LATAR BELAKANG II: GAJAH DI
KEGELAPAN
Seseorang yang belum pernah melihat air, ia dilempar ke dalamnya dengan mata
tertutup, maka ia akan merasakannya. Ketika tutupnya dibuka, ia akan tahu apa itu
air. Selanjutnya ia cukup mengetahuinya melalui dampaknya.
(Rumi, Fihi Ma Fihi)
Dengan ekspansi ilmu pengetahuan dan seni pada Abad Pertengahan Islam-Spanyol,
para Sufi genius lahir sebagai tabib dan ilmuwan. Mereka meninggalkan simbol
dalam seni bangunan dan dekoratif (beberapa diantaranya kini disebut seni
arabesque), yang dirancang untuk melestarikan secara visual beberapa kebenaran
abadi yang diyakini oleh para Sufi sebagai menyimpulkan pencarian jiwa manusia,
kemajuan, keselarasan terakhir dan integrasi dengan semua makhluk.1
Meski seringkali membingungkan para pengamat karena ketidaktahuan mereka
tentang sistem makna yang sebenarnya, hasil sistem praktis yang mendalam dari
para Sufi ditemukan dalam pemikiran, seni dan fenomena magis-okultis baik di
Timur maupun di Barat. Untuk mendekati pengalaman Sufi secara lebih jelas, kita
harus melihat sekilas metode pemikiran dan gagasan dasar para mistikus ini. Kita
bisa mulai dari sebuah syair, humor atau sebuah simbol.
Memasuki pemikiran Sufistik secara tradisional hampir seberagam eksistensi para
Sufi. Sebagai contoh, agama tidak bisa diterima atau ditolak begitu saja, sampai
murid mengetahui dengan tepat apa makna agama itu. Menurut para Sufi, kesatuan
hakiki dari semua agama tidak diterima di seluruh dunia karena kebanyakan para
penganut agama tidak mengetahui apa esensi agama itu. Agama bukanlah seperti
apa yang pada umumnya diasumsikan.
Bagi Sufi, agamawan dan pencela agama (kafir) diumpamakan seperti orang yang
percaya bahwa bentuk bumi datar dan orang yang percaya bahwa bentuk bumi
tabung tengah berdebat sementara keduanya tidak mempunyai pengalaman apa
pun tentangnya.
Hal ini menunjukkan perbedaan mendasar antara metode Sufi dengan sistem
metafisik lainnya. Terlalu sering diterima begitu saja bahwa seseorang harus
percaya atau tidak, atau mungkin bersikap agnostik saja. Jika ia percaya, maka
seharusnya menerima suatu kepercayaan atau sebuah sistem yang mungkin
memenuhi apa yang dibutuhkannya. Sebagian kecil orang mengatakan kepadanya
bahwa ia mungkin tidak mengerti apa yang dibutuhkannya.
Dunia para Sufi adalah dunia ekstra dimensi. Segala sesuatu bagi Sufi bermakna,
dalam pengertian mereka bukanlah orang-orang yang hanya mengikuti latihan yang
dipaksakan oleh masyarakat umum.
www.tris.co.nr
48
Mahkota Sufi – Menembus Dunia Ekstra Dimensi
Beberapa orang "terpaku pada suatu hal". "Seseorang yang lapar, ketika ditanya
jumlah dua ditambah dua, ia akan menjawab, 'Empat (bahkan delapan) potong
roti'."
Totalitas kehidupan ini tidak bisa dipahami, demikian pula ajaran Sufi jika hanya
dikaji melalui metode-metode yang kita gunakan dalam kehidupan sehari-hari. Hal
ini sebagian karena, meskipun pertanyaan, "Apa makna semua itu?" dapat
dikemukakan dengan ungkapan rasional, tentu saja jawabannya tidak harus
dikemukakan sejalan dengan pertanyaan itu. Sufisme datang melalui pengalaman
dan pencerahan. Sebuah alat yang digunakan untuk mengukur benda-benda kecil
tentu saja tidak bisa digunakan untuk mengukur benda-benda besar. "Praktekkan
ilmu pengetahuanmu, karena pengetahuan tanpa praktek seperti tubuh tanpa jiwa"
-Abu Hanifah.2 Seorang ilmuwan mungkin mengatakan kepada Anda bahwa ruang
dan waktu adalah sama, atau bahwa materi sama sekali tidak solid. Ia mungkin
bisa membuktikannya melalui metodenya sendiri. Namun pembuktian ini akan
menjadi agak sulit Anda pahami dan sama sekali tidak Anda alami. Setiap materi
dapat dibagi-bagi sampai tak terhingga bukan? Namun untuk tujuan praktis,
biasanya ada batas pembagian, misalnya Anda memotong-motong sebatang coklat.
Dengan demikian, di satu sisi Anda melihat sebatang coklat, di sisi lain Anda
melihat sebuah obyek yang dapat dibagi sebanyak mungkin. Pikiran manusia
cenderung membuat generalisasi atas bukti parsial. Para Sufi yakin bahwa mereka
bisa mengalami sesuatu yang lebih kompleks.
Sebuah kisah tradisional Sufi menggambarkan persoalan ini dalam salah satu
aspeknya dan menunjukkan berbagai kendala yang dihadapi kalangan terpelajar
ketika mereka mendekati para Sufi dengan menerapkan metode kajian mereka
yang terbatas.
Seekor gajah mengadakan perjalanan dalam sebuah rombongan sirkus. Ia berada di
dalam kandang dekat sebuah kota di mana penduduknya belum pernah melihat apa
itu gajah. Mendengar hal yang menakjubkan itu, empat warga kota pergi
melihatnya agar mereka bisa mengetahui seperti apa gajah itu. Ketika mereka tiba
di kandang gajah, tiba-tiba lampu padam. Jadi penyelidikan berlangsung dalam
keadaan gelap.
Orang pertama menyentuh belalainya, sehingga ia mengira bahwa makhluk ini pasti
seperti sebatang pipa. Orang kedua menyentuh telinganya dan menyimpulkan
bahwa ia adalah kipas. Orang ketiga memegang kakinya sehingga ia berkesimpulan
bahwa gajah itu adalah binatang seperti pilar. Akhirnya orang keempat menyentuh
punggungnya sehingga ia yakin bahwa ia adalah semacam singgasana. Tidak
seorang pun bisa menggambarkan gajah dengan sempurna. Lantaran menyentuh
sebagian makhluk itu, maka setiap orang hanya mengacu pada apa yang telah
diketahuinya. Hasil penyelidikan itu membingungkan. Setiap orang merasa yakin
bahwa dirinya benar sehingga tidak ada warga kota yang bisa memahami apa yang
terjadi, apa yang sebenarnya dialami oleh para penyelidik itu.
Ketika orang biasa ingin mengetahui pemikiran Sufi, ia biasanya merujuk buku-
buku referensi. Ia mungkin mencari kata "Sufi" dalam ensiklopedia atau mengacu
pada buku-buku yang dikarang para sarjana dan peneliti yang ahli dalam bidang
agama dan mistisisme.
www.tris.co.nr
49
Mahkota Sufi – Menembus Dunia Ekstra Dimensi
Bila ia melakukan itu, ia akan menjumpai sejumlah besar contoh tentang
mentalitas "gajah di kegelapan" itu.
Menurut seorang sarjana dari Persia, Sufisme adalah sebuah penyimpangan dari
ajaran Kristen. Seorang profesor dari Universitas Oxford berpendapat bahwa
Sufisme dipengaruhi oleh Hindu-Vedanta. Seorang profesor Arab-Amerika
menyatakan bahwa Sufisme semacam reaksi terhadap intelektualisme dalam Islam.
Seorang profesor di bidang kesusastraan Semit menandaskan adanya jejak-jejak
Sufisme dalam Shamanisme Asia Tengah. Seorang Jerman menyatakan bahwa
Sufisme adalah Kristianitas plus Budhisme. Sementara dua orientalis Inggris
terkemuka telah menyediakan dana untuk meneliti pengaruh kuat Neoplatonisme
atas Sufisme, namun salah seorang kemudian mengakui bahwa Sufisme mungkin
lahir secara independen. Dengan mempublikasikan opininya melalui sebuah
universitas di Amerika, seorang Arab meyakinkan para pembacanya bahwa
Neoplatonisme sendiri adalah pemikiran Yunani plus Persia (dengan berdasar pada
sebuah sumber Sufi). Salah seorang ahli kajian Arab terkemuka berkebangsaan
Spanyol mengklaim bahwa Sufisme bersumber pada monastisisme Kristen dan
menyatakan bahwa Manichaeisme adalah salah satu sumber Sufisme. Akademisi
lain yang tak kalah reputasinya menemukan Gnostisisme diantara para Sufi.
Sementara seorang profesor Inggris, penterjemah sebuah buku Sufi, lebih suka
menyatakan bahwa Sufisme adalah "sebuah sekte kecil Persia". Namun
penterjemah lainnya menemukan tradisi mistik para Sufi "di dalam al-Qur'an
sendiri". "Meskipun banyak definisi yang mengacu pada buku-buku Arab dan Persia
secara historis menarik kesimpulan pokoknya ternyata menunjukkan bahwa Sufisme
tidak dapat didefinisikan."3
Seorang pengamat Rumi (1207-1273), asal Pakistan menganggap bahwa Rumi
adalah ahli waris yang sebenarnya dari semua aliran pemikiran kuno sebagaimana
direpresentasikan di Timur Dekat. Namun mereka yang telah mengadakan
hubungan langsung dengan para Sufi dan pernah menghadiri majelis mereka, tidak
memerlukan penyesuaian mental dan kehendak untuk memahami bahwa Sufisme
sendiri mengandung berbagai unsur dari sistem non-Sufi seperti Gnostisisme,
Neoplatonisme, Aristotelianisme dan lain-lain. "Tidak banyak gelombang yang
memintal-mintal dan sekilas memantulkan sinar mentari -- semua berasal dari laut
yang sama," kata guru Sufi Halki. Disamping itu, pikiran yang telah dilatih untuk
percaya pada ciri khas dan monopoli pemikiran madzhab tertentu tidak akan
mudah memasukkan pemahaman sintetis itu ke dalam kontemplasi Sufisme.
Dr. Khalifa Abdul Hakim menunjukkan bahwa ia bisa mengacu pada setiap madzhab
filsafat yang dirujuk Rumi tanpa harus menganggap pemikiran tertentu diturunkan
dan pemikiran lain. Ia menyatakan, "Matsnawi-nya adalah sebuah kristal dari
berbagai unsur. Di dalamnya kita melihat refleksi dan cahaya monotheisme Semitik
yang terputus-putus, intelektualisme Yunani, teori idea Plato, teori sebab-akibat
Aristoteles, Yang Esa dari Plotinus dan pengalaman ekstase ketika menyatu dengan
Yang Esa, berbagai persoalan kontroversial para mutakallimun, teori emanasi Ibnu
Sina dan al-Farabi, teori kesadaran nubuwah al-Ghazali dan monisme Ibnu Arabi."
Namun perlu dicatat bahwa pernyataan ini bukan berarti Rumi telah membangun
sebuah sistem mistisisme dari berbagai unsur itu. "Buah pir tidak hanya ditemukan
di Samarkand."
www.tris.co.nr
50
Mahkota Sufi – Menembus Dunia Ekstra Dimensi
Kepustakaan tentang Sufisme sangat banyak -- sejumlah besar naskah-naskah Sufi
telah diterjemahkan oleh para sarjana Barat. Beberapa sarjana, jika memang ada,
telah memperoleh manfaat setelah memahami Sufisme, mengetahui tradisi
lisannya atau bahkan tarekat Sufi sebagai sumber kajian formalnya. Ini bukan
berarti bahwa karya mereka tidak bermanfaat. Karya-karya itu sangat berguna bagi
Orientalis, namun mungkin cenderung inkoheren. Seperti penulis dongeng yang
harus menyertai tulisannya dan membacakannya sendiri karena tulisannya tidak
dapat dibaca. Karya-karya itu membutuhkan ulasan sang Sufi sendiri.
0 komentar:
Posting Komentar