan. Oleh karena itu, pemikiran mereka secara akurat tidak dapat
diistilahkan sebagai sistem dari Timur. Pemikiran mereka telah mempengaruhi
secara mendalam baik di Timur maupun dasar-dasar peradaban Karat tempat
sebagian besar kita hidup di dalamnya -- perpaduan orang Kristen, Yahudi, Muslim
dan warisan Timur Dekat atau Mediterania yang biasa disebut "Barat".
Menurut para Sufi, ummat manusia selamanya dapat disempumakan.
Kesempurnaan itu dicapai melalui penyesuaian dengan keseluruhan eksistensi.
Kehidupan fisik dan mental akan berpadu bila benar-benar ada keseimbangan yang
sempurna di antara keduanya. Sementara sistem-sistem yang mengajarkan
pemisahan dari dunia ini dianggap sebagai tidak seimbang.
Latihan-latihan fisik itu berkaitan dengan pola-pola teoritis. Dalam psikologi Sufi,
ada hubungan penting, misalnya antara ajaran Tujuh Jenjang Manusia7 dengan
integrasi kepribadian; dan antara gerakan, pengalaman dengan pencapaian
progresif pada personalitas yang lebih tinggi.
www.tris.co.nr
39
Mahkota Sufi – Menembus Dunia Ekstra Dimensi
Kapan dan di mana pemikiran Sufi dimulai? Bagi mayoritas Sufi, pertanyaan ini
kurang begitu relevan bagi aktivitas mereka. "Tempat" Sufisme di dalam
kemanusiaan. "Tempat" karpet ruang tamu Anda berada di lantai rumah Anda --
bukan di Mongolia, meskipun asal-usulnya dari sana.
"Praktek Sufi sangat sublim untuk dicari asal-usulnya," kata kitab Asrar al-Qadim
wal-Qadim (Rahasia-rahasia Masa Lampau dan Masa Depan). Namun selama kita
ingat bahwa sejarah kurang penting dibandingkan masa kini dan masa depan, maka
ada banyak bahan untuk dikaji dari tinjauan penyebaran trend Sufi modern sejak
tradisi ini menyebar dari daerah-daerah yang ter-Arab-kan sekitar empat belas
abad yang lalu. Dengan memandang sekilas periode perkembangan ini, para Sufi
menunjukkan bagaimana dan mengapa risalah penyempurnaan diri itu bisa
diterapkan pada setiap bentuk masyarakat dan terlepas dari agama nominal atau
komitmen sosial.
Sufisme dipercaya oleh para pengikutnya sebagai ajaran batiniah, ajaran "rahasia"
yang terkandung dalam setiap agama. Lantaran dasar-dasarnya terdapat dalam
setiap pikiran manusia, maka perkembangan Sufi niscaya menemukan
pengungkapannya di mana saja. Periode historis ajaran ini bermula dengan ledakan
Islam dari padang pasir Arabia ke masyarakat-masyarakat mapan di Timur Dekat.
Menjelang pertengahan abad ketujuh, ekspansi Islam ke luar perbatasan Arabia
merupakan sebuah tantangan dan segera menjatuhkan kerajaan-kerajaan di Timur
Tengah. Sementara setiap kerajaan telah mempunyai tradisi yang patut dihargai
dalam bidang politik, militer dan agama. Pasukan Islam pada mulanya terdiri dari
kaum Badui, namun kemudian merekrut dari suku-suku lain. Mereka telah
menyerang wilayah utara, timur dan barat. Para Khalifah telah mewariskan tanah-
tanah Ibrani, Byzantium, Persia dan Graeco-Budhis. Para penakluk ini telah
mencapai wilayah selatan Perancis di Barat dan lembah Indus di Timur. Penaklukan
militer, politik dan keagamaan dari pusat negara-negara dan masyarakat Muslim itu
kini meluas sejak dari Indonesia di Samudera Pasifik sampai Maroko di Samudera
Atlantik.
Dari latar belakang inilah para Sufi menjadi terkenal di Barat. Mereka
mempertahankan suatu bentuk ajaran yang menghubungkan masyarakat spiritual
sejak dari Timur Jauh sampai Barat terjauh.
Para Khalifah awal sendiri telah memiliki kekuasaan wilayah lebih dari berjuta-juta
ini, kekayaan yang sangat berlimpah, supremasi politik atas wilayah-wilayah
terkenal pada Abad Pertengahan. Pusat-pusat pengetahuan kuno, terutama sekolah
tradisional untuk pengajaran mistik, hampir semuanya jatuh ke tangan mereka.
Afrika, masyarakat Mesir kuno termasuk Alexandria [Iskandariah] dan wilayah Barat
terjauh, Chartage, tempat St. Agustinus mempelajari dan menyebarkan ajaran-
ajaran esoteris pra-Kristiani.8 Demikian pula Palestina dan Syria sebagai kampung
halaman ajaran-ajaran rahasia; Asia Tengah tempat para pengikut Budha sangat
berakar kuat, India Barat Laut dengan latar belakang mistisisme dan pengalaman
agama yang patut dihargai -- semuanya berada dalam imperium Islam.
Di pusat-pusat inilah kalangan mistik Arab mengadakan perjalanan yang pada masa
kuno dikenal dengan orang-orang yang mendekatkan diri (muqarribun) kepada Dzat
www.tris.co.nr
40
Mahkota Sufi – Menembus Dunia Ekstra Dimensi
Transenden. Mereka percaya bahwa secara esensial ada kesatuan di antara ajaran
batiniah dari semua agama. Seperti John the Baptist, mereka mengenakan pakaian
dari kulit unta, dan karena inilah mereka dikenal sebagai Sufi (Orang-orang yang
mengenakan pakaian wool), meskipun hal ini bukan alasan satu-satunya. Sebagai
dampak dari hubungan dengan kalangah Hanif itu,9 maka setiap pusat pengajaran
tradisi rahasia kuno menjadi kubu Sufi. Kesenjangan antara tradisi dan praktek
rahasia dari penganut Kristen, Zoroaster, Yahudi, Hindu, Budha dan lainnya
dijembatani. Proses ini, yaitu titik pertemuan esensi ajaran itu, tidak pernah
dipahami oleh kalangan non-Sufi sebagai suatu realitas. Oleh karena pengamat
semacam ini ternyata tidak mungkin menyadari bahwa Sufi melihat dan
menghubungkan aliran Sufi dalam setiap budaya, laksana seekor lebah mengisap
berbagai bunga tanpa menjadi bunga. Bahkan penggunaan terminologi "pertemuan"
untuk menunjukkan fungsi itu sangat tidak dipahami.10
Mistisisme Sufi secara mendasar berbeda dengan kultus-kultus lain yang mengklaim
sebagai kultus mistik. Bagi Sufi, agama formal adalah semacam kerangka untuk
menjalankan sebuah fungsi, meskipun sebagai kerangka asli. Ketika kesadaran
manusia itu menyebar melampaui kerangka sosial itu (agama formal), Sufi tetap
memahami tujuan agama yang sejati. Sementara persuasi kalangan mistik lainnya
sama sekali tidak berpikir dengan pola pemikiran ini. Mereka mungkin bisa
melampaui bentuk-bentuk lahiriah agama, namun mereka tidak memperhatikan
fakta bahwa agama lahiriah hanyalah semacam pengantar pada pengalaman khas.
Mayoritas orang yang telah mencapai ekstase masih tetap terikat pada simbolisasi
yang mempesonakan dari beberapa konsep yang diderivasi dari agama mereka. Sufi
menggunakan agama dan psikologi untuk melampaui semua ini. Dengan demikian,
Sufi "kembali ke dunia" untuk membimbing sesamanya di jalan itu.
Profesor Nicholson menekankan visi agama ini dari sudut pandang obyektif, dengan
menterjemahkan syair Rumi berikut ini:11
Jika ada pecinta di dunia ini wahai Muslim, itulah Aku.
Jika ada mukmin atau pertapa Kristiani, itulah Aku.
Ampas anggur; pelayan kedai minuman, meja, harpa dan musik,
Kekasih, lilin, minuman dan senda-gurau pemabuk, itulah Aku.
Tujuh puluh dua kredo dan sekte di dunia ini,
Sebenarnya tidak ada: Aku bersumpah demi Tuhan bahwa
setiap kredo dari sekte, itulah Aku.
Tanah, udara, air dari api, duhai, tubuh dan jiwa, itulah Aku.
Benar dan salah, baik dan buruk, mudah dan sulit dari
awal hingga akhir, itulah Aku.
Pengetahuan, ilmu, asketisme, kesalehan dan iman, itulah Aku.
Api neraka, tentu saja dengan apinya yang berkobar-kobar,
Ya, surga, Eden dan Bidadari, itulah Aku.
Bumi dan langit dengan segala isinya, itulah Aku.
Malaikat, Peri, Jin, dan Manusia, itulah Aku.
Rumi telah membongkar batas-batas kesadaran biasa. Kini ia dapat melihat segala
sesuatu secara nyata, untuk memahami afinitas dan kesatuan dari segala sesuatu
yang tampak berbeda, memahami peran manusia dan terutama peran Sufi. Ini
www.tris.co.nr
41
Mahkota Sufi – Menembus Dunia Ekstra Dimensi
adalah pemahaman yang jauh lebih mendalam dibandingkan apa yang biasanya
disebut mistisisme.
Di hadapan sebagian besar Muslim fanatik yang bersemangat dan berjaya, memang
rawan bila mengklaim sebagaimana dilakukan para Sufi bahwa realisasi manusia
hanya berasal dari dalam dan tidak semata melakukan beberapa dan serta
meninggalkan beberapa hal lainnya. Pada saat yang sama, Sufi berpendirian bahwa
mistisisme harus dilepaskan dari sifatnya yang sangat rahasia, jika ingin menjadi
kekuatan yang dapat melampaui setiap kemanusiaan.
Dalam tradisi mereka sendiri, para Sufi memandang diri mereka sendiri sebagai
pewaris suatu ajaran tunggal -- yang terpecah menjadi begitu banyak segi -- yang
berguna sebagai sarana pengembangan manusia. "Sebelum kebun, tanaman dan
buah anggur tercipta di dunia ini," tulis seorang Sufi, " jiwa kami telah mabuk
karena sari anggur abadi."
Dasar penyebaran pemikiran dan praktek Sufi diletakkan oleh para guru periode
klasik -- mungkin dilakukan sekitar delapan ratus tahun pertama setelah lahirnya
Islam -- kira-kira antara tahun 700 M. sampai 1500 M. Sufisme didasarkan pada
cinta, dipraktekkan melalui dinamika cinta dan memanifestasikan dirinya melalui
kehidupan manusia, Puisi dan karya.
Karena para Sufi memandang Islam sebagai suatu manifestasi ketinggian esensi
ajaran transendental, di sana tiada konflik antara Islam dan Sufisme. Sufisme telah
mengambil dan memberi realitas batin Islam, seperti halnya setiap agama lainnya
dan tradisi asli dalam aspek yang lama.
Dalam Rubaiyat-nya, Sufi besar Omar Khayyam menekankan bahwa pengalaman
batiniah ini tidak mempunyai hubungan nyata dengan teologi yang dianggap orang
secara keliru sebagai agama yang sebenarnya:
Di sel dan altar di biara dan sinagog,
Sebagian takut akan neraka, yang lain mendambakan surga.
Namun tak seorang pun mengetahui rahasia ketuhanan,
Sehingga hatinya mempunyai pandangan seperti itu.
Tahap untuk ikut serta dalam apa yang disebut Sufisme berbeda-beda dari segi
iklim dan lingkungan, namun identik dari segi kesinambungan ajaran. Agamawan
yang kaku dan formalis tidak mungkin mengakui hal ini, namun mereka relatif tidak
penting. "Barangsiapa dapat melihat semua (segi) lukisan, ia akan dapat memahami
atau mengungkapkannya." Prof. E.G. Browne menyatakan, "Bahkan asal-usul para
Sufi sangat berbeda satu sama lain, karena sistem mereka pada hakikatnya
individualistik dan kurang tertarik pada propaganda. Arif, gnostik atau manusia
Bijak yang sangat maju itu telah melalui berbagai jenjang dan serangkaian latihan
di bawah bimbingan para pir, mursyid atau pembimbing spiritual, sebelum ia
mencapai tingkat gnosis (irfan) yang dipandang oleh semua agama kurang lebih
sebagai ungkapan kabur dari Kebenaran mendasar dan agung. Dari sinilah ia pada
akhirnya mencapai penyatuan dengan Kebenaran. Ia juga tidak pernah dapat dan
berkeinginan menyusunnya untuk menyampaikan konsepsinya tentang Kebenaran
www.tris.co.nr
42
Mahkota Sufi – Menembus Dunia Ekstra Dimensi
itu kepada siapa pun kecuali kepada sebagian kecil orang yang dengan latihan
serupa siap menerimanya."12
Kadangkala orang yang mempunyai pola pikir konvensional sulit untuk memahami
bagaimana aturan tindakan esensial Sufi itu mempunyai pengaruh yang luas.
Karena Sufisme bisa eksis dalam Islam seperti dalam agama lainnya, maka dengan
mudah ia dapat diajarkan melalui Islam. Perlu dicatat bahwa dua buku ikhtisar
teologis dan legalistik, tentu saja dalam upaya mempublikasikan Sufisme sebagai
ortodoksi agama, telah ditulis oleh para tokoh Sufi -- Kitab Ta'aruf dari Kalabadzi
al-Bukhari (w. 995) dan risalah Sufi Persia yang pertama, Kasyful-Mahjub karya
Hujwiri (w. 1063). Kedua pengarang ini mempunyai kedudukan tertinggi dalam
peringkat Sufi, namun masing-masing berbicara layaknya seorang pengamat, bukan
sebagai pemula. Omar Khayyam juga seringkali berbuat demikian dalam membahas
mistifikasi dari para komentator literalis yang percaya begitu saja pada puisi-
puisinya. Para pengarang ini sangat memahami makna-makna rahasia. Mereka tidak
pernah mereproduksi terjemahan. Oleh karena itu, memang benar bila Tarekat-
tarekat Sufi Abad Pertengahan berkarya dengan cara itu. Mereka tetap
melanjutkan kegiatannya yang secara umum dianggap sah dalam dunia Islam.
Namun sebagaimana beberapa Sufi mencatat, "Sufisme secara eksklusif diajarkan
sekaligus melalui tanda-tanda." Hasil akhir, yaitu Manusia Sempurna, juga dapat
dicapai melalui kedua langkah itu. Simbolisme dan serangkaian pengalaman yang
bertempat dalam Islam dan sistem lainnya yang berpadu melalui praktek Sufi itu
adalah masalah lain, yang hanya bisa diberikan kepada para praktisi yang
terkandung dalam diktum, "Barangsiapa mengalami, ia mengetahui."
Meskipun banyak penjelasan telah diberikan -- dengan berbagai alasan -- untuk
mengadopsi istilah "Sufi", ada suatu istilah penting yang diajarkan kepada para
pengikut mistik ini -- yaitu istilah yang mengandung konsep Cinta dengan kata
sandi. Demikian pula metode pemakaian sandi, saat ini menggunakan bahasa sandi
konvensional, adalah kata-kata yang lebih lanjut dan mengandung pesan penting
serta singkat. Sandi berfungsi melampaui dan meluruskan, sebagai pusaka dan bisa
memenuhi kebutuhan dalam atau pada saat yang tepat. Jadi Sufisme adalah
semacam filsafat transendental yang meluruskan dan diturunkan dari ajaran masa
lampau serta sesuai dengan masyarakat kontemporer.
Tujuan semua agama adalah pengembangan kemanusiaan. Bagi Sufi, evolusi
Sufisme ada dalam dirinya sendiri dan dalam hubungannya dengan masyarakat.
Perkembangan masyarakat dan nasib setiap makhluk -- bahkan termasuk makhluk
tak hidup berkaitan dengan nasib Sufi. Selama beberapa waktu ia mungkin harus
mengasingkan diri dari masyarakat -- selama beberapa saat, sebulan atau bahkan
lebih -- namun pada akhirnya ia menyatu dengan keseluruhan yang abadi. Oleh
karena itu peran Sufi sangat luas, tindakan dan kehadirannya akan tampak
beragam sesuai dengan tuntutan kemanusiaan dan ekstra kemanusiaan. Jalaluddan
Rumi menekankan ciri evolusioner dari upaya manusia yang berlaku baik pada
individu maupun masyarakat. Ia menulis, "Aku mati sebagai materi yang kasar dan
hidup sebagai tumbuhan. Aku mati sebagai tumbuhan dan hidup sebagai binatang.
Aku mati sebagai binatang, lalu sebagai manusia. Jadi mengapa aku harus takut
kehilangan karakter 'kemanusiaanku'? Aku akan mati sebagai manusia, untuk
bangkit dalam bentuk 'malaikat' ..." (Matsnawi, III, Kisah XVII).
www.tris.co.nr
43
Mahkota Sufi – Menembus Dunia Ekstra Dimensi
Sesuai dengan pola Sufi, pendirian ini menjelaskan berbagai perilaku dan sikap
para Sufi. Sambil menyesuaikan diri dengan realitas-realitas masyarakat, para Sufi
periode awal Islam menekankan kepentingan mengasingkan diri dan disiplin --
faktor-faktor yang sangat merintangi ekspansi dan kemakmuran masyarakat yang
tengah menyusun basis kemenangan militer di Timur Dekat. Sejarawan biasa
melalaikan fakta ini dan konsekuensinya mereka mengamati para Sufi secara
historis. Dalam hal ini mereka percaya bahwa mereka bisa memaparkan
perkembangan independen dari para penganut Sufisme, misalnya Rabi'ah al-
'Adawiyah (w. 802), perempuan Sufi yang konon menekankan ajarannya pada Cinta
(Ilahi) dan Abu al-Husain an-Nuri (w. 907) dengan ajarannya tentang pengasingan
diri dari dunia. Kemudian dari satu titik tolak lebih lanjut, kita dikenalkan dengan
pandangan hidup yang lebih rumit -- spekulatif dan filosofis. Lebih dari itu, muncul
para pengikut trend Sufi berdasarkan prasangka tanpa menjalankan kultus.
Perkembangan Sufisme itu tentu saja adalah sebuah fakta dan menurut Sufi
penjelasannya sangat berbeda dengan fakta yang ditampilkan. Alasan utama
karena unsur-unsur Sufisme selalu ada dalam keutuhan (hidup) mereka, di dalam
pikiran mereka sendiri. Sementara variasi bentuk ajaran ditekankan di waktu yang
berbeda-beda -- "Tidak ada orang yang menghabiskan seluruh waktunya untuk
marah-marah."
Individu seperti Rabi'ah dipilih sebagai contoh tentang beberapa aspek ajaran Sufi.
Dalam membaca karya tulis itu, para pembaca yang belum mengenal Sufisme
biasanya mempunyai asumsi kuat bahwa Sufi tertentu menghabiskan seluruh
waktunya untuk menjaga aib-diri, bahwa sebelum Bayazid al-Bisthami (w. 875),
tidak ada kemiripan antara Vedantisme dengan Budhisme, dan sebagainya. Mungkin
berbagai kesimpulan itu mengandung kepastian, namun menunjukkan kemiskinan
bahan-bahan kajian yang tersedia bagi murid biasa. Di sisi lain tentu saja selalu
banyak Sufi yang ingin menjelaskan masalah ini, dan bagi mereka biasanya
merupakan penjelasan umum. Namun adalah inheren di dalam pemikiran skolastik
bahwa sesuatu yang dituliskan mempunyai validitas yang kuat dibandingkan
sesuatu yang dikatakan atau dialami. Jadi lebih memungkinkan bila representasi
Sufisme yang hidup sangat jarang dirujuk oleh para akademisi.
Pengakuan atas iklim yang telah dikembangkan Islam sebagai iklim yang sesuai
dengan penerapan kebijaksanaan Sufi mudah untuk dicatat. Meskipun berkembang
suatu sistem kependetaan yang tidak diakui dalam Islam, yaitu para skriptualis
berpikiran sempit yang bersikeras pada penafsiran dogmatis ajaran agama, Islam
menyediakan kondisi yang lebih baik bagi propaganda suatu ajaran batiniah
dibandingkan agama sebelumnya yang mana pun. Agama minoritas dijamin
kebebasannya -- suatu kekebalan (hukum) yang sangat ditaati selama periode Para
Sufi tampak aktif menyebarkan ajarannya. Islam sendiri kira-kira adalah suatu
definisi legal. Lalu siapa itu orang mukmin? Minimal ia adalah seseorang yang
mengucapkan kalimat La-ilahaa-illa-Allah, Muhammad ar-Rasul Allah, yang
artinya, "Tidak ada yang disembah kecuali Ketuhanan, orang yang Terpuji adalah
pengemban risalah peribadatan." Biasanya kalimat ini dipahami, "Tidak ada tuhan
kecuali Allah, dan Muhammad adalah Utusan-Nya." Orang kafir adalah orang yang
mengingkari secara aktif kalimat pernyataan Iman itu. Namun tidak ada orang yang
dapat menilai isi hati, dengan demikian kepercayaan tidak dapat didefinisikan, tapi
hanya bersifat inferensial (dugaan).
www.tris.co.nr
44
Mahkota Sufi – Menembus Dunia Ekstra Dimensi
Namun seseorang yang menyatakan bahwa ia sanggup melaksanakan kalimat itu, ia
tidak dapat bertindak melawan bid'ah. Tidak ada dogma tentang karakter
Ketuhanan dan hubungannya dengan Nabi yang tidak dapat diamalkan oleh seorang
Sufi. Interpretasinya mungkin lebih bersifat mistik dibandingkan interpretasi
kalangan skolastik. Namun tidak ada kekuatan yang eksis, tidak ada sistem
kependetaan yang ditahbiskan, misalnya yang kemudian mengukuhkan kekuasaan
kaum klerikal. Pada akhirnya Islam sebagai sebuah komunitas diatur oleh berbagai
interpretasi para ahli hukum keagamaan. Mereka tidak dapat mendefinisikan Allah
Yang berada di luar definisi manusia. Mereka juga tidak dapat menginterpretasikan
kenabian secara tepat sebagai sebuah hubungan unik antara Tuhan dan manusia.
Lebih jauh dari itu, Para Sufi dengan bebas menyatakan kalimat berikut ini, "Aku
adalah penyembah berhala, karena aku paham apa makna penyembahan berhala,
sementara penyembah berhala sendiri tidak."
Menurut tradisi Sufi, disintegrasi tarekat tua di Timur Dekat menyatukan kembali
"untaian suhu" sebagai madzhab esoteris yang menjalankan "aliran air raksa" di
kerajaan Mesir, Persia dan Byzantium. Madzhab ini secara intrinsik merupakan
Sufisme evolusioner.
Bahkan Para Sufi menetapkan prinsip, yang seringkali diterima oleh dewan hukum
Islam, bahwa berbagai pernyataan yang tampaknya tidak sopan dan diungkapkan
dalam keadaan ekstase, tidak dapat dinilai secara lahiriah. "Jika semak belukar
bisa mengatakan 'Akulah Kebenaran,' demikian pula manusia," kata seorang Sufi
terkenal.
Ada juga kepercayaan kuat di masyarakat bahwa Muhammad saw. mempunyai
hubungan khusus dengan kalangan mistik lain, dan bahwa penganut yang taat dan
"Para Pencari Kebenaran"13 yang sangat dihormati itu menyertai Muhammad selama
hidupnya. Mereka mungkin adalah penerima suatu ajaran rahasia yang telah
diajarkan Muhammad secara pribadi. Perlu diingat bahwa Muhammad tidak
mengklaim membawa suatu agama baru. Ia melanjutkan tradisi monotheistik yang
telah lama hidup. Ia menanamkan rasa hormat kepada para penganut kepercayaan
lain dan berbicara tentang arti penting guru spiritual lainnya. Al-Qur'an sendiri
diwahyukan melalui metode mistis dan mengandung banyak indikasi tentang
pemikiran mistik.
Dalam bidang keagamaan, al-Qur'an mempertahankan kesatuan agama-agama dan
asal-usul identik dari setiap agama --"Setiap bangsa mempunyai Pemberi
Peringatan." Islam mengakui Musa, Yesus dan lainnya sebagai Nabi. Lebih dari itu,
pengakuan atas risalah Muhammad dari orang-orang Yahudi, Kristiani dan Majusi
(termasuk para pendeta) dan sebagian dari mereka telah mengadakan perjalanan
ke Arabia untuk mencari seorang guru selama hidupnya, menunjukkan suatu basis
yang lebih lanjut tentang kepercayaan akan suatu kesinambungan ajaran kuno,
bukan lokal. Suatu kesinambungan yang mungkin hanya dielaborasi dan
dipopulerkan oleh agama-agama mapan sebelumnya.
Karena itulah dalam tradisi Sufi, "Rantai Transmisi" madzhab-madzhab Sufi
mungkin berkaitan dengan Nabi Muhammad saw. di satu sisi, dan dengan Elias di
sisi lain. Salah satu guru Sufi yang sangat dihormati pada abad ketujuh, yaitu Uwais
al-Qarni (w. 657), tidak pernah bertemu Muhammad, meskipun ia hidup di Arabia
www.tris.co.nr
45
Mahkota Sufi – Menembus Dunia Ekstra Dimensi
pada saat yang lama dan hidup lebih lama dari Muhammad. Disamping itu, penting
untuk dicatat bahwa nama "Sufi" telah digunakan sebelum deklarasi risalah
kenabian Muhammad.14 Hal ini penting sekali untuk disadari, yaitu tentang
kesinambungan ajaran batiniah itu, dan juga kepercayaan pada evolusi
masyarakat, jika para Sufi untuk dipahami dari tataran mana pun.
Sumbangan terbesar Islam pada perkembangan pemikiran Sufi mungkin adalah
penolakannya terhadap eksklusivisme dan penerimaannya pada teori bahwa
peradaban adalah evolusioner, bahkan organis. Tidak seperti agama-agama
sebelumnya, Islam menekankan bahwa kebenaran ada dalam setiap masyarakat
pada tahap-tahap tertentu perkembangan mereka, dan bahwa Islam, bukan
sebagai agama baru, tidak lebih dan tidak kurang adalah agama besar terakhir
yang dialamatkan kepada seluruh masyarakat dunia. Dengan menyatakan bahwa
tidak ada Nabi setelah Muhammad, Islam secara sosiologis merefleksikan kesadaran
manusia bahwa masa kebangkitan sistem otokrasi yang baru telah berakhir.
Berbagai peristiwa yang terjadi dalam empat belas abad menunjukkan kebenaran
hal itu. Karena perkembangan masyarakat seperti dewasa ini, maka sulit
dibayangkan bila para guru keagamaan baru setingkat para pendiri agama dunia
akan mendapatkan keutamaan sebanding dengan Zoroaster, Budha, Musa, Yesus
dan Muhammad.
Setelah perkembangan pesat peradaban Islam pada abad-abad pertengahan,
hubungan antara berbagai aliran pemikiran dari setiap masyarakat telah mencapai
keakraban yang jauh lebih erat dibandingkan selama masa-masa legendaris ketika
praktek mistisisme relatif terbatas pada kelompok-kelompok kecil dan sangat
rahasia. Dewasa ini Sufisme mulai berkembang dengan berbagai cara. Sementara
para guru Sufi khusus yang mengajarkan konsentrasi dan kontemplasi telah
mengurangi perkembangan materialisme yang lebih kuat melalui penyeimbangan
materialisme dan asketisme. Sebagaimana diingatkan oleh Sufi besar Hasan al-
Bashri (w. 728), asketisme bisa menjadi kesenangan akan penderitaan, bila
penerapannya tidak disertai dengan keuletan. Setiap Sufi harus memulai
serangkaian latihan -- yang lama atau sebentar sesuai dengan kapasitasnya --
sebelum ia dapat dianggap cukup seimbang untuk "berada di dunia tanpa menjadi
bagian darinya". Sambil menyesuaikan ajaran mereka dengan masyarakat, para
penyair dan penyanyi Sufi menciptakan karya-karya besar yang kemudian menjadi
warisan Timur klasik. Di tempat-tempat hiburan yang kumuh, teknik-teknik Sufi
menyesuaikan diri dengan musik dan tari, melalui ajaran yang disampaikan dengan
kisah-kisah romantis dan menakjubkan serta humor. Pemusatan perhatian pada
tema cinta dan kelalaian pada manusia atas tujuan hidupnya, mulanya
diperkenalkan dalam bidang militer. Di bidang ini, ksatriaan dan tema pencarian
kekasih serta penyempurnaan diri yang terakhir menghasilkan kepustakaan yang
luas dan pembentukan ordo-ordo Ksatria yang kemudian sangat berpengaruh di
Timur dan Barat.
Catatan kaki:
1 Lihat anotasi "Bahasa-bahasa".
2 Safarnamah karya Sirajuddin Abbasi, 1649.
www.tris.co.nr
46
Mahkota Sufi – Menembus Dunia Ekstra Dimensi
3 Pendeta Canon Sell, seorang pakar Sufisme, tampaknya mengira bahwa
pengetahuan tanpa buku itu adalah pengetahuan teologis, intinya: "Belajar
semata-mata melalui buku tidak akan menjadikan seorang teolog," katanya dalam
sebuah catatan kaki di bukunya. (Dr. Sell, Sufism, Christ. Lit. Soc. 1910, hlm. 63).
Ia memecahkan kesulitan memahami Rumi dengan menyatakan (ibid., hlm. 69),
"Hanya murid sabar yang dapat memahami maksud esoteris sang Penyair."
4 Lihat anotasi "Kesadaran".
5 R. A. Nicholson, Tales of Mystic Meaning, London, 1931, hlm. 171.
6 "Kata-kata tidak dapat digunakan untuk menunjukkan kebenaran agama, kecuali
sebagai analogi." [Hakim Sinai, The Walled Garden of Truth (Taman Kebenaran
Berdinding)].
7 "Jenjang-jenjang" dalam kepustakaan Sufi berhubungan dengan peralihan tujuh
"diri", sebuah istilah teknik untuk Nafs. Lihat anotasi "Tujuh Diri".
8 Lihat anotasi "St. Agustinus".
9 Lihat anotasi "Para Hanif".
10 Lihat anotasi "Pertemuan".
11 R.A. Nicholson, The Mystics of Islam, 1914, hlm. l61 dan seterusnya.
12 E.G. Browne, A Literary History of Persia, 1909, him. 424.
13 Tulab al-Haqq.
14 Kitab al-Luma'.
0 komentar:
Posting Komentar